Selasa, 07 Juni 2011

AKU INGIN MENJADI SAHABAT BAIKMU

Pagi yang sejuk, karena semalam habis diguyur hujan cukup deras. Mentari yang tersenyum, embun pagi yang menyegarkan menempel di jendela kamar. Kicau burung pipit menyanyikan melodi begitu indah dan agaknya pelangi akan muncul menghiasi langit pagi ini. Entah mengapa pagi ini tidak biasanya, serasa begitu indah. Tidak seperti hari – hari kemarin yang barangkali sedikit membosankan. Renunganku menatap luar jendela menjadi buyar saat ibu memanggilku untuk sarapan pagi setelah itu aku berangkat ke sekolah.

            “Nak, sarapannya sudah siap. Setelah itu kamu berangkat sekolah...!!”, panggil ibu.

            “Iya, bu! Sebentar lagi aku siap...!!”, jawabku. Aku segera menuju ke meja makan untuk sarapan bersama keluarga. Setelah selesai sarapan, aku diantar oleh kakakku ke sekolah. Sekalian kakakku berangkat ke kampusnya. Sepanjang jalan, tiba – tiba aku teringat seorang teman, dia sekelas denganku kadang – kadang kami duduk satu meja. Selama aku dan dia sekelas, kami cukup dekat. Namanya Intan. Secara akademik aku akui dia lebih pintar dariku, selalu mendapat peringkat lima besar sedangkan aku hanya masuk sepuluh besar, makanya aku selalu bertukar pikiran dengannya dan belajar bersamanya jika ada tugas atau belajar bersama menjelang ujian.

            Aku sangat menyayangkannya, dia tidak peduli dengan identitasnya sebagai muslim. Ya, aku pikir ini adalah kesempatanku untuk menyampaikan kebenaran padanya. Aku juga berusaha untuk tetap menjadi sahabat baik untuknya. Semoga dia juga menerima aku sebagai sahabatnya, selama tidak melanggar Islam. Tanpa terasa, aku sudah sampai di sekolah.
            “Alhamdulillah, sudah sampai. Terima kasih, Kak!”, kataku.

            “Iya. Belajarnya jangan main – main dan satu lagi, perhatikan ngajinya juga ya...!”, balas kakakku.

            “Iya... Iya...”,

            “Assalamu’alaikum....”, pamit kakakku sambil aku mencium punggung tangannya.

            “Wa’alaikumsalam Warahmatullah...”.
***
            Bel istirahat sudah berbunyi. Hari pun semakin hangat karena sinar matahari menjelang siang. Hari ini aku tidak ingin makan di kantin sekolah. Aku hanya ingin di kelas berkutat dengan buku yang aku bawa, memang sengaja aku membawanya untuk menghilangkan rasa jenuh di kelas. Kadang aku malas bergabung dengan teman – temanku, pasti yang dibicarakan adalah hal – hal yang kurang bermanfaat. Saat aku sedang asyik membaca buku, tiba – tiba Intan datang mengagetkanku.

            “Hei....!! Sedang apa...!!!”, panggil Intan sambil menepuk pundakku, cukup keras.

            “Astaghfirullah... Kau ini mengagetkan saja...! Ada apa, Tan?”, tanyaku.

            “Serius sekali baca bukunya? Baca buku apa tuh?”, tanpa basa – basi Intan merebut buku yang ada di tanganku. “Cie... Istri – istri Para Nabi...”, ledeknya.

            “Kenapa memangnya? Tidak boleh...?”, jawabku.

           “Boleh – boleh saja. O iya, Husna. Kapan kita belajar bersama lagi? Sebentar lagi kan, ujian semester. Sekalian mengerjakan tugas – tugas dari guru yang belum diselesaikan?”, tanya Intan.

            “Hmm... Terserah kamu, deh...”, jawabku singkat. Pembicaraan kami sempat terdiam sejenak. “Tan, aku boleh memberi saran padamu? Aku ingin sekali menjadi sahabatmu, makanya aku tidak ingin kamu seperti ini...”, lanjutku.

            “Saran apa? Silahkan saja. Memangnya aku seperti apa?”, tanya Intan. Aku tahu, dari raut wajahnya dia seperti kebingungan atas pertanyaan yang aku lontarkan kepadanya.

            “Aku harap kamu jangan marah dan tersinggung. Jujur, aku suka risih melihatmu memakai seragam sekolah yang tidak layak untuk dipakai. Kamu ini seorang muslim, Tan. Semua belahan tubuhmu, terlihat semua. Ditambah lagi ketika kamu sedang bermesraan dengan pacarmu di pojok kelas. Aku muak melihatnya...”, jelasku selembut mungkin. Semoga dia bisa mengerti.

            “Sudahlah...!! Aku ini tidak seperti kamu. Aku belum siap bila harus sepertimu. Berjilbab panjang, tidak pacaran, jangakan pacaran hanya sekedar bersalaman saja kau tidak mau...!! Aku bukan aktivis rohis sepertimu...!!”, jawabnya agak sedikit ketus. Tanpa berpikir panjang, Intan pergi keluar kelas menemui pacarnya yang sudah menunggu dekat lapangan untuk makan bersama di kantin.

            “Semua butuh proses, tidak bisa langsung. Setiap orang hijrah dengan cara atau proses yang berbeda. Ada yang berproses cepat dan ada juga yang berproses lambat. Semoga Allah swt memberimu petunjuk, Tan. Aku sangat sayang padamu, karena kau adalah sahabatku. Aku ingin menjadi sahabat yang terbaik untukmu”, gumamku dalam kalbu, sambil bersenadung harap.

            Tiga puluh menit berlalu, bel masuk kembali berbunyi. Pelajaran dimulai kembali. Kali ini aku tidak konsetrasi apa yang dijelaskan oleh guru. Aku sesekali menatap Intan yang duduk disebelahku, yang sedang serius memperhatikan semua penjelasan guru. Sangat aktif jika guru memberi kesempatan untuk bertanya. Di satu sisi aku kagum padanya karena nilai akademik yang bagus, tapi di sisi lain aku tidak tega melihatnya gaya hidupnya yang tidak selayaknya dilakukan oleh seorang muslim, pacaran dan sering ke luar rumah hingga larut malam.

            Aku pernah berkunjung ke rumah Intan. Ibunya Intan kadang sudah lelah menasehati agar tidak berbuat seperti itu. Ayahnya jarang sekali di rumah, karena pekerjaannya sebagai supir bus antar propinsi Jawa dan Sumatra. Kakak perempuannya hanya sebagai buruh pabrik garmen yang kadang juga harus lembur bahkan sampai pulang pagi, sedangkan ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga biasa. Apa mungkin karena kurang perhatian dari keluarganya?? Entahlah.

            Bel pulang berbunyi menghalau semua lamunanku menatap Intan. Matahari tegar bersinar tepat di atas kepala, semakin terik matahari menghangatlah bumi. Umpama sedang berjalan di tengah padang pasir, peluh mulai menetes menganak sungai. Langkah lelahku tak surut dalam menapak jalan menuju rumah untuk menjawab panggilan Allah swt, shalat zuhur.
***
            Peraturan sekolah mengharuskan untuk berpakaian rapi, bagi siswinya baju tidak boleh ketat dan rok tidak boleh terlalu pendek, untuk siswanya celana panjang tidak boleh ketat dan rambut harus rapi. Dalam satu bulan sekali, pihak sekolah memeriksa siswa – siswinya yang tidak tertib mengikuti peraturan sekolah. Intan pernah roknya digunting karena terlalu pendek. Aku tidak bisa berbuat apa – apa selain diam, cukup miris melihatnya. Sudah pendek bertambah pendek. Jam istirahat tiba, aku segera meminta tolong pada temanku yang rumahnya dekat dari sekolah untuk meminjamkan rok untuk Intan. Alhamdulillah, temanku mau meminjamkannya.

            “Tan, ini aku pinjamkan rok untukmu pulang. Kamu tidak boleh pulang dengan rokmu yang seperti ini, Tan”, sambil menyodorkan rok di tanganku. Mukanya tidak seperti biasa, dia sangat murung setelah pemeriksaan.

            “Terima kasih banyak, Na. Aku janji besok aku kembalikan rok ini”, balasnya. Aku hanya tersenyum dan langsung pergi.

            Dalam langkahku, aku mencoba mengingat – ingat akan esok hari. Sepertinya akan yang genap umurnya. Lama aku berpikir, dan ternyata besok adalah hari lahir sahabatku Intan, yang ke delapan belas tahun. Aku berlari kecil menuju kelas dan langsung membuka buku tabungan yang ada di tasku, dan ternyata masih cukup untuk membelikan Intan hadiah pada saat hari lahirnya. Aku berencana membelikan buku tentang wanita kepada Intan, dengan harapan dia mau merubah gaya hidupnya serta aku juga ingin membelikannya sebuah jilbab warna kesukaanya, pink.

            Sepulang sekolah, aku langsung ke toko buku yang juga menjual keperluan muslimah. Siroh shahabiyah mungkin cukup cocok, karena memperkenalkan wanita – wanita mulia di jaman Rasulullah saw. Aku bungkus secantik mungkin, biar menjadi sesuatu yang spesial untuk Intan. Aku akan menaruhnya di tas Intan dengan cara diam – diam mejelang bel pulang sekolah, setelah menaruh hadiah yang kubawa di tasnya aku akan segera pulang tanpa sepengetahuannya. Mudah – mudahan menjadi kejutan yang indah untuknya.
            Malamnya, Intan mengirimiku sebuah pesan singkat yang membuatku sujud syukur. Aku sangat berharap ini adalah awal proses dia untuk hijrah.

            “Husna, terima kasih banyak ya atas hadiahnya. Aku suka sama hadiah yang kamu beri padaku. Cuma kamu yang mengerti aku, Na”, pesan singkatnya.

            “Iya, Tan. Sama – sama. Aku sebenarnya sayang sasa kamu sebagai sahabatku, Tan”, balasku. Aku mencoba menuggu balasannya, tapi tak kunjung dibalas. Ya sudahlah...
***
            “Tumben sekali Intan terlambat”, gumamku. Aku terus menunggu tapi tak kunjung hadir ke sekolah. Aku mencoba telepon, namun tidak diangkat. Menjadi sedikit khawatir hatiku, aku takut terjadi apa – apa pada Intan. Semakin lama semakin resah, aku tidak serius dalam belajar. Saat guru menunjukku untuk menjawab pertanyaannya, aku tidak bisa menjawab dengan benar. Aku ingin segera bel pulang berbunyi.

            Akhirnya, bel pulang berbunyi juga. Belum sampai kakiku melangkah keluar menuju gerbang, aku ditelepon oleh ibunya Intan, mengabarkan bahwa Intan mengalami kecelakaan dan sekarang keadaannya sangat kritis. Tubuhku langsung lunglai, seperti tak ada tenaga untuk membawa tubuh ini. Aku langsung ke rumah sakit tempat Intan di rawat. Mencoba menahan ketegaran di ujung mata, tapi tak kuasa menahannya. Dada terasa sesak.

            Setelah sampai, aku berlari menuju kamar di mana Intan di rawat. Ketika sampai, membanjirlah air mataku. Semua keluarga Intan menangis. Aku melihat Intan sudah tertutup seluruh tubuhnya dengan kain putih. Langkahku pelan, menghapiri Intan yang sudah tak bernyawa. Ku mencoba tegar, tapi tak bisa. Aku membuka selimut yang menutupinya, mengenaskan sebagian mukanya sedikit hancur. Ku tutup kembali. Ibunya menjelaskan kejadiannya.

            “Dik Husna, Intan tadi pagi dijemput oleh pacarnya untuk ke sekolah bersama. Mungkin Intan terasuki pacarnya untuk bolos sekolah. Akhirnya, mereka berdua pergi entah kemana. Hingga akhirnya, terjadilah seperti ini saat hendak pulang. Sebelum Dik Husna ke mari. Intan berpesan kepada ibu untuk memberi bros cantik biru ini untuk Dik Husna. Katanya terima kasih atas semua kasih sayang Dik Husna pada Intan dan meminta maaf jika Intan punya khilaf serta belum bisa menjadi sahabat yang baik untuk Dik Husna”, jelas ibunya Intan.

            Tambah menjadilah aku menangis dan hanya bisa berteriak dalam hati. Kau dipanggil oleh Allah belum keadaan hijrah. Intan, aku ingin menjadi sahabat yang baik untukmu. Maafkan juga khilafku padamu. Selamat jalan Intan, semoga engkau diterima di sisiNYA...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar