Sabtu, 04 Juni 2011

HADIAH TERINDAH UNTUK KAKAK

Seperti biasa, pagi yang cerah kakak mengantarku ke sekolah. Kakakku sekarang di bangku kuliah semester 5 di sebuah universitas swasta yang ada di Jakarta Selatan, sedangkan aku masih duduk di bangku SMA kelas 2. Namun, tak jarang pula aku ikut terlambat gara – gara kakakku yang sering bangun kesiangan. Ya, kami tidak jarang membuat ayah dan ibu jenhkel dengan kebiasaan kami.

“Masya Allah...!!! Kalian berdua, jam segini baru bangun tidur!! Apa kalian tidak pergi kuliah dan sekolah...?? Shalat subuh sering kali terlewat! Makanya, kalian shalat subuh, biar tidak kesingan terus. Ibu jarang sekali melihat kalian rajin bangun pagi!”, omel ibuku.

“Ya, bu...”, jawab aku dan kakakku dengan lantang. Kami bergegas ke kamar mandi, tapi kami selalu berebutan siapa yang lebih dahulu mandi.

Setelah semuanya rapi, kami tidak sempat sarapan dan langsung melaju motor dengan cepat. Sesampainya aku di sekolah, aku segera masuk gerbang yang hampir saja ingin ditutup oleh pak satpam. Aku berlari masuk gerbang sekolah, lalu langsung menuju ruang kelasku. Ternyata, guru sudah masuk kelas.

Hari ini sepertinya aku tidak semangat untuk belajar di sekolah, semuanya menjenuhkan. Makanya, selama jam pelajaran aku terkantuk – kantuk, teman yang duduk di samping kanan dan kiriku melempariku terus dengan bola kertas. Setiap mata pelajaran berganti aku ke toilet untuk membasuh muka. Ketika jam istirahat tiba, aku manfaatkan untuk tidur, tapi aku merasakan kelaparan pada jam terakhir.

Akhirnya, bell pulang sudah berbunyi. Tanpa basa basi aku segera keluar gerbang sekolah, yang aku heran kakakku tidak biasa menjemputku sampai – sampai menungguku di depan gerbang. Teman – temanku sedikit heran, siapa lelaki yang menungguku di situ? Sepertinya mereka terpesona dengan kakakku. Aku akui, kakakku memang tampan ditambah lagi dengan gaya rambut spikenya, membuat para wanita jatuh hati padanya. Karena itu, pacar kakakku banyak, tidak hanya satu. Memang pantas dijuluki playboy. Selama perjalanan, kakak diam seribu bahasa. Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya seperti itu. Aku tanya kenapa, kakak tetap diam. Setibanya di rumah, kakak langsung menuju kamarnya dan menguncinya. Tanpa berbicara satu huruf denganku.

Dalam satu bulan ini, kakak sedikit berubah. Kakak mulai rajin beribadah. Ada apa ya, dengan kakakku. Dia pun sering menasehatiku dengan kata – kata bijak. Pernah suatu ketika, kakak sedang tidak ada di rumah. Kebetulan, kamarnya tidak dikunci. Aku masuk mengendap – endap ke kamarnya. Poster – poster musisi dan pesepak bola dunia sepertinya satu persatu mulai dilepas. Kulihat di mejanya ada beberapa buku Islam dan kaset – kaset serta CD – CD yang isinya lagunya belum pernah kudengar, aneh.

“Wah, ada apa dengan kakakku ini? Sejak kapan dia membeli buku Islam seperti ini? Dapat ilham dari mana ini?”, gumamku.

Dua bulan kemudian, kakakku benar – benar telah berubah. Lebih rapi dari biasanya. Lebih sering memakai celana bahan dipadu dengan kemeja, selain itu rambut spikenya menjadi rubuh, rapi belah pinggir. Semua pacar – pacarnya diputusin tanpa perasaan, barangkali. Ibu malah bersyukur dengan perubahan kakak seperti itu. Tapi akulah yang setiap hari percikkan dengan air setiap pagi, bahkan pernah disiram air gara – gara susah bangun pagi.

“Adik...!! Bangun. Sudah pagi. Mau sekolah tidak?? Nanti kau kesiangan!!!”, teriak kakakku membangunkanku.

“Eeeemmm, iya....”, jawabku setengah bangun.

“Fal, kalau adikmu tidak mau bangun juga. Siram saja dengan air”, kata ibu.

“Baik”, balas kakakku. Segera kakakku ke kamar mandi mengambil air setengah gayung, setengah berlari ke kamarku. Byuuurr. Mukaku disiram tanpa kompromi.

“Ibuuuuuu...!!!!”, teriakku sambil segera bangkit dari tempat tidur. “Kakak tega sekali menyiramku...!!!”, marahku pada kakak.

“Ibu yang suruh kakak untuk menyiram kamu dengan air. Karena, kamu susah sekali untuk dibangunkan, sudah cepat mandi dan siap – siap pergi ke sekolah”, balas kakakku yang sudah rapi. Aku telah menyiapkan semuanya, dan segera berangkat. Lalu, ibu menasehatiku.

“Makanya, kalau bangun yang pagi. Shalat subuh dengan kakakmu. Supaya tidak kesiangan lagi”, kata ibu sambil menyodorkan uang saku untukku.

“Huuuummm...”, aku hanya menarik nafas dihiasi dengan wajah cemberut. Sedangkan kakak hanya senyum – senyum menahan tawa.

“Hahahaha... Kalau ingat tadi saat kakak siram mukamu dengan air, kakak ingin tertawa terus. Lucu!!”, akhirnya tawa geli itu lepas juga.

“Kakak apaan sih? Sudah cepat berangkat!!”, kataku sambil mencubit pinggangnya.

“Aduh, iya...iya... Kami berangkat, bu. Assalamu’alaikum...”, kakak kesakitan aku cubit.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah... hati – hati, nak”, jawab ibu.

***

Tok...tok...tok..., “Assalamu’alaikum”. Ada orang yang mengetuk pintu. Tumben, siang – siang seperti ini ada tamu. Kebetulan, aku sedang membaca majalah di ruang tamu, bergegas aku membuka pintu.

“Wa’alaikumsalam”, jawabku sambil membuka pintu. Ternyata tiga orang pemuda.

“Maaf, apa benar ini rumah Naufal Musyaddad?”, tanya pemuda itu.

“Benar. Anda – anda ini siapa ya? Ada apa mencari kakakku?”, balasku.

“Kami adalah teman kampus kakakmu. Kami ada perlu dengan kakakmu. Apa ada di rumah?”,

“Ada. Sebentar ya, Kak...!! Ada teman kakak datang!!”, panggilku. Aku segera ke kamarnya.

“Siapa?”,

“Aku tidak tahu. Teman – teman kakak tampan – tampan juga, hehehe”, candaku.

“Hah! Kamu ini! Cowo’ terus!”, jawab kakak sambil mencubit pipiku dan segera keluar. Aku ikuti dari belakang. Teman – teman kakakku segera masuk, aku disuruh membuat air minum serta membeli makanan kecil untuk mereka.

“Khansa’, cepat kamu masuk kamar!”, suruh kakakku.

“Memangnya kenapa kak?”, tanyaku.

“Pokoknya, masuk kamar kamu!”, tegas kakakku. Aku segera masuk kamar. Sambil bertanya – tanya. Ada apa dengan kakakku ini? Tidak biasa dia seperti ini. Biasanya kakakku jika teman – temannya datang, selalu mengenalkannya kepadaku. Tapi kali ini tidak.

Setelah mereka berdiskusi, mereka mendengarkan musik sambil bernyanyi. Aku tidak mengerti lagu itu, aku belum pernah dengar. Musik yang lagu – lagunya kadang menghentak kadang pula sendu, barangkali membuat orang menangis karena dosa. Masih ingat di memoriku, kakak dulu sama denganku. Suka musik rock-nya Linkin Park, atau pop-nya Backstreet Boys dan sejenisnya. Sekarang itu semua sudah tidak tertinggal lagi pada kakakku, dia lebih alim dan lebih shalih.

***

“Naufal...!!!”, teriak seseorang memanggil. Kemudian, menorehlah pada suara itu sambil tersenyum.

“Eh, Ali... Assalamu’alaikum, akhi...”, jawab Naufal sambil menjabat tangan serta memeluknya.

“Wa’alaikumsalam. Begini akhi, untuk pekan depan bisa halaqoh di rumah antum? O iya, kata ustadz Rasyid sekalian ingin memutar film – film dokumenter dan video – video cerah”, tanya Ali.

“Insya Allah, bisa akh. Kebetulan, ana ingin melakukan pendekatan dakwah pada keluargaku. Untuk orang tua, Insya Allah mereka mulai mengerti. Tapi, adikku. Dia belum berubah juga akh... Kadang ana suka lelah menghadapinya...”, jawab Naufal sambil mengeluh.

“Sabar saja, akh. Adikmu itu memang masih mencari jati dirinya, maklumlah remaja. Pelan – pelan, jangan terlalu keras. Bukankah dakwah juga harus berlemah lembut?”, kata Ali sambil menepuk pundak Naufal memberi penguatan.

“Ya, memang benar. Semoga ketakutan ana ini tidak berdampak panjang...”, balas Naufal.

“Maksud antum apa, akh?”, Ali penasaran.

“Iya, ana takut kalau adik ana tidak berubah dan terjerumus oleh kemaksiatan gara – gara lingkungan sekolah dan teman – temannya”,

“Insya Allah, gak Fal. Berdoa saja”.

Naufal benar – benar berubah tiga ratus enam puluh derajat. Sekarang tidak lagi hanya nongkrong – nongkrong dan kongkow – kongkow dengan teman – temannya dulu di kampus. Aktivis dakwah sejati, itulah Naufal sekarang. Berorganisasi, berdiskusi, mengikuti kajian juga seminar – seminar dimana saja. Wawasannya makin bertambah, maka dari itu Naufal tidak jarang mendapat panggilan untuk menjadi pembicara pada saat kajian atau seminar.

Prestasi akademik dan organisasinya cukup bagus, hampir seluruh isi kampus mengenal siapa Naufal. Apalagi tidak jarang cewe’ – cewe’ menyukainya, namun Naufal cuek dengan mereka.

a b

Huh! Lagi – lagi teman – teman kakakku datang! Untuk apa mereka ke sini lagi?? Pikiranku beribu tanya tentang ini. Tambah banyak, jadi tujuh orang. Kadang aku tidak tahan mendengar mereka berdiskusi. Apalagi mereka memutar film – film dokumenter peperangan di negeri antah berantah dan juga ceramah ustadz – ustadznya. Padahal, volumenya tidak begitu besar, tapi bisa sampai terdengar sampai kamar. Huuufff.

“Volumenya ditambah lagi ustadz...”, kata kakakku. Oleh ustadznya volumenya ditambahkan. Tambah bosan aku di kamar. Aku ingin menyetel musik – musik kesayanganku takut terdengar ke luar itu ‘kan tidak sopan. Setelah mereka pulang, aku segera bertanya pada kakakku.

“Kakak, tapi pada menyetel apa sih? Kok ada bunyi tembak – tembakannya segala?? Apa jangan – jangan kakak dan teman – teman kakak mau pada jadi teroris ya?”, tanyaku cetus.

“Ngawur! Kalau bicara dipikir dulu. Tidak mungkin kakak ikut aksi teroris yang jelas – jelas menyesatkan. Nanti kamu juga akan mengerti”, jawab kakakku.

Besoknya, kakak menjemputku pulang dari sekolah. Di rumah aku makan siang dan istirahat siang untuk melepas lelah. Setelah ashar, kakakku mengajak aku pergi. Entah pergi kemana. Ternyata, kakakku membawaku pergi ke tempat kajian, yang mengisi adalah kakakku sendiri. Aku tidak seperti yang lain, memakai busana muslim rapi, baik laki – laki maupun perempuan, aku hanya memakai kaus lengan panjang, dipadu dengan celana leging ditambah pashmina yang hanya menempel di kepala. Apalagi yang perempuannya, memakai jilbab rapi menutupi badannya.

Mereka antusias mendengar pemaparan dari kakakku. Ada juga yang terpesona dengan penjelasan kakakku. Apakah ini kakakku? Luar biasa, dia hebat sekarang. Tidak seperti dulu, yang bisa dikatakan pecundang. Saat sesi tanya jawab, ada audience yang ingin berdebat dengan kakakku. Sang penanya hampir emosi dengan semua jawaban kakakku, akhirnya kakakku bisa mematahkannya dengan jawaban – jawaban yang jelas juga tenang, selain itu kakakku menjawabnya dengan lembut agar yang emosi tadi dapat terlerai. Sudah sering kali aku diajak ke acara semacam ini oleh kakakku, sampai ia lulus kuliah aku masih diajaknya.

***

Suatu ketika, kakakku bermusyawarah dengan keluarga. Aku di kamar saja menikmati musik sambil membaca majalah dan tabloit. Ya, akhirnya kakakku punya keinginan untuk menikah, namun sebelum menikah ia ingin meminang wanita pilihannya. Memang sih, kakakku itu sudah mapan secara materi, dia bisa dapat honor setiap mengisi kajian atau seminar, selain itu kakakku juga sering menulis tulisannya pun sering dimuat, tidak hanya itu kakakku juga mengajar di SMP dan SMA negeri, meski masih status honorer. Mudah – mudahan juga siap secara mental. Setelah berbicara panjang, orang tuaku menyetujuinya. Kakakku masuk kamar, langsung menghubungi ustadznya untuk proses lanjut.

Tanpa kuketahui, kakakku tiba – tiba ingin melamar wanita pilihannya salam waktu seminggu ke depan, setelah proses selama 3 minggu. Aku jadi tambah bingung. Kok bisa? Padahal, mereka tidak pacaran. Tiba – tiba kok, mau lamaran! Aduh, kakak...kakak... Dirimu semakin membuat bingung diriku saja.

“Kakak! Kok bisa sih? Tidak berpacaran, tapi langsung lamaran?”, tanyaku bingung.

“Adikku, Khansa’ An Najmah, dalam Islam tidak ada pacaran. Adanya ta’arufan atau perkenalan. Nanti kamu juga mengerti kok. Kan tidak boleh dekati zina”, jawab kakakku. Tetap saja aku masih bingung.

Hari yang ditunggu kakakku tiba. Kami sekeluarga pergi ke rumah wanita pilihan kakakku. Aku tidak mengerti dengan proses itu semua. Karena yang aku tahu adalah pacaran terlebih dahulu agar lebih mengenal pasangan nantinya. Aku sedikit memerhatikan wanitanya, biasa saja, tidak begitu cantik namun sangat sederhana, dewasa pula. Namanya Kak Alfiyyah. Semua sepakat, lamaran kakakku diterima, sekaligus menetapkan tanggal pernikahannya dalam waktu satu bulan ke depan.

Sepulang dari acara tersebut, aku adu mulut dengan kakakku mengenai pacaran. Kakakku mematahkan semua argumenku dengan ayat – ayat dan hadits. Setelah aku menyerah dan mulai berlemah lembut kepadaku.

“Adikku, tolong. Dengar nasihat kakak. Ini juga demi kebaikkan kamu dan kehormatanmu...”, kakak belum selesai bicara, aku langsung masuk kamar lalu tidur.

***

Aku pulang dari kampus, ini adalah tahun pertama aku di kampus, aku kuliah di tempat kakakku kuliah dulu. Kakakku sedang di rumah sedangkan bapak ibuku pergi ke tempat kerja masing – masing. Tapi aku membawa seorang laki – laki, yakni pacarku satu kampus denganku. Kakakku sedang di kamar istirahat siang, jadi tidak tahu kalau ada orang yang datang. Aku berbincang mesra dengan pacarku itu.

Kakak terbangun dari tidurnya, melihat di ruang tamu ada aku dan seorang laki – laki yang tidak lain adalah pacarku. Tanpa banyak pikir, kakakku langsung beristighfar.

“Astaghfirullahal’azhim... Masya Allah...!!! Adik, apa yang kamu lakukan dengan laki – laki itu???”, kata kakakku. Pacarku melihat kakakku langsung pergi tanpa pamit. Aku coba memanggilnya untuk menjelaskan semuanya, tapi tak digubris.

“Biarkan saja dia pergi...!!! Bukankah sudah kakak bilang padamu?? Jangan melakukan hal yang tercela itu. Kakak bingung untuk menghadapimu harus seperti apa...”, lanjut kakakku, langsung beranjak pergi dari hadapanku. Aku marah pada kakakku. Aku tetap dia meski kakakku bicara apa, aku tak peduli.

Keesok harinya di kampus, ada seorang wanita berjilbab rapi menghampiriku. Berdiskusi tanya jawab mengenai Islam. Wanita itu bernama Kak Shafiyyah. Dia kakak kelasku satu program studi. Pulang dari kampus, sayangnya kakak tidak ada di rumah. Malamnya, aku baru bertemu dengan kakakku. Aku mulai tertarik untuk berdiskusi tentang Islam. Setelah berdiskusi panjang lebar, ada berita mengejutkanku.

“Dik, besok kakak mau ke luar kota selama dua minggu. Jadi, Insya Allah seminggu sebelum kakak nikah, kakak udah pulang. Maaf, baru bisa mengatakan sekarang sama kamu. Bapak dan ibu sudah tahu kalau kakak akan pergi ke luar kota...”, kakakku berkata lembut. Belum pernah kakak berkata lembut seperti itu padaku.

“Hmmm... Khansa’, adikku. Jadi wanita yang shalehah ya... karena itulah yang akan membuatmu selamt dunia akhirat. Kakak tidak mau kamu terjerumus dalam jurang nista kemasiatan... Kakak sangat sayang padamu adikku...”, lanjut kakakku sambil mengusap kepalaku dan memelukku erat. Sepertinya mata kakak agak berkaca – kaca. Seolah akan meninggalkanku selamanya. Aku buang pikiran itu jauh – jauh.

Kata – kata kakakku selalu terngiang di telingaku. Aku jadi tambah semangat untuk belajar Islam lebih dalam, sambil memperbaiki pula cara berpakaianku. Aku merasa berubah dengan cepat, dalam waktu lima belas hari aku sudah tarbiyah, sama ketika kakakku lakukan di rumahku bersama teman – temannya. Jika teringat maksiatku yang pernah kuperbuat, pasti ingin menangis. Menyesal. Aku sangat berterima kasih pada kakakku. Karena dia aku jadi seperti ini dengan cepat. Semoga dengan perubahanku, menjadi hadiah terindah untuk kakakku.

Aku tidak sabar menantikan kedatangan kakakku. Aku hanya memegangi handphoneku sepanjang hari menunggu kabar dari kakakku. Sungguh, aku tidak sabar memberikan kejutan ini pada kakak. “Semoga kakak bangga padaku. Sekarang aku mejadi akhwat sesuai dengan keinginan kakak...”, gumamku dalam harap – harap cemas. Samapi sore hari, belum ada kabar juga dari kakakku. Aku jadi tambah cemas. Ibu mencoba menghiburku.

“Sudahlah, nak. Berdoa saja semoga kakakku pulang dengan selamat”, kata ibu.

“Iya, bu...”, jawabku. Aku terus berdoa didalam kamar. Sampai datang waktu isya’.

“Ibu... kenapa Kak Naufal belum juga pulang?”, tanyaku tambah cemas pada ibu.

“Prasangka baiklah, nak. Barangkali kakakmu ada urusan lain”, hibur ibu dan bapakku sambil merangkul pudakku.

Tak lama handphoneku berbunyi. Ibu meyuruhku mengangkat teleponnya, siapa tahu itu adalah kakakku.

“Halo, assalamu’alaikum...”, jawabku.

“Wa’alaikumsalam... apa benar ini dengan adik Khansa’, adik dari Naufal Musyaddad?”, balasnya dari seberang yang ternyata seorang laki – laki. Barangkali teman kakakku.

“Benar, ini dengan siapa ya?”, tanyaku kembali.

“Saya dengan Ali. Teman pengajian kakakmu, Naufal. Kakakmu mengalami kecelakaan. Sekarang di rumah sakit UGD dekat kampus... Maaf. Itu saja yang dapat saya sampaikan. Wassalamu’alaikum...”, seberang sana mengakhiri pembicaraan.

“Wa...wa’alaikumsalam...”, balasku. Aku tidak dapat membendung air mata. Aku menangis sejadinya. Orang tuaku juga ikut menangis bersamaku dan segera ke rumah sakit tempat kakakku di rawat. Sepanjang jalan aku tak henti menangis, hanya kakakku saja mendapat luka cukup parah. Dibanding dengan teman – temannnya yang hanya luka ringan. Kakakku yang menyetir mobil temannya. Sampai akhirnya ditabrak oleh mobil truck. Supir truck itu, untungnya langsung berhenti dan menolong rombongan mobil kakakku, serta mau bertanggungjawab membayar biaya rumah sakit.

Dokter memanggil kami sekeluarga. Sekali lagi, aku tidak berhenti menangis melihat kondisi kakakku yang parah sekali. Aku tidak tega melihatnya, aku memeluk ibuku dan menangis sejadinya. Kakakku tersadar, kemudian memanggilku.

“Khan...Khansa’...”, panggil kakak lirih.

“Iya, kak... Aku di sini...”, jawabku sambil menangis.

“Apa itu kamu, dik...?”, tanya kakakku. Aku melihatnya seperti tidak berdaya lagi.

“Iya, Kak Naufal. Ini aku adikmu Khansa’...”,

“Subhanallah, kamu cantik. Kamu udah jadi akhwat sekarang, alhamdulillah...”,

“Sudah kak, jangan berkata apa – apa lagi. Sekarang kakak istirahat. Supaya kakak cepat sembuh... Aku tidak tega melihat kakak sakit parah seperti ini...”,

“Mungkin ini adalah hadiah yang Allah berikan padaku dengan berubahnya adikku yang paling kusayangi. Setelah ini semoga tidak ada kesakitan pada diri kakak ini”. Tak lama keluarga Kak Husna datang, ia dapat juga kabar dari Ali.

“Mas Naufal...”, kata Kak Alfiyyah sambil menangis.

“A...Alfiyyah. A...Afwan. Ana tidak bisa menikahimu. Padahal, waktunya sebentar lagi. Karena ikatan khitbah bukan ikatan akad nikah, anti ana bebaskan. Jangan menangis, karena Allah sudah menyediakan yang lebih baik dari ana...”, jawab kakak.

“Khansa’... Maafkan kakak ya, kalau kakak punya salah sama kamu. Jadi akhwat yang baik, shalihah... jaga ibu dan ayah ya... Sekali lagi maaf, kakak tidak bisa melihat kamu menjadi akhwat shalihah yang tumbuh dewasa... Jangan menangis adikku sayang”, kakak coba meraih pipiku. Menyeka air mata yang mengalir di pipi. Kakakku semakin lama, merasakan sakit yang luar biasa. Tapi tetap lidahnya melafadzkan kalimatullah.

“Asyhadu anlaailaaha illallah, wa asyhadu anna muhammdarrasulullah...”, itu kalimat terkhir dari mulut kakakku. Tangannya yang kugenggam lunglai tak bernyawa. Aku memanggil – manggil namanya sambil menggoncang – goncang tubuhnya.

“Kakak...!!! Bangun, kak...!!!”, tangisku sejadinya. Aku ditarik oleh ibuku dan dokter menutup muka kakakku dengan kain putih.

“Sudahlah, nak. Ikhaskan kakakmu pergi...”, ibu tak melepas aku dari perlukannya.

Ruangan itu penuh tangis dan duka atas kepergian kakakku yang paling aku sayangi. Mungkin tidak hanya aku, tapi teman – temannya juga pasti kehilangan akhtivis dakwah sejati. Tidak lain adalah kakakku, Naufal Musyaddad...

=Selesai=

7 komentar:

  1. wahhh.. kepengen juga nehh hadiah nya

    BalasHapus
  2. Subhanallah, ingin rasanya mempunyai seorang kakak sepertinya :'(

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus