Selasa, 21 Juni 2011

Ya Allah...

Ya Allah, pada malam yang hening dan dingin ini izinkanlah aku untuk membayangkan dan merenung, bagaiman penderitaan saudara – saudara seislamku yang ada dibelahan bumi yang lain sampai saat ini masih tertindas dan terjajah. Hidup tidak tenang dalam konflik senjata yang berkepanjangan, hingga saat ini belum berakhir. Desingan peluru menjadi makanan sehari – hari. Siang malam resah karena terancam nyawa. Setiap hari ruh melayang dan jasad kaku bergelimpangan. Tangisan pilu masih terdengar sampai saat ini.

Ya Allah, kini negeri para Nabi telah ternodai oleh tangan – tangan durjana para manusia laknat. Masjid peninggalan Abul Anbiya kini hampir runtuh karena penggalian pondasi masjidnya. Berbagai distori telah dibuat oleh para manusia laknat, agar ada pembenaran dari perbuatan mereka. Sebagian dindingnya kini menjadi ratapan, bahkan para manusia laknat itu berencana membuat Kuil Sulaiman yang akan menggantikan kokohnya Al Quds. Jangan sampai terjadi ya Allah.

Ya Allah, ketika aku melihat foto – foto pembantaian yang dilakukan para manusia laknat, hati seperti teriris – iris oleh pedang. Tubuh – tubuh manusia yang utuh, menjadi hancur berkeping – keping. Orang – orang yang fisiknya normal, kini harus cacat seumur hidup. Anak – anak yang tadinya masih mempunyai kedua orang tua, kini harus menjadi yatim atau menjadi piatu atau bahkan menjadi yatim piatu. Para istri ditinggal syahid suaminya, dan kini menjadi janda serta harus kehilangan anak – anaknya yang masih kecil.

Senin, 20 Juni 2011

Renungan Seorang Hamba (Bag.2)

01. Allah Maha Pemberi yang terbaik. Aku harus yakin itu, karena pemberian Allah tak pernah salah. #renungan

02. Allah akan memberi di saat yang tepat dan dimana aku butuhkan. #renungan

03. Apabila permintaanku belum terpenuhi, itu berarti aku harus bersabar. #renungan

04. Allah mengerti aku. Allah masih menerimaku sebagai hambaNya. Allah masih sayang padaku #renungan 

05. Tapi kenapa aku masih suka berbuat zhalim kepadaNya?? #renungan

06. Maafkan hambaMu yang lembah ini... #renungan

07. Allah mengerti aku, maka DIA menurunkan ujian padaku. #renungan

08. Allah memberi ujian pada titik terlemah pada diriku. #renungan

09. Tapi kenapa aku merasa ujian dari Allah teramat berat?? #renungan

10. Padahal, dengan ujian itu aku bisa naik derajat daripada malaikat. #renungan

PALESTINA PASCA REVOLUSI TIMUR TENGAH


Oleh : Syeikh Abu Mukmin (Palestina)
Penerjemah : Rakhmat Arafah
           
            Pada sesi kali ini kita akan membahas Palestina pasca revolusi di dunia Arab, merupakan akidah yang harus kita yakini bahwa Palestina adalah tanah suci, tanah para syuhada dan para Nabi. Dampak revolusi yang terjadi di Palestina adalah ketidak pedulian terhadap Palestina. Salah satu contohnya adalah kezhaliman yang dilakukan oleh Husni Mubarak, presiden Mesir, begitu pula di Tunisia. Dua pemerintahan ini mematikan kepedulian kepada para pemudanya terhadap Palestina. Dalam hal ini Mesir bukan rakyat Mesirnya, tapi pada pemerintahannya. Hal tersebut membuat mati akan kepedulian terhadap Palestina.
            Salah satu usaha dari pemerintahan Mesir menzhalimi rakyatnya adalah mempersulit bantuan kepada Palestina. Mengucilkan rakyat Palestina dengan melakukan penggalian bawah tanah bahkan membangun tembok mati untuk membatasi rakyat Palestina dari dunia luar. Husni Mubarak terus menguilkan negara Palestina agar hilang dari peta dunia. Dalam hal ini serangan terus dilakukan dalam waktu lima hari ke depan. Salah satu yang diusahakan dari Suriah melakukan kontak dengan Mesir, tapi tidak bisa. Akan tetapi orang – orang Yahudi memperalat orang Damaskus yang ada di Suriah.
            Salah satu poin yang masih dipertahankan oleh rakyat Palestina adalah setiap orang yang dilahirkan adalah setiap orang yang dilahirkan merupakan orang merdeka. Dalam hal ini pemerintah Mesir menzhalimi dari dua pintu : 1. Bagaimana rakyat Mesir bisa dibodohi; 2. Berkompromi dengan Amerika Serikat dan Israel. Revolusi yang terjadi di Mesir, yang terjadu juga di Tunisia, akan menyebar ke negara – negara Arab lainnya. Setelah revolusi yang terjadi di negara – negara Arab adalah membebaskan rakyat Palestina dari penjajahan. Dalam hal ini sunatullah tidak bisa diganti – ganti, baik cepat atau lambat.

PERAN PEMUDA TERHADAP AL AQSHA UNTUK PALESTINA


Pembicara : Syeikh Ziad Abu Zaid (Palestina)
Penerjemah : Rakhmat Arafah
            Utusan para peserta seminar ini seperti halnya Mus’ab bin Umair pada masa Rasulullah. Mus’ab bin Umair ditarbiyah oleh Rasulullah di Mekkah untuk membuka Yatsrib (Madinah) dengan Islam. Begitu juga dengan para peserta yang diutus dari kampusnya masing – masing.
            Para pemuda adalah orang – orang pilihan, ketika orang – orang antipati terhadap Palestina. Sehingga ketika pulang nanti menyampaikan kepada orang – orang agar tidak antipati lagi terhadap Palestina. Sebagaimana Nabi Ibrahim, menyampaikan Islam pada usia yang sangat muda. Begitu pula Nabi Musa dengan ditemani dua orang pemuda pula. Begitu pula Nabi Yusuf, pada pemerintahan Mesir mengajak para pemuda untuk mendampinginya dalam menyampaikan Islam.
            Begitu pula Rasulullah mengajak mengajak para pemuda. Didiklah para pemuda. Sebagaiman terjadi revolusi di Timur Tengah, pelakunya adalah para pemuda. Sebagaimana pemuda dilahirkan di Indonesia sangat bahagia, dapat berbuat apa yang dipikirkan. Tapi tidak di Palestina, yang hidup dalam penindasan.
            Ketika kelompok pemuda seperti kita bisa berbuat lebih. Sebagaimana pada saat Khalifah Umar bin Abdul Aziz, harus bisa melebihinya. Beliau ingin menjadi khalifah, beliau dapatkan. Beliau ingin menghafal Al Qur’an dan itu juga beliau dapatkan. Muhammad Al Fatih, membuka Konstatinopel. Saat itu usianya masih 17 tahun, yakni membuka Konstatinopel. Begitu juga saat ini, harus mempunyai cita – cita membuka Palestina dari tangan Zionis Israel.

Sabtu, 18 Juni 2011

Renungan Seorang Hamba

01. Selalu menyesali dosa yang telah diperbuat, tapi sering pula mengulangnya kembali. #renungan

02. Biar seperti itu, Engkau masih memberi kebahagiaan. Allah, maafkan aku. Aku bukan hamba pilihan. #renungan

03. Aku meyakini akan datangnya kematian, tapi aku masih menikmati hidup dengan bersantai-santai. #renungan

04. Aku pun meyakini akan kehidupan di alam kubur, tapi aku masih suka tertawa terbahak-bahak. #renungan

05. Aku yakin akan kehancuran alam semesta ini, tapi aku masih mengejar agar dalam menggenggam dunia.

06. Aku suka bersuci, tapi aku masih tetap kotor.

07. Aku suka mencari cacat dan kekurangan pada orang lain, tapi aku tidak sadar akan cacat dan kekuranganku sendiri. #renungan 

08. Aku yakin Allah Maha Mengawasi, tapi aku masih suka berbuat durjana. #renungan

09. Aku sadar akan hidup sendiri di dalam liang lahat, tapi aku masih mengharap belas kasih dari orang lain. #renugan

10. Tiada Rabb yang patut menghamba selain Allah swt. #renungan

Semua karena Cinta

01. Allah swt menciptakan alam semesta ini dg #cinta.

02. Semua makhluk di alam semesta ini diberi oleh Allah swt #cinta

03. Berarti #cinta merupakan fitrah yg diberi oleh Allah swt.

05. Karena itulah dlm kehidupan sosial, manusia ingin saling #cinta.

Jumat, 17 Juni 2011

Allah Maha Mengerti Hambanya

01. #Allah Maha Mengerti pada hamba-hambaNya.


02. Saat hambaNya sedih, #Allah membuat tersenyum melalui harmoni alam semesta.


03. Ketika menangis, #Allah menghapus air matanya dg kasih sayangNya.


04. Di waktu sendiri, #Allah mengirim saudara & sahabat yang cinta pada Allah & pada dirinya.


05. Apa bila melihat saudara & sahabatnya, maka ia akan teringat pada #Allah.

Selasa, 14 Juni 2011

Hoek...!!

Hoek... hoek...!!!
Suara dari ruang sebelah itu membuat konsentrasi kembali pecah.

"Muntah lagi ya?" berteriak dari dalam kamar. Ah, pertanyaan bodoh.

"Iya..." ia menjawab lirih.
Walau dengan berat hati dan malas-malasan, tak urung membuatku menyeret langkah ke arahnya.

"Aduh, astaghfirullah!!! Kok nggak di kamar mandi aja sih?"

"Ya..., nggak bisa ditahan," jawabnya sambil memelas dengan wajah pucat.

Sementara di lantai muntahan berceceran, tak jauh dari tumpukan pakaian yang belum disterika. Sambil bersungut-sungut, kuambil kain pel untuk membersihkannya. Juga tak pula berhenti mengomel dan menutup hidung dengan sapu tangan. Kan jijik, lagi. Bahkan kubersihkan kotoran itu sambil mata memandang ke arah yang lainnya.

Senin, 13 Juni 2011

TEMAN

Dinginnya embun di atas daun kehijauan,
Menyegarkan kisah silam yang menjadi kenangan,
Menapak beriringan mengharungi samudera perjuangan,
Bersatu dalam menyulam titian persahabatan...

            Cahaya darimu kunantikan,
            Menerangi ruang hati yang kegelapan,
            Kau dan aku saling memerlukan,
            Dan saling menyenandungkan harapan...

Seperti Apakah Pola Pikir Yahudi??

           Pemboikotan produk Yahudi dan Amerika sampai sekarang belum berakhir. Karena itu salah satu cara untuk sedikit meminimalisir suplay senjata, dalam rangka menghancurkan saudara – saudara kita yang berada di Palestina, Irak dan wilayah lain di Timur Tengah. Sepertinya di semua tempat di dunia ini sudah terjajah oleh Yahudi. Karena Yahudi sedang berupaya mencegah turunnya Islam di muka bumi ini. Tapi, sadarkah kita, terkadang pula kita suka berpola pikir seperti Yahudi? Seperti apakah pola pikir Yahudi itu?

            Bangsa Yahudi sudah diakui di seluruh dunia dengan kecerdasan dan kepintarannya. Jumlah cendikiawan dan ilmuwan di sana mencapai 100.000 lebih. Karena dalam satu bulan bisa menghabiskan bacaan lebih dari 50 buku. Dan Yahudi itu sebenarnya tahu dan mengakui adanya Al Qur’an, tapi mereka tidak mau mengakui bahwa teori yang mereka ambil itu dari Al Qur’an. Boleh dikata para cendikiawan dan ilmuwan Yahudi itu adalah “maling” Al Qur’an.

Kamis, 09 Juni 2011

Sebongkah Sabar


Berkah ujian silih berganti melanda,
Menahan sesak ketegaran di ujung mata,
Tapi tiada pernah setetes jua,
Jatuh pada luka yang menganga...

Tak dihajar sengsaranya perjalanan,
Pada garis takdir yang telah digoreskan,
Deru badai yang bergejolak ditahan,
Namun terus mereda relung kesendirian...

Senandung Harap


Ya Rabb, malamMu kini hadir
Menyimpan sejuta rahasia di balik tabir,
Gelapnya menyelimuti bumi luas terhampar,
Dan mendamaikan hati yang hambar...

            Ya Rabb, Malammu begitu megah,
            Megahnya mampir dalam hati yang resah,
            Namun  menuntunku untuk sujud di atas sajadah,
            Dalam tangis muhasabah...

BAIT – BAIT UNTUK PALESTINA


Oleh : Eka Yuliani Nurhayati

Gumpalan awan putih langit dihiasi,
Sejuk birunya menaungi sebuah negeri,
Negeri yang tak pernah henti diberkahi,
Oleh Allah pencipta semesta raya ini...

          Tapi kini menjadi menghitam jua kelam,
          Walau mentari selalu terbit singkirkan malam,
          Namun seperti selamanya mentari bersemayam,
          Meski pun bintang dan bulan terus bergumam...

Rabu, 08 Juni 2011

PENDIDIKAN DI INDONESIA MASIH MEMRIHATINKAN

            Pendidikan sekarang sudah menjadi kebutuhan primer. Karena, pendidikan adalah untuk meningkatkan sumber daya manusia. Pendidikan ini bukan hanya sekedar menrasfer ilmu, tapi juga harus membentuk manusia yang mempunyai keterampilan. Bahkan, bisa membuka lapangan pekerjaan. Dalam pembukaan UUD 1945, tujuan negara salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
            Tapi, bagaimana pendidikan di Indonesia? Pada Tap MPR No.IV/MPR/1999, telah ditegaskan bahwa perluasan dan pemerataan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia diupayakan melalui : peningkatan anggaran pendidikan secara berarti, pemberdayaan lembaga pendidikan, peningkatan tenaga pendidikan serta pembaharuan pendidikan dengan prinsip disentralisasi dan otonomi.
            Ada yang berpendapat, bahwa anggaran dari pemerintah untuk pendidikan sebesar 20% dan itu cukup untuk menggaji guru sekaligus untuk pendidikan gratis, kalau dari pemerintah bisa sampai kepada yang dituju. Jika sudah sampai kepada yang dituju jurang dari 20%, mungkin saja “ditengah jalan” terkikis sedikit demi sedikit, sehingga pendidikan menjadi mahal. Tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan oleh oknum tertentu sebagai “ajang bisnis” lewat pendidikan.

MELURUSKAN RIWAYAT KH. AHMAD DAHLAN DALAM NOVEL “SANG PENCERAH” KARYA AKMAL NASERY BASRAL

            Novel Sang Pencerah menceritakan riwayat hidup KH.Ahmad Dahlan. Perjuangan beliau dalam dakwah patut menjadi teladan, kesabaran dan keistiqomahan tidak diragukan lagi. Beliau melakukan pembaruan dalam dunia Islam di Indonesia melalui organisasi yang bernama Muhammdiyah (1912), organisasi tertua kedua setelah NU (Nahdatul Ulama) yang berdiri tahun 1826. Namun, ada hal – hal yang perlu diperhatikan, beberapa penyimpangan mengenai riwayat KH. Ahmad Dahlan pada novel tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk meluruskan beberapa penyimpangan dalam menulis riwayat KH. Ahmad Dahlan dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral.
            Dalam prolog novel tersebut tercatat tahun 1904, KH. Ahmad Dahlan yang sebelumnya bernama Muhammad Darwis, berada di Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan sedang menghadap Sri Sultan Hamengkubowono VII, dan Sri Sultan memerintahkan agar KH. Ahmad Dahlan untuk kembali ke Mekkah. Tahun 1904, seharusnya beliau sudah pulang ke Yogyakarta setelah untuk yang kedua kalinya beliau pergi ke Mekkah selama tiga tahun, dari tahun 1902 sampai 1904[1]. Pada tahun tersebut pula KH. Ahmad Dahlan sempat berguru dengan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri kelompol Nahdatul Ulama.
            Sebelumnya, pada tahun 1883 sampai 1888 KH. Ahmad Dahlan pergi haji sekaligus belajar di Mekkah, beliau mempelajari buku – buku terbitan Mesir dan Irak selain dari terbitan Mekkah, dan mulai berinteraksi dengan pemikiran – pemikiran Muhammad Abduh, Jamaludin Al Afghani, Rasyid Ridha dan Imam Ibnu Taimiyah. Sepulangnya dari Mekkah pada kepergiannya yang pertama, KH. Ahmad Dahlan menikahi sepupunya sendiri, Walidah. KH. Ahmad Dahlan tidak pernah bertemu dengan Rasyid Ridho untuk pergi haji yang kedua kalinya (1902), dan hanya mempelajari pemikiran – pemikirannya, selama di Mekkah KH. Ahmad Dahlan bertemu dengan Muhammad Khatib Minangkabau, Nawawi Al Bantani, Kiyai Mas Abdullah Surabaya, Kiyai Faqih Gresik.

Selasa, 07 Juni 2011

AKU INGIN MENJADI SAHABAT BAIKMU

Pagi yang sejuk, karena semalam habis diguyur hujan cukup deras. Mentari yang tersenyum, embun pagi yang menyegarkan menempel di jendela kamar. Kicau burung pipit menyanyikan melodi begitu indah dan agaknya pelangi akan muncul menghiasi langit pagi ini. Entah mengapa pagi ini tidak biasanya, serasa begitu indah. Tidak seperti hari – hari kemarin yang barangkali sedikit membosankan. Renunganku menatap luar jendela menjadi buyar saat ibu memanggilku untuk sarapan pagi setelah itu aku berangkat ke sekolah.

            “Nak, sarapannya sudah siap. Setelah itu kamu berangkat sekolah...!!”, panggil ibu.

            “Iya, bu! Sebentar lagi aku siap...!!”, jawabku. Aku segera menuju ke meja makan untuk sarapan bersama keluarga. Setelah selesai sarapan, aku diantar oleh kakakku ke sekolah. Sekalian kakakku berangkat ke kampusnya. Sepanjang jalan, tiba – tiba aku teringat seorang teman, dia sekelas denganku kadang – kadang kami duduk satu meja. Selama aku dan dia sekelas, kami cukup dekat. Namanya Intan. Secara akademik aku akui dia lebih pintar dariku, selalu mendapat peringkat lima besar sedangkan aku hanya masuk sepuluh besar, makanya aku selalu bertukar pikiran dengannya dan belajar bersamanya jika ada tugas atau belajar bersama menjelang ujian.

            Aku sangat menyayangkannya, dia tidak peduli dengan identitasnya sebagai muslim. Ya, aku pikir ini adalah kesempatanku untuk menyampaikan kebenaran padanya. Aku juga berusaha untuk tetap menjadi sahabat baik untuknya. Semoga dia juga menerima aku sebagai sahabatnya, selama tidak melanggar Islam. Tanpa terasa, aku sudah sampai di sekolah.

Kado Spesial

Seperti biasa, sarapanku sehari – hari adalah arsip – arsip yang sudah menumpuk di kantor. Perjalanan dari rumah ke kantor sekitar satu setengah jam dengan mengendarai sepeda motor. Sebelum bekerja, aku menulis semua agendaku hari ini. Ketika aku melihat kalender meja di meja kerja, aku terdiam sejenak. Aku baru sadar, ternyata sudah dua bulan aku menikahi istriku. Tapi aku belum mengenal istriku sepenuhnya. Ah, sudahlah. Semuanya terbuyar ketika staffku memberikan sebuah dokumen di atas meja. Segera aku kerjakan semuanya.

            Di tengah kesibukanku bekerja, tiba – tiba handphoneku berbunyi tanda pesan singkat masuk. Setelah kubuka, ternyata dari istriku, “Assalamu’alaikum... Abi, ana uhibukka fillah... :)”. Ya, hanya seperti itu pesan singkatnya, tapi aku tak menghiraukannya. Hampir setiap hari istriku mengirimi pesan singkat dengan bunyi seperti itu. “Haduuuuuuhhh, seperti tak bertemu saja. Nanti juga bertemu di rumah!!”, gumamku agak kesal. Huuuuufff, rasanya seperti setahun menunggu jam istirahat untuk rehat sejenak. Waktu menunjukkan pukul dua belas siang saatnya jam makan siang, tapi sebelum makan siang aku shalat zhuhur terlebih dahulu agar ketika makan siang nanti bisa bercengkrama lebih lama bersama teman – teman kantor.
            Satu jam sudah berlalu selepas istirahat. Aku kembali menyelesaikan perkejaanku yang masih menumpuk. “Wah, sepertinya aku akan lembur hari ini. Bisa pulang malam nih...”, gumamku dalam hati. Menjelang isya pekerjaanku masih belum selesai kukerjakan, ternyata benar aku akan pulang malam hari ini. Ketika azan isya berkumandang, aku berhenti sejenak untuk shalat isya. Sedikit mereganggkan otot – otot badan yang lama – lama mulai pegal – pegal. Saking sibuknya aku, aku sampai lupa untuk memberi kabar pada istriku kalau aku hari ini lembur pulang malam.

Senin, 06 Juni 2011

Amanah Seorang Sahabat

Diceritakan bahawa ada dua orang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah s.w.a. berteman baik saling ziarah menziarahi antara satu dengan lainnya. Mereka adalah Sha'b bin Jastamah dan Auf bin Malik. "Wahai saudaraku, siapa di antara kita yang pergi (meninggal dunia) terlebih dahulu, hendaknya saling kunjung mengunjungi." kata Sha'b kepada Auf di suatu hari. "Betul begitu?" tanya Auf. "Betul." jawab Sha'b.
Ditakdirkan Allah, Sha'b meninggal dunia terlebih dahulu. Pada suatu malam Auf bermimpi melihat Sha'b datang mengunjunginya. "Engkau wahai saudaraku?" tanya Auf. "Benar." jawab Sha'b. "Bagaimana keadaan dirimu?" "Aku mendapatkan keampunan setelah mendapat musibah."

Apabila Auf melihat pada leher Sha'b, dia melihat ada tanda hitam di situ. "Apa gerangan tanda hitam di lehermu itu?" tanya Auf. "Ini adalah akibat sepuluh dinar yang aku pinjam dari seseorang Yahudi, maka tolong jelaskan hutang tersebut. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa tidak satupun kejadian yang terjadi di dalam keluargaku, semua terjadi pula setelah kematianku. Bahkan terhadap kucing yang matipun dipertanggungjawabkan juga. Ingatlah wahai saudaraku, bahwa anak perempuanku yang mati enam hari yang lalu, perlu engkau beri pelajaran yang baik dan pengertian baginya."

BELAJAR DARI SHAFIYYAH BINTI ABDUL MUTHALIB

Shahabiyah adalah sahabat Rasulullah saw dari kalangan Muslimah, mereka adalah wanita – wanita tangguh di medan jihad dan dakwah. Ujian demi ujian, mereka senantiasa menghadapinya dengan penuh kesabaran. Mereka mujahidah sejati sepanjang masa, yang tidak pernah lekang oleh waktu dan zaman. Mereka juga ikut terjun ke medan jihad bersama Rasulullah saw, menyiapkan logistik dan obat – obatan untuk para pasukan Muslimin yang terluka. Subhanallah.

Muslimah seperti halnya para shahabiyah tidak mudah mengeluh, tidak cengeng, mampu menjaga kehormatan diri dan izzah Islam, yang melahirkan generasi mujahid yang senantiasa membela Islam di medan jihad sampai titik darah penghabisan serta senantiasa tegar menghadapi penindasan yang dilancarkan oleh musuh – musuh Islam. Bahkan, tidak jarang menjadi barisan paling belakang saat di medan jihad. Tujuannya untuk menghadang pasukan Muslimin yang lari dari medan jihad.

Shafiyyah binti Abdul Muthalib merupakan salah satu dari para shahabiyah yang harum namanya sepanjang sejarah kehidupan, beliau adalah bibi Rasulullah saw yang dilahirkan dari suku Quraisy. Quraisy adalah bangsa yang paling dihormati oleh para kabilah di Jazirah Arab ketika itu, keturunan paling mulia diantara suku – suku lain. Ayahnya, Abdul Muthalib, seorang petinggi di tanah Jazirah Arab pada masanya. Suaminya, Awwam bin Khuwailid adalah saudara kandung dari Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid. Dari suaminya inilah lahir seorang anak yang bernama Zubair bin Awwam, yang dijuluki sebagai hawari Rasulullah saw.

Sabtu, 04 Juni 2011

HADIAH TERINDAH UNTUK KAKAK

Seperti biasa, pagi yang cerah kakak mengantarku ke sekolah. Kakakku sekarang di bangku kuliah semester 5 di sebuah universitas swasta yang ada di Jakarta Selatan, sedangkan aku masih duduk di bangku SMA kelas 2. Namun, tak jarang pula aku ikut terlambat gara – gara kakakku yang sering bangun kesiangan. Ya, kami tidak jarang membuat ayah dan ibu jenhkel dengan kebiasaan kami.

“Masya Allah...!!! Kalian berdua, jam segini baru bangun tidur!! Apa kalian tidak pergi kuliah dan sekolah...?? Shalat subuh sering kali terlewat! Makanya, kalian shalat subuh, biar tidak kesingan terus. Ibu jarang sekali melihat kalian rajin bangun pagi!”, omel ibuku.

“Ya, bu...”, jawab aku dan kakakku dengan lantang. Kami bergegas ke kamar mandi, tapi kami selalu berebutan siapa yang lebih dahulu mandi.

Setelah semuanya rapi, kami tidak sempat sarapan dan langsung melaju motor dengan cepat. Sesampainya aku di sekolah, aku segera masuk gerbang yang hampir saja ingin ditutup oleh pak satpam. Aku berlari masuk gerbang sekolah, lalu langsung menuju ruang kelasku. Ternyata, guru sudah masuk kelas.

Hari ini sepertinya aku tidak semangat untuk belajar di sekolah, semuanya menjenuhkan. Makanya, selama jam pelajaran aku terkantuk – kantuk, teman yang duduk di samping kanan dan kiriku melempariku terus dengan bola kertas. Setiap mata pelajaran berganti aku ke toilet untuk membasuh muka. Ketika jam istirahat tiba, aku manfaatkan untuk tidur, tapi aku merasakan kelaparan pada jam terakhir.

Akhirnya, bell pulang sudah berbunyi. Tanpa basa basi aku segera keluar gerbang sekolah, yang aku heran kakakku tidak biasa menjemputku sampai – sampai menungguku di depan gerbang. Teman – temanku sedikit heran, siapa lelaki yang menungguku di situ? Sepertinya mereka terpesona dengan kakakku. Aku akui, kakakku memang tampan ditambah lagi dengan gaya rambut spikenya, membuat para wanita jatuh hati padanya. Karena itu, pacar kakakku banyak, tidak hanya satu. Memang pantas dijuluki playboy. Selama perjalanan, kakak diam seribu bahasa. Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya seperti itu. Aku tanya kenapa, kakak tetap diam. Setibanya di rumah, kakak langsung menuju kamarnya dan menguncinya. Tanpa berbicara satu huruf denganku.

Dalam satu bulan ini, kakak sedikit berubah. Kakak mulai rajin beribadah. Ada apa ya, dengan kakakku. Dia pun sering menasehatiku dengan kata – kata bijak. Pernah suatu ketika, kakak sedang tidak ada di rumah. Kebetulan, kamarnya tidak dikunci. Aku masuk mengendap – endap ke kamarnya. Poster – poster musisi dan pesepak bola dunia sepertinya satu persatu mulai dilepas. Kulihat di mejanya ada beberapa buku Islam dan kaset – kaset serta CD – CD yang isinya lagunya belum pernah kudengar, aneh.

“Wah, ada apa dengan kakakku ini? Sejak kapan dia membeli buku Islam seperti ini? Dapat ilham dari mana ini?”, gumamku.

Dua bulan kemudian, kakakku benar – benar telah berubah. Lebih rapi dari biasanya. Lebih sering memakai celana bahan dipadu dengan kemeja, selain itu rambut spikenya menjadi rubuh, rapi belah pinggir. Semua pacar – pacarnya diputusin tanpa perasaan, barangkali. Ibu malah bersyukur dengan perubahan kakak seperti itu. Tapi akulah yang setiap hari percikkan dengan air setiap pagi, bahkan pernah disiram air gara – gara susah bangun pagi.

“Adik...!! Bangun. Sudah pagi. Mau sekolah tidak?? Nanti kau kesiangan!!!”, teriak kakakku membangunkanku.

“Eeeemmm, iya....”, jawabku setengah bangun.

“Fal, kalau adikmu tidak mau bangun juga. Siram saja dengan air”, kata ibu.

“Baik”, balas kakakku. Segera kakakku ke kamar mandi mengambil air setengah gayung, setengah berlari ke kamarku. Byuuurr. Mukaku disiram tanpa kompromi.

“Ibuuuuuu...!!!!”, teriakku sambil segera bangkit dari tempat tidur. “Kakak tega sekali menyiramku...!!!”, marahku pada kakak.

“Ibu yang suruh kakak untuk menyiram kamu dengan air. Karena, kamu susah sekali untuk dibangunkan, sudah cepat mandi dan siap – siap pergi ke sekolah”, balas kakakku yang sudah rapi. Aku telah menyiapkan semuanya, dan segera berangkat. Lalu, ibu menasehatiku.

“Makanya, kalau bangun yang pagi. Shalat subuh dengan kakakmu. Supaya tidak kesiangan lagi”, kata ibu sambil menyodorkan uang saku untukku.

“Huuuummm...”, aku hanya menarik nafas dihiasi dengan wajah cemberut. Sedangkan kakak hanya senyum – senyum menahan tawa.

“Hahahaha... Kalau ingat tadi saat kakak siram mukamu dengan air, kakak ingin tertawa terus. Lucu!!”, akhirnya tawa geli itu lepas juga.

“Kakak apaan sih? Sudah cepat berangkat!!”, kataku sambil mencubit pinggangnya.

“Aduh, iya...iya... Kami berangkat, bu. Assalamu’alaikum...”, kakak kesakitan aku cubit.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah... hati – hati, nak”, jawab ibu.

***

Tok...tok...tok..., “Assalamu’alaikum”. Ada orang yang mengetuk pintu. Tumben, siang – siang seperti ini ada tamu. Kebetulan, aku sedang membaca majalah di ruang tamu, bergegas aku membuka pintu.

“Wa’alaikumsalam”, jawabku sambil membuka pintu. Ternyata tiga orang pemuda.

“Maaf, apa benar ini rumah Naufal Musyaddad?”, tanya pemuda itu.

“Benar. Anda – anda ini siapa ya? Ada apa mencari kakakku?”, balasku.

“Kami adalah teman kampus kakakmu. Kami ada perlu dengan kakakmu. Apa ada di rumah?”,

“Ada. Sebentar ya, Kak...!! Ada teman kakak datang!!”, panggilku. Aku segera ke kamarnya.

“Siapa?”,

“Aku tidak tahu. Teman – teman kakak tampan – tampan juga, hehehe”, candaku.

“Hah! Kamu ini! Cowo’ terus!”, jawab kakak sambil mencubit pipiku dan segera keluar. Aku ikuti dari belakang. Teman – teman kakakku segera masuk, aku disuruh membuat air minum serta membeli makanan kecil untuk mereka.

“Khansa’, cepat kamu masuk kamar!”, suruh kakakku.

“Memangnya kenapa kak?”, tanyaku.

“Pokoknya, masuk kamar kamu!”, tegas kakakku. Aku segera masuk kamar. Sambil bertanya – tanya. Ada apa dengan kakakku ini? Tidak biasa dia seperti ini. Biasanya kakakku jika teman – temannya datang, selalu mengenalkannya kepadaku. Tapi kali ini tidak.

Setelah mereka berdiskusi, mereka mendengarkan musik sambil bernyanyi. Aku tidak mengerti lagu itu, aku belum pernah dengar. Musik yang lagu – lagunya kadang menghentak kadang pula sendu, barangkali membuat orang menangis karena dosa. Masih ingat di memoriku, kakak dulu sama denganku. Suka musik rock-nya Linkin Park, atau pop-nya Backstreet Boys dan sejenisnya. Sekarang itu semua sudah tidak tertinggal lagi pada kakakku, dia lebih alim dan lebih shalih.

***

“Naufal...!!!”, teriak seseorang memanggil. Kemudian, menorehlah pada suara itu sambil tersenyum.

“Eh, Ali... Assalamu’alaikum, akhi...”, jawab Naufal sambil menjabat tangan serta memeluknya.

“Wa’alaikumsalam. Begini akhi, untuk pekan depan bisa halaqoh di rumah antum? O iya, kata ustadz Rasyid sekalian ingin memutar film – film dokumenter dan video – video cerah”, tanya Ali.

“Insya Allah, bisa akh. Kebetulan, ana ingin melakukan pendekatan dakwah pada keluargaku. Untuk orang tua, Insya Allah mereka mulai mengerti. Tapi, adikku. Dia belum berubah juga akh... Kadang ana suka lelah menghadapinya...”, jawab Naufal sambil mengeluh.

“Sabar saja, akh. Adikmu itu memang masih mencari jati dirinya, maklumlah remaja. Pelan – pelan, jangan terlalu keras. Bukankah dakwah juga harus berlemah lembut?”, kata Ali sambil menepuk pundak Naufal memberi penguatan.

“Ya, memang benar. Semoga ketakutan ana ini tidak berdampak panjang...”, balas Naufal.

“Maksud antum apa, akh?”, Ali penasaran.

“Iya, ana takut kalau adik ana tidak berubah dan terjerumus oleh kemaksiatan gara – gara lingkungan sekolah dan teman – temannya”,

“Insya Allah, gak Fal. Berdoa saja”.

Naufal benar – benar berubah tiga ratus enam puluh derajat. Sekarang tidak lagi hanya nongkrong – nongkrong dan kongkow – kongkow dengan teman – temannya dulu di kampus. Aktivis dakwah sejati, itulah Naufal sekarang. Berorganisasi, berdiskusi, mengikuti kajian juga seminar – seminar dimana saja. Wawasannya makin bertambah, maka dari itu Naufal tidak jarang mendapat panggilan untuk menjadi pembicara pada saat kajian atau seminar.

Prestasi akademik dan organisasinya cukup bagus, hampir seluruh isi kampus mengenal siapa Naufal. Apalagi tidak jarang cewe’ – cewe’ menyukainya, namun Naufal cuek dengan mereka.

a b

Huh! Lagi – lagi teman – teman kakakku datang! Untuk apa mereka ke sini lagi?? Pikiranku beribu tanya tentang ini. Tambah banyak, jadi tujuh orang. Kadang aku tidak tahan mendengar mereka berdiskusi. Apalagi mereka memutar film – film dokumenter peperangan di negeri antah berantah dan juga ceramah ustadz – ustadznya. Padahal, volumenya tidak begitu besar, tapi bisa sampai terdengar sampai kamar. Huuufff.

“Volumenya ditambah lagi ustadz...”, kata kakakku. Oleh ustadznya volumenya ditambahkan. Tambah bosan aku di kamar. Aku ingin menyetel musik – musik kesayanganku takut terdengar ke luar itu ‘kan tidak sopan. Setelah mereka pulang, aku segera bertanya pada kakakku.

“Kakak, tapi pada menyetel apa sih? Kok ada bunyi tembak – tembakannya segala?? Apa jangan – jangan kakak dan teman – teman kakak mau pada jadi teroris ya?”, tanyaku cetus.

“Ngawur! Kalau bicara dipikir dulu. Tidak mungkin kakak ikut aksi teroris yang jelas – jelas menyesatkan. Nanti kamu juga akan mengerti”, jawab kakakku.

Besoknya, kakak menjemputku pulang dari sekolah. Di rumah aku makan siang dan istirahat siang untuk melepas lelah. Setelah ashar, kakakku mengajak aku pergi. Entah pergi kemana. Ternyata, kakakku membawaku pergi ke tempat kajian, yang mengisi adalah kakakku sendiri. Aku tidak seperti yang lain, memakai busana muslim rapi, baik laki – laki maupun perempuan, aku hanya memakai kaus lengan panjang, dipadu dengan celana leging ditambah pashmina yang hanya menempel di kepala. Apalagi yang perempuannya, memakai jilbab rapi menutupi badannya.

Mereka antusias mendengar pemaparan dari kakakku. Ada juga yang terpesona dengan penjelasan kakakku. Apakah ini kakakku? Luar biasa, dia hebat sekarang. Tidak seperti dulu, yang bisa dikatakan pecundang. Saat sesi tanya jawab, ada audience yang ingin berdebat dengan kakakku. Sang penanya hampir emosi dengan semua jawaban kakakku, akhirnya kakakku bisa mematahkannya dengan jawaban – jawaban yang jelas juga tenang, selain itu kakakku menjawabnya dengan lembut agar yang emosi tadi dapat terlerai. Sudah sering kali aku diajak ke acara semacam ini oleh kakakku, sampai ia lulus kuliah aku masih diajaknya.

***

Suatu ketika, kakakku bermusyawarah dengan keluarga. Aku di kamar saja menikmati musik sambil membaca majalah dan tabloit. Ya, akhirnya kakakku punya keinginan untuk menikah, namun sebelum menikah ia ingin meminang wanita pilihannya. Memang sih, kakakku itu sudah mapan secara materi, dia bisa dapat honor setiap mengisi kajian atau seminar, selain itu kakakku juga sering menulis tulisannya pun sering dimuat, tidak hanya itu kakakku juga mengajar di SMP dan SMA negeri, meski masih status honorer. Mudah – mudahan juga siap secara mental. Setelah berbicara panjang, orang tuaku menyetujuinya. Kakakku masuk kamar, langsung menghubungi ustadznya untuk proses lanjut.

Tanpa kuketahui, kakakku tiba – tiba ingin melamar wanita pilihannya salam waktu seminggu ke depan, setelah proses selama 3 minggu. Aku jadi tambah bingung. Kok bisa? Padahal, mereka tidak pacaran. Tiba – tiba kok, mau lamaran! Aduh, kakak...kakak... Dirimu semakin membuat bingung diriku saja.

“Kakak! Kok bisa sih? Tidak berpacaran, tapi langsung lamaran?”, tanyaku bingung.

“Adikku, Khansa’ An Najmah, dalam Islam tidak ada pacaran. Adanya ta’arufan atau perkenalan. Nanti kamu juga mengerti kok. Kan tidak boleh dekati zina”, jawab kakakku. Tetap saja aku masih bingung.

Hari yang ditunggu kakakku tiba. Kami sekeluarga pergi ke rumah wanita pilihan kakakku. Aku tidak mengerti dengan proses itu semua. Karena yang aku tahu adalah pacaran terlebih dahulu agar lebih mengenal pasangan nantinya. Aku sedikit memerhatikan wanitanya, biasa saja, tidak begitu cantik namun sangat sederhana, dewasa pula. Namanya Kak Alfiyyah. Semua sepakat, lamaran kakakku diterima, sekaligus menetapkan tanggal pernikahannya dalam waktu satu bulan ke depan.

Sepulang dari acara tersebut, aku adu mulut dengan kakakku mengenai pacaran. Kakakku mematahkan semua argumenku dengan ayat – ayat dan hadits. Setelah aku menyerah dan mulai berlemah lembut kepadaku.

“Adikku, tolong. Dengar nasihat kakak. Ini juga demi kebaikkan kamu dan kehormatanmu...”, kakak belum selesai bicara, aku langsung masuk kamar lalu tidur.

***

Aku pulang dari kampus, ini adalah tahun pertama aku di kampus, aku kuliah di tempat kakakku kuliah dulu. Kakakku sedang di rumah sedangkan bapak ibuku pergi ke tempat kerja masing – masing. Tapi aku membawa seorang laki – laki, yakni pacarku satu kampus denganku. Kakakku sedang di kamar istirahat siang, jadi tidak tahu kalau ada orang yang datang. Aku berbincang mesra dengan pacarku itu.

Kakak terbangun dari tidurnya, melihat di ruang tamu ada aku dan seorang laki – laki yang tidak lain adalah pacarku. Tanpa banyak pikir, kakakku langsung beristighfar.

“Astaghfirullahal’azhim... Masya Allah...!!! Adik, apa yang kamu lakukan dengan laki – laki itu???”, kata kakakku. Pacarku melihat kakakku langsung pergi tanpa pamit. Aku coba memanggilnya untuk menjelaskan semuanya, tapi tak digubris.

“Biarkan saja dia pergi...!!! Bukankah sudah kakak bilang padamu?? Jangan melakukan hal yang tercela itu. Kakak bingung untuk menghadapimu harus seperti apa...”, lanjut kakakku, langsung beranjak pergi dari hadapanku. Aku marah pada kakakku. Aku tetap dia meski kakakku bicara apa, aku tak peduli.

Keesok harinya di kampus, ada seorang wanita berjilbab rapi menghampiriku. Berdiskusi tanya jawab mengenai Islam. Wanita itu bernama Kak Shafiyyah. Dia kakak kelasku satu program studi. Pulang dari kampus, sayangnya kakak tidak ada di rumah. Malamnya, aku baru bertemu dengan kakakku. Aku mulai tertarik untuk berdiskusi tentang Islam. Setelah berdiskusi panjang lebar, ada berita mengejutkanku.

“Dik, besok kakak mau ke luar kota selama dua minggu. Jadi, Insya Allah seminggu sebelum kakak nikah, kakak udah pulang. Maaf, baru bisa mengatakan sekarang sama kamu. Bapak dan ibu sudah tahu kalau kakak akan pergi ke luar kota...”, kakakku berkata lembut. Belum pernah kakak berkata lembut seperti itu padaku.

“Hmmm... Khansa’, adikku. Jadi wanita yang shalehah ya... karena itulah yang akan membuatmu selamt dunia akhirat. Kakak tidak mau kamu terjerumus dalam jurang nista kemasiatan... Kakak sangat sayang padamu adikku...”, lanjut kakakku sambil mengusap kepalaku dan memelukku erat. Sepertinya mata kakak agak berkaca – kaca. Seolah akan meninggalkanku selamanya. Aku buang pikiran itu jauh – jauh.

Kata – kata kakakku selalu terngiang di telingaku. Aku jadi tambah semangat untuk belajar Islam lebih dalam, sambil memperbaiki pula cara berpakaianku. Aku merasa berubah dengan cepat, dalam waktu lima belas hari aku sudah tarbiyah, sama ketika kakakku lakukan di rumahku bersama teman – temannya. Jika teringat maksiatku yang pernah kuperbuat, pasti ingin menangis. Menyesal. Aku sangat berterima kasih pada kakakku. Karena dia aku jadi seperti ini dengan cepat. Semoga dengan perubahanku, menjadi hadiah terindah untuk kakakku.

Aku tidak sabar menantikan kedatangan kakakku. Aku hanya memegangi handphoneku sepanjang hari menunggu kabar dari kakakku. Sungguh, aku tidak sabar memberikan kejutan ini pada kakak. “Semoga kakak bangga padaku. Sekarang aku mejadi akhwat sesuai dengan keinginan kakak...”, gumamku dalam harap – harap cemas. Samapi sore hari, belum ada kabar juga dari kakakku. Aku jadi tambah cemas. Ibu mencoba menghiburku.

“Sudahlah, nak. Berdoa saja semoga kakakku pulang dengan selamat”, kata ibu.

“Iya, bu...”, jawabku. Aku terus berdoa didalam kamar. Sampai datang waktu isya’.

“Ibu... kenapa Kak Naufal belum juga pulang?”, tanyaku tambah cemas pada ibu.

“Prasangka baiklah, nak. Barangkali kakakmu ada urusan lain”, hibur ibu dan bapakku sambil merangkul pudakku.

Tak lama handphoneku berbunyi. Ibu meyuruhku mengangkat teleponnya, siapa tahu itu adalah kakakku.

“Halo, assalamu’alaikum...”, jawabku.

“Wa’alaikumsalam... apa benar ini dengan adik Khansa’, adik dari Naufal Musyaddad?”, balasnya dari seberang yang ternyata seorang laki – laki. Barangkali teman kakakku.

“Benar, ini dengan siapa ya?”, tanyaku kembali.

“Saya dengan Ali. Teman pengajian kakakmu, Naufal. Kakakmu mengalami kecelakaan. Sekarang di rumah sakit UGD dekat kampus... Maaf. Itu saja yang dapat saya sampaikan. Wassalamu’alaikum...”, seberang sana mengakhiri pembicaraan.

“Wa...wa’alaikumsalam...”, balasku. Aku tidak dapat membendung air mata. Aku menangis sejadinya. Orang tuaku juga ikut menangis bersamaku dan segera ke rumah sakit tempat kakakku di rawat. Sepanjang jalan aku tak henti menangis, hanya kakakku saja mendapat luka cukup parah. Dibanding dengan teman – temannnya yang hanya luka ringan. Kakakku yang menyetir mobil temannya. Sampai akhirnya ditabrak oleh mobil truck. Supir truck itu, untungnya langsung berhenti dan menolong rombongan mobil kakakku, serta mau bertanggungjawab membayar biaya rumah sakit.

Dokter memanggil kami sekeluarga. Sekali lagi, aku tidak berhenti menangis melihat kondisi kakakku yang parah sekali. Aku tidak tega melihatnya, aku memeluk ibuku dan menangis sejadinya. Kakakku tersadar, kemudian memanggilku.

“Khan...Khansa’...”, panggil kakak lirih.

“Iya, kak... Aku di sini...”, jawabku sambil menangis.

“Apa itu kamu, dik...?”, tanya kakakku. Aku melihatnya seperti tidak berdaya lagi.

“Iya, Kak Naufal. Ini aku adikmu Khansa’...”,

“Subhanallah, kamu cantik. Kamu udah jadi akhwat sekarang, alhamdulillah...”,

“Sudah kak, jangan berkata apa – apa lagi. Sekarang kakak istirahat. Supaya kakak cepat sembuh... Aku tidak tega melihat kakak sakit parah seperti ini...”,

“Mungkin ini adalah hadiah yang Allah berikan padaku dengan berubahnya adikku yang paling kusayangi. Setelah ini semoga tidak ada kesakitan pada diri kakak ini”. Tak lama keluarga Kak Husna datang, ia dapat juga kabar dari Ali.

“Mas Naufal...”, kata Kak Alfiyyah sambil menangis.

“A...Alfiyyah. A...Afwan. Ana tidak bisa menikahimu. Padahal, waktunya sebentar lagi. Karena ikatan khitbah bukan ikatan akad nikah, anti ana bebaskan. Jangan menangis, karena Allah sudah menyediakan yang lebih baik dari ana...”, jawab kakak.

“Khansa’... Maafkan kakak ya, kalau kakak punya salah sama kamu. Jadi akhwat yang baik, shalihah... jaga ibu dan ayah ya... Sekali lagi maaf, kakak tidak bisa melihat kamu menjadi akhwat shalihah yang tumbuh dewasa... Jangan menangis adikku sayang”, kakak coba meraih pipiku. Menyeka air mata yang mengalir di pipi. Kakakku semakin lama, merasakan sakit yang luar biasa. Tapi tetap lidahnya melafadzkan kalimatullah.

“Asyhadu anlaailaaha illallah, wa asyhadu anna muhammdarrasulullah...”, itu kalimat terkhir dari mulut kakakku. Tangannya yang kugenggam lunglai tak bernyawa. Aku memanggil – manggil namanya sambil menggoncang – goncang tubuhnya.

“Kakak...!!! Bangun, kak...!!!”, tangisku sejadinya. Aku ditarik oleh ibuku dan dokter menutup muka kakakku dengan kain putih.

“Sudahlah, nak. Ikhaskan kakakmu pergi...”, ibu tak melepas aku dari perlukannya.

Ruangan itu penuh tangis dan duka atas kepergian kakakku yang paling aku sayangi. Mungkin tidak hanya aku, tapi teman – temannya juga pasti kehilangan akhtivis dakwah sejati. Tidak lain adalah kakakku, Naufal Musyaddad...

=Selesai=

Sepatu Itu

"Neng, sore nanti antar Akang lihat-lihat sepatu ya ...," pintaku pada istriku yang sedang sibuk menyuapi Zahra makan.

"Kok agak mendadak, Kang?" Istriku agak kaget, sebab tak biasanya aku mengajaknya shopping.

"Kebetulan Ahad ini enggak ada acara ... mungkin ada sepatu yang cocok."

"Ya, bolehlah. Sekalian cari popok murah di Konmaar," kata istriku. Konmaar adalah nama supermarket favorit di Delft, karena harga barang-barangnya yang relatif murah.

Sore itu toko sepatu yang kami tuju tak terlalu ramai. Aku mempersilahkan istriku untuk melihat-lihat sepatu di bagian perempuan. Nanti kalau ada sepatu yang cocok buatku, dia akan kupanggil untuk kumintai pendapatnya.

Dari sela-sela gang bagian sepatu pria sesekali aku melirik istriku yang sedang melihat-lihat sepatu sambil mendorong kereta dorong Zahra. Setelah beberapa menit berlalu, nampak istriku cukup lama berdiri di satu pojokan. Aku segera menghampirinya.

"Hmm, manis juga ya sepatunya ..." sorot mataku ikut tertuju ke sepatu yang sedang dipegang istriku.

"Eh, sudah ada sepatu yang cocok belum?" istriku malah bertanya tentang sepatu yang mestinya sudah aku pilih.

"Enggak ada, Neng. Mungkin nanti. Kenapa nih pegang-pegang sepatu coklat ini?" Aku memancing.

"Enggak apa-apa ... kan tadi disuruh lihat-lihat," jawab istriku ringan.

"Suka ya ... ?"

"Hmm, lumayan lah." Satu cara menjawab khas istriku. Diam-diam aku melihat caranya memegang dan menatap sepatu coklat itu agak berbeda.

"Neng, kayaknya cukup lihat-lihat sepatunya, ya. Katanya mau beli popok ... yuk!"

***

Senin sore, aku agak lebih awal pulang dari kampus. Sepedaku agak cepat kukayuh menuju toko sepatu yang kemarin kukunjungi. Sampai di kompleks Konmaar, bergegas aku masuk ke toko dan membeli sepatu yang aku inginkan sejak kemarin sore.

Sesampai di rumah, Zahra yang mulai pandai berjalan menjemputku di pintu. Kusimpan tas sekolah dan bungkusan sepatu sebentar, lalu aku gendong dan sun anakku. Kutunda kecup sayangku sejenak pada istriku yang sedang masak di dapur. Aku segera menuju lemari pakaian dan menyimpan sepatu yang kubeli. Selesai menyimpan rapi sepatu baru itu, aku ke dapur untuk menyampaikan kecupku yang tertunda. Ia tersenyum, lalu kembali tenggelam menyelesaikan masakannya. Sesekali kami saling bertanya keadaan masing-masing hari itu.

Menjelang tidur.

"Neng, tolong ambilkan kaos yang putih di lemari,"

"Manja amat. Biasanya juga ngambil sendiri," kata istriku. Sementara itu dia tetap berjalan menuju lemari baju.

Sayup terdengar pintu lemari pakaian terbuka. Braakkk, suara benda jatuh itu terdengar.

"Kang, ini apa yang jatuh?!" Aku diam saja.

"Heh, kok sepatu perempuan!?" Teriak istriku dari kamar sebelah dengan nada kaget dan heran.

Aku berjalan menghampiri istriku. Kupeluk perlahan dari belakang sambil aku bisikkan ke telinganya,"Selamat ulang tahun, sayang ... BarakalLaahu."

Beberapa saat istriku terdiam. Suasana menjadi hening. Kepalanya masih menunduk memandangi sepatu di tangannya. Lalu perlahan dia membalikkan badannya menghadapku. Aku lihat matanya berkaca-kaca. Tangan kirinya menggenggam sepasang sepatu coklat. Lalu tangan kanannya segera meraih tangan kananku dan menciumnya.

"JazaakalLaahu khairan, Kang" Aku rengkuh istriku dan kukecup keningnya sepenuh rasa. Getaran di dada istriku menahan isak harunya semakin kurasakan.

"Wa jazaakilLaahu bi ahsani jazaa ...," bisikku. Aku bersyukur kepada Allah. Kejutan kecil seperti ini semoga menjadi tanda cinta kepada istriku karenaNya semata.

***

Benarlah Rasululullah SAW, panutan kita dengan sabdanya, "Saling memberi hadiahlah, niscaya kalian saling mencintai."

Seseorang mengatakan, perempuan itu senang mendapatkan hadiah sesuatu yang dia inginkan dan akan lebih menyenangkannya lagi jika hadiah itu didapatkan pada momen yang tak terduga.

***

(EBook Bunga Rampai, Seri 10, Kolom Oase)