Rabu, 18 April 2012

Penaklukan Panjang Konstantinopel

Sebuah ramalan Rasulullah menjadi pelecut motivasi yang hebat bagi kaum muslimin untuk membebaskan kota Konstantinopel. Sejatinya ramalan Rasulullah, tentu akan pasti terjadi. Beliau saw tidak bicara dengan nafsunya. Hanya saja redaksi dalam ramalan itu membuat pemimpin-pemimpin umat muslim termotivasi untuk ikut andil untuk merealisasikannya. Layaknya sebuah sayembara.

Hadits itu berbunyi seperti ini: “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (H.R. Ahmad)

Abu Qubail menuturkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, “Suatu ketika kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau ditanya, “Mana yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Romawi?” Beliau menjawab, “Kota Heraklius-lah yang akan terkalahkan lebih dulu.” Maksudnya adalah Konstantinopel.” (H.R. Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim)

Penaklukan ini sendiri terjadi 8 abad setelah Rasulullah meramalkannya.
Sejarah panjang gairah penaklukan kota strategis ini dimulai sejak seorang sahabat Rasulullah, Muawiyah r.a. mengusulkan kepada khalifah Utsman bin Affan r.a. untuk membentuk armada laut sebanyak 1600 kapal untuk mengamankan wilayah afrika Utara yang telah dikuasai kaum muslimin. Selain itu, angkatan laut ini juga diperlukan untuk berkonfrontasi terhadap kekutan Romawi yang wilayahnya berada pada tiga benua yang dibatasi oleh laut tengah dan laut mati. Penyerangan kepada ibukota Romawi, Konstantinopel, dari manapun arahnya harus melewati laut. Jadi angkatan laut ini sangat diperlukan.

Pada 650 Masehi, terjadi konfrontasi antara armada Islam yang dipimpin oleh Abdullah bin Abu Sarah melawan armada Romawi yang dipimpin Kaisar Konstantin II di Mount Phoenix. Armada Romawi mengalami kekalahan telak. Konon 20.000 orang pasukannya tewas. Pertempun ini sangat menentukan karena selangkah lagi kaum muslimin akan menghampiri ibukota Romawi. Dan pada 654 M, Utsman bin Affan mengirimkan Muawiyah bin Abu Sofyan r.a. dengan pasukan yang besar untuk mengepung dan menaklukkan Konstantinopel. Tetapi sayang mereka pulang dengan tangan hampa disebabkan oleh kokohnya pertahanan Konstantinopel.

Selasa, 31 Januari 2012

Rahasia Parenting Nabi Ibrahim

Remaja itu masih berumur belasan tahun. Namun kepribadiannya telah matang. Dewasa. Jauh melampaui usia biologisnya.

Kedewasaan karakter itu tercermin dari logika keimanannya yang sempurna. Maka, begitu tahu bahwa penyembelihan dirinya adalah perintah Allah, ia menjawab dengan tenang: "Hai ayahku... kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" (QS. Ash-Shaaffaat : 102)

Jika hari ini banyak orang tua yang mengeluhkan anaknya tidak berbakti pada mereka, Ibrahim bukan hanya mendapati Ismail berbakti. Lebih dari itu Ismail pada usia remaja telah membaktikan dirinya tanpa reserve kepada Dzat yang memerintahkan berbakti kepada orang tua. Meskipun nyawa sebagai taruhannya.

Kita mungkin beralasan, bahwa Ibrahim dan Ismail adalah nabi. Tak bisa disamakan dengan manusia biasa. Memang itu benar adanya. Akan tetapi, bukankah salah satu gelar yang dianugerahkan Allah kepada Ibrahim adalah uswatun hasanah? Maka, dalam dunia parenting pun Ibrahim mencatatkan keteladanan bagi umat manusia sesudahnya. Lalu, apa rahasia parenting nabi Ibrahim?

Belajar Ketabahan dari Ummu Sulaim

SUATU hari, anak Abu Thalhah meninggal dunia. Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, berkata kepada orang-orang yang menjenguk anaknya, “
Janganlah ada yang memberi kabar kepada Abu Thalhah hingga akulah sendiri yang memberi kabar duka ini.”
 
Berkata begitu, Ummu Sulaim segera merapikan jenazah putranya.

Malam harinya, Abu Thalhah pulang. Ia segera menanyakan keadaan anaknya.

“Ia tenang seperti sedia kala,” jawab Ummu Sulaim.

Istri taat ini bergegas menyuguhkan makan malam bagi suaminya. Tak lupa mematut diri di depan cermin agar tampak lebih indah dari biasanya.

Melihat istrinya yang berhias cantik, Abu Thalhah pun bergairah. Malam itu pun Ummu Sulaim melayani suaminya di atas tempat tidur.

Setelah Ummu Sulaim melihat suaminya tampak puas dan tenang jiwanya, ia pun berkata lembut, “Wahai Abu Thalhah, bila ada keluarga yang meminjam sesuatu kepada keluarga yang lain, lalu mereka meminta kembali barang pinjaman itu, tetapi keluarga itu menolak mengembalikan pinjaman itu, bagaimana menurut pendapatmu?”

“Sungguh, sekali-kali mereka tidak berhak untuk menolaknya karena barang pinjaman harus dikembalikan kepada pemiliknya,” jawab Abu Thalhah dengan segera.

Mendengar jawaban itu, Ummu Sulaim tersenyum, kemudian berkata lagi, “Sesungguhnya anakmu adalah barang pinjaman dari Allah, dan Allah telah mengambilnya.”

Seketika Abu Thalhah mengucapkan kalimat istirja’, Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un.