“Duuuuh...!! Markas LDK pindah segala! Masih banyak barang-barang
inventaris yang belum diangkut”, keluhku sambil membawa beberapa kardus.
Tumpukan kardus sampai menutupi pandanganku. Samar-samar kulihat ada cowok berbadan gemuk, mata sipit,
berkulit putih, tinggi, dan berkacamata. Dia jalan terburu-buru dari arah
berlawanan sambil membaca sesuatu dari ponselnya, sesekali mengetik. Dia sama
sekali tidak melihat apa yang ada di depannya. Tiba-tiba dia menabrakku yang
sedang kerepotan membawa tumpukan kardus. Braakk...!!
“Astaghfirullah...!!,” spontan saja beristighfar. Aku terjatuh.
Barang-barang yang ku bawa beratakan. Ada yang isinya berhamburan
“Kamu nggak papa? Maaf ya, saya nggak
sengaja. Saya buru-buru mau ke kelas. Ada jam kuliah,” dia minta maaf sambil membantuku
merapikan barang-barang yang berantakan.
“Makanya, hati-hati dong! Jangan
handphone terus! Mata udah empat juga!,” balasku dengan nada kesal.
“Iya, maaf ya. Sekali lagi saya
mohon maaf,” dia mencoba menghiba maaf dariku.
“Iya! Saya maafin! Lain kali
hati-hati!,” aku masih kesal.
Sesampainya di sekretariat yang
baru, aku mengecek kembali barang-barangnya. Khawatir ada yang kurang. Dan
ternyata benar, ada satu map yang tertinggal. Tapi aku tidak tahu, arsip apa
yang tertinggal.
***
Sore pun tiba. Matahari sudah di
ujung peraduan. Langit biru mulai berubah menjadi jingga. Azan akan
berkumandang dalam hitungan menit, yang akan membelah suasana hiruk-pikuk kota
Jakarta. Aku masih di sekretariat LDK yang baru, yang letaknya tidak jauh dari
kampus. Kondisi tempat ini masih berantakan, karena baru proses pemindahan
barang. Besok pasti akan ada kerja bakti untuk merapikan tempat ini.
Sepertinya tidak ada waktu untuk
menunaikan shalat di rumah, terpaksa shalat maghrib di masjid yang kudapati di
inggir jalan. Setelah shalat maghrib, aku langsung pulang. Sepanjang
perjalanan, aku mengendarai motorku dengan perlahan. Efek lelah. Saat tiba di
rumah, aku mandi dan wudhu untuk bersiap shalat isya.
“Masya Allah... Lelah sekali hari
ini. Ditambah pinggangku sakit karena terjatuh tadi,” gumamku.
Malam seperti berlari, tanpa terasa
subuh menjelang. Aku hampir tidak terdengar azan dari masjid depan rumah.
Bisanya, suara sedikit saja dari masjid aku langsung terbangun. Tapi kali ini
berbeda. Mungkin syaithon yang terkutuk telah menutup telingaku, karena
kelelahan kemarin sore. Oh, tidak.
“Lisa! Bangun, Lisa! Sudah setengah
enam pagi. Kamu tidak berangkat ke kampus hari ini?” ayahku membangunkanku. Aku
kaget. Bukan kaget karena dibangunkan, namun karena terlewat subuh.
“Astaghfirullah! Bablas deh
subuhnya! Kenapa Ayah tidak membangunkankunwaktu subuh?!” pastilah aku merasa
kesal, sekaligus menyesal bangun kesiangan.
“Ayah nggak tega bangunin
kamu.sepertinya kamu kelelahan kemarin sore,” balas ayahku.
“Ah, Ayah!,” singkat. Dengan nada
kesal. Tanpa basa-basi aku langsung mengambil handuk dan mandi.
Setelah rapi, langsung berangkat ke
kampus. Kali ini agak terburu-buru untuk mengejar jam kuliah pagi, agar tidak
terlambat masuk kelas. Dosennya agak killer. Telat tiga menit saja langsung
tidak boleh masuk kelas, mengikuti kuliahnya. Harus di luar ruangan sampai
jamkuliahnya selesai. Itulah dosen mata kuliah Linguistik.
***
Inilah mata kuliah yang aku tidak
suka, Statistik. Yang aku tidak suka karena mata kuliah ini penuh dengan
hitung-hitungan. Itulah mengapa aku memilih Bahasa dan Satra Indonesia. Untuk
menghindarai hitung-hitungan. Aku juga bertanya-tanya, kenapa harus bertemu
Statistik? Aku sama sekali tidak mengerti mata kuliahnya. Hampir setiap tugas
jmata kuliah ini, aku sampai bertanya pada temanku di program studi Matematika.
Kalau tidak, tamatlah riwayat nilai mata kuliah ini. Aku tidak ingin mengulang
mata kuliah ini satu semester.
Dua SKS, terasa lama. Waktu berjalan
seperti siput. Ingin rasanya segera berakhir. Percuma dosennya menerangkan
secara rinci, tapi aku sama sekali tidak mengerti. Berpikir keras untuk
memahami, bisa-bisa otakku sariawan.
Setelah selesai kuliah ini, aku
segera berkumpul dengan teman-teman LDK untuk kerja bakti merapikan sekretariat
yang baru. Sekretariat kami kali ini agak besar, bahkan ada skat tembok yang
berfungsi sebagai hijab antara laki-laki dan perempuan jika sedang ada rapat.
Di tengah kami membereskan kantor, ada seseorang yang datang mengembalikan
barang milik LDK. Aku mengintip orang itu, ternyata orang yang pernah
menabrakku waktu memindahkan barang-barang.
“Assalamu’alaikum...,” orang itu
mengucap salam.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah...,”
jawab seorang ikhwan yang sedang merapikan bagian depan.
“Maaf, apa betul ini sekretariat LDK
yang baru?,” tanya orang itu.
“Betul, Mas. Ada apa ya?”,
“Saya ingin mengembalikan ini”,
orang itu menyodorkan sebuah plastik folder untuk arsip penting. Aku kaget,
pantas saja kemarin ada yang kurang. Ternyata benar, ada yang tertinggal waktu
aku terjatuh karena tertabrak olehnya. “Saya menemukan ini di lorong lantai
dua. Sepertinya ini milik LDK yang terjatuh”, lanjutnya.
“Oh, begitu. Terima kasih ya. Maaf,
Mas dengan siapa?” tanya ikhwan itu.
“Saya Abdullah. Kalau begitu, saya
permisi dulu,” orang itu pamit.
“Apa tidak masuk dulu. Sekedar minum
teh,” ikhwan itu menawarkan untuk bertamu dulu pada orang itu.
“Nggak, Mas. Saya buru-buru. Ada
urusan. Permisi. Assalamu’alaikum,” orang itu langsung pergi meninggal tempat.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah...,”
kami menjawab salamnya
“Oo... Namanya Abdullah...,” gumamku
dalam hati.
“Dor! Ngelamun aja! Lihat apa sih?
Jangan-jangan kamu suka yaaa sama orang yang tadi?”, Nisa mengagetkaku.
Membuyarkan lamunan tentang orang tadi.
“Ish! Apaan sih! Kenal junga nggak
sama orang tadi,” ketusku.
“Ah, masa’. Jangan gitu, nanti
lama-lama kamu bisa suka lhooo...,” Nisa tambah meledekku ditambah mencubit
pipi. Suasana hening sejenak
“Asal kamu tahu aja ya, Lis. Orang
yang tadi itu atlet panahan lho. Jago panahan, andalan kampus kalo ada
kompetisi. Pasti masuk tiga besar. Denger-denger mau dimasukkan ke tim
nasional,” celetuk Lastri yang memecah keheningan.
“Dari program studi apa, Las?,”
tanya Nisa.
“Ya dari Pendidikan Olahraga lah,
Nis! Kalo dari FISIP nggak mungkin. Apalagi Teknik,” jawab Lastri.
“Eh... Tapi kalo diperhatiin, orang
tadi tuh mukanya lucu. Kayak muka masih bocah. Chubby banget,” kata Nisa sambil
menahan tawa.
“Woy! Istighfar!,” nadaku agak
sedikit dinaikkan karena obrolan mereka.
Selesai kerja bakti hari ini. Aku
segera pulang dan istirahat sore.
***
Hari ini aku membawa beberapa
makalah. Ada satu makalah yang baru aku selesaikan semalam sampai dini hari.
Paginya, ngantuk tidak dapat dihindari. Selama diperjalanan aku terus menguap,
dan hampir saja terjatuh karena tida bisa menghindar kendaraan yang lewat.
Untuk menghindari bahaya, aku berhenti sejenak di mini market untuk membeli
beberapa camilan, minuman ringan, dan kopi kemasan botol agar mengantukku
hilang. Tanpa sengaja, aku bertemua orang yang pernah menabrakku saat mengantre
di kasir. Dia berbalik setelah transaksi. Dia mentapku tanpa sepatah kata dari
mulutnya. Barangkali dia segan untuk menyapa dengan wanita yang berkerudung
panjang sepertiku. Aku hanya menunduk untuk menghindari tatapannya.
Selesai keperluanku di mini market.
Kulanjutkan perjalanan, agak dipercepat. Semoga saja tidak terlambat masuk
kelas. Di perempatan agak macet, karena lampu merahnya mati. Syukurlah, ada
polantas yang mengatur agar kemacetan terurai.
***
Tiba-tiba ketua LDK mengadakan rapat
dadakan. Semua anggota pasti bertanya-tanya ada apa gerangan? Kami pikir akan
ada sesuatu yang penting untuk disampaikan dan didiskusikan. Tapi ternyata cuma
menyampaikan rencana baru di luar program kerja yang sudah di buat sebelumnya.
“Bagaimana, sudah berkumpul semua?
Baiklah, kalau begitu kita mulai saja. Assalamu’alaikum warahmatullahi wa
barakaatuh,” ketua kami, Umar, membuka
forum rapat. Kami menjawab salam dilanjutkan mendengarkan tilawah dari salah
satu anggota ikhwan.
“Ane mohon maaf sebelumnya, karena
mengumpulkan antum mendadak seperti ini. Ada hal yang mau ane samaikan pada
antum bahwa ada teman kita dari Pendidikan Olahraga menawarkan untuk membuat
klub panahan kampus. Sebelumnya beliau sudah menawarkan ke BEM fakultas dan BEM
universitas, tapi tidak ada respon dari kedua lembaga tersebut. Nah, akhirnya
beliau menemui waktu di masjid setelah zhuhur berjama’ah untuk menawarkan ini.
Bagaimana menurut antum? Diterima atau tidak tawaran ini? Seperti yang sudah
antum ketahui, bahwa memanah adalah olahraga sunnah. Mungkin karena hal itu,
teman kita dari Pendidikan Olahraga ingin memulai klub panahan kampus dari
Lembaga Dakwah Kampus atau LDK. Bagaimana pendapat antum? Diterima atau tidak?”
Umar menjelaskan panjang lebar.
“Ane setuju banget klub panahan
diawali dari LDK. Malah menurut ane sebuah kehormatan bagi LDK. Tapi sebelumnya
ane mau tanya nih, nanti pas latihan dikhususkan untuk ikhwan atau akhwat juga
boleh berpartisipasi? Ane yakin akhwatnya banyak yang minat dengan olahraga
sunnah ini”, respon Nisa.
“Oke, ane tanyakan sekarang lewat
telepon. Ane load speaker ya, biat antum juga dengar,” Umar menekan tuts
keyboard ponselnya untuk menghubungi orang yang bersangkutan.
Tuuut...Tuuut...Tuuut... Telepon
terhubung. Kami hening sesaat untuk mendengarkan penjelasan orang itu.
“Halo, assalamu’alaikum,” jawab
orang itu di telepon.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah.
Abdullah, saya Umar, dari LDK. Saya sudah bicarakan dengan teman-teman LDK.
Mereka setuju banget. Tapi untuk latihan nanti, apa hanya laki-lakinya atau
yang perempuan boleh berpartisipasi? Karena perempuannya banyak yang minat juga
nih,” tanya Umar.
“Alhamdulillah kalau perempuannya
ada yang mau ikut. Tidak papa. Nanti latihannya kita atur. Kapan, jam berapa,
dan tempatnya dimana. Karena panahan butuh tempat yang safety atau steril dari
orang lalu-lalang. Kalo nggak safety, berbahaya,” jelasnya.
“O iya, nanti yang perempuannya
gimana Abdullah melathnya? Karena yang perempuan nggak bakal sentuhan tangan
untuk memperbaiki jika ada yang salah,” Umar berhati-hati menjelaskan agar
tidak tersinggung.
“Kalo itu insya Allah saya paham.
Kapan, jam berapa, dan dimananya saya tunggu info selanjutnya ya.
Assalamu’alaikum,” orang itu mengakhirim pembicaraan telepon.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah...,”
jawab kami.
Aku mencoba berpikir hal lain.
Mungkin inilah jalan dakwah yang lain selain mengadakan kajian rutin dan
seminar. Jarang sekali ada klub panahan. Di sekitar rumahku tidak ada klub
panahan. Teman-temanku juga berpikir sama sepertiku. Mungkin saja.