Sabtu, 04 Juni 2011

Sepatu Itu

"Neng, sore nanti antar Akang lihat-lihat sepatu ya ...," pintaku pada istriku yang sedang sibuk menyuapi Zahra makan.

"Kok agak mendadak, Kang?" Istriku agak kaget, sebab tak biasanya aku mengajaknya shopping.

"Kebetulan Ahad ini enggak ada acara ... mungkin ada sepatu yang cocok."

"Ya, bolehlah. Sekalian cari popok murah di Konmaar," kata istriku. Konmaar adalah nama supermarket favorit di Delft, karena harga barang-barangnya yang relatif murah.

Sore itu toko sepatu yang kami tuju tak terlalu ramai. Aku mempersilahkan istriku untuk melihat-lihat sepatu di bagian perempuan. Nanti kalau ada sepatu yang cocok buatku, dia akan kupanggil untuk kumintai pendapatnya.

Dari sela-sela gang bagian sepatu pria sesekali aku melirik istriku yang sedang melihat-lihat sepatu sambil mendorong kereta dorong Zahra. Setelah beberapa menit berlalu, nampak istriku cukup lama berdiri di satu pojokan. Aku segera menghampirinya.

"Hmm, manis juga ya sepatunya ..." sorot mataku ikut tertuju ke sepatu yang sedang dipegang istriku.

"Eh, sudah ada sepatu yang cocok belum?" istriku malah bertanya tentang sepatu yang mestinya sudah aku pilih.

"Enggak ada, Neng. Mungkin nanti. Kenapa nih pegang-pegang sepatu coklat ini?" Aku memancing.

"Enggak apa-apa ... kan tadi disuruh lihat-lihat," jawab istriku ringan.

"Suka ya ... ?"

"Hmm, lumayan lah." Satu cara menjawab khas istriku. Diam-diam aku melihat caranya memegang dan menatap sepatu coklat itu agak berbeda.

"Neng, kayaknya cukup lihat-lihat sepatunya, ya. Katanya mau beli popok ... yuk!"

***

Senin sore, aku agak lebih awal pulang dari kampus. Sepedaku agak cepat kukayuh menuju toko sepatu yang kemarin kukunjungi. Sampai di kompleks Konmaar, bergegas aku masuk ke toko dan membeli sepatu yang aku inginkan sejak kemarin sore.

Sesampai di rumah, Zahra yang mulai pandai berjalan menjemputku di pintu. Kusimpan tas sekolah dan bungkusan sepatu sebentar, lalu aku gendong dan sun anakku. Kutunda kecup sayangku sejenak pada istriku yang sedang masak di dapur. Aku segera menuju lemari pakaian dan menyimpan sepatu yang kubeli. Selesai menyimpan rapi sepatu baru itu, aku ke dapur untuk menyampaikan kecupku yang tertunda. Ia tersenyum, lalu kembali tenggelam menyelesaikan masakannya. Sesekali kami saling bertanya keadaan masing-masing hari itu.

Menjelang tidur.

"Neng, tolong ambilkan kaos yang putih di lemari,"

"Manja amat. Biasanya juga ngambil sendiri," kata istriku. Sementara itu dia tetap berjalan menuju lemari baju.

Sayup terdengar pintu lemari pakaian terbuka. Braakkk, suara benda jatuh itu terdengar.

"Kang, ini apa yang jatuh?!" Aku diam saja.

"Heh, kok sepatu perempuan!?" Teriak istriku dari kamar sebelah dengan nada kaget dan heran.

Aku berjalan menghampiri istriku. Kupeluk perlahan dari belakang sambil aku bisikkan ke telinganya,"Selamat ulang tahun, sayang ... BarakalLaahu."

Beberapa saat istriku terdiam. Suasana menjadi hening. Kepalanya masih menunduk memandangi sepatu di tangannya. Lalu perlahan dia membalikkan badannya menghadapku. Aku lihat matanya berkaca-kaca. Tangan kirinya menggenggam sepasang sepatu coklat. Lalu tangan kanannya segera meraih tangan kananku dan menciumnya.

"JazaakalLaahu khairan, Kang" Aku rengkuh istriku dan kukecup keningnya sepenuh rasa. Getaran di dada istriku menahan isak harunya semakin kurasakan.

"Wa jazaakilLaahu bi ahsani jazaa ...," bisikku. Aku bersyukur kepada Allah. Kejutan kecil seperti ini semoga menjadi tanda cinta kepada istriku karenaNya semata.

***

Benarlah Rasululullah SAW, panutan kita dengan sabdanya, "Saling memberi hadiahlah, niscaya kalian saling mencintai."

Seseorang mengatakan, perempuan itu senang mendapatkan hadiah sesuatu yang dia inginkan dan akan lebih menyenangkannya lagi jika hadiah itu didapatkan pada momen yang tak terduga.

***

(EBook Bunga Rampai, Seri 10, Kolom Oase)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar