Kamis, 24 Januari 2019

CERPEN : MEDALI CINTA SANG ARJUNA


“Duuuuh...!! Markas LDK pindah segala! Masih banyak barang-barang inventaris yang belum diangkut”, keluhku sambil membawa beberapa kardus. Tumpukan kardus sampai menutupi pandanganku. Samar-samar kulihat ada cowok berbadan gemuk, mata sipit, berkulit putih, tinggi, dan berkacamata. Dia jalan terburu-buru dari arah berlawanan sambil membaca sesuatu dari ponselnya, sesekali mengetik. Dia sama sekali tidak melihat apa yang ada di depannya. Tiba-tiba dia menabrakku yang sedang kerepotan membawa tumpukan kardus. Braakk...!!
            “Astaghfirullah...!!,” spontan  saja beristighfar. Aku terjatuh. Barang-barang yang ku bawa beratakan. Ada yang isinya berhamburan
            “Kamu nggak papa? Maaf ya, saya nggak sengaja. Saya buru-buru mau ke kelas. Ada jam kuliah,” dia minta maaf sambil membantuku merapikan barang-barang yang berantakan.
            “Makanya, hati-hati dong! Jangan handphone terus! Mata udah empat juga!,” balasku dengan nada kesal.
            “Iya, maaf ya. Sekali lagi saya mohon maaf,” dia mencoba menghiba maaf dariku.
            “Iya! Saya maafin! Lain kali hati-hati!,” aku masih kesal.
            Sesampainya di sekretariat yang baru, aku mengecek kembali barang-barangnya. Khawatir ada yang kurang. Dan ternyata benar, ada satu map yang tertinggal. Tapi aku tidak tahu, arsip apa yang tertinggal.

***

            Sore pun tiba. Matahari sudah di ujung peraduan. Langit biru mulai berubah menjadi jingga. Azan akan berkumandang dalam hitungan menit, yang akan membelah suasana hiruk-pikuk kota Jakarta. Aku masih di sekretariat LDK yang baru, yang letaknya tidak jauh dari kampus. Kondisi tempat ini masih berantakan, karena baru proses pemindahan barang. Besok pasti akan ada kerja bakti untuk merapikan tempat ini.
            Sepertinya tidak ada waktu untuk menunaikan shalat di rumah, terpaksa shalat maghrib di masjid yang kudapati di inggir jalan. Setelah shalat maghrib, aku langsung pulang. Sepanjang perjalanan, aku mengendarai motorku dengan perlahan. Efek lelah. Saat tiba di rumah, aku mandi dan wudhu untuk bersiap shalat isya.
            “Masya Allah... Lelah sekali hari ini. Ditambah pinggangku sakit karena terjatuh tadi,” gumamku.
            Malam seperti berlari, tanpa terasa subuh menjelang. Aku hampir tidak terdengar azan dari masjid depan rumah. Bisanya, suara sedikit saja dari masjid aku langsung terbangun. Tapi kali ini berbeda. Mungkin syaithon yang terkutuk telah menutup telingaku, karena kelelahan kemarin sore. Oh, tidak.
            “Lisa! Bangun, Lisa! Sudah setengah enam pagi. Kamu tidak berangkat ke kampus hari ini?” ayahku membangunkanku. Aku kaget. Bukan kaget karena dibangunkan, namun karena terlewat subuh.
            “Astaghfirullah! Bablas deh subuhnya! Kenapa Ayah tidak membangunkankunwaktu subuh?!” pastilah aku merasa kesal, sekaligus menyesal bangun kesiangan.
            “Ayah nggak tega bangunin kamu.sepertinya kamu kelelahan kemarin sore,” balas ayahku.
            “Ah, Ayah!,” singkat. Dengan nada kesal. Tanpa basa-basi aku langsung mengambil handuk dan mandi.
            Setelah rapi, langsung berangkat ke kampus. Kali ini agak terburu-buru untuk mengejar jam kuliah pagi, agar tidak terlambat masuk kelas. Dosennya agak killer. Telat tiga menit saja langsung tidak boleh masuk kelas, mengikuti kuliahnya. Harus di luar ruangan sampai jamkuliahnya selesai. Itulah dosen mata kuliah Linguistik.
***
            Inilah mata kuliah yang aku tidak suka, Statistik. Yang aku tidak suka karena mata kuliah ini penuh dengan hitung-hitungan. Itulah mengapa aku memilih Bahasa dan Satra Indonesia. Untuk menghindarai hitung-hitungan. Aku juga bertanya-tanya, kenapa harus bertemu Statistik? Aku sama sekali tidak mengerti mata kuliahnya. Hampir setiap tugas jmata kuliah ini, aku sampai bertanya pada temanku di program studi Matematika. Kalau tidak, tamatlah riwayat nilai mata kuliah ini. Aku tidak ingin mengulang mata kuliah ini satu semester.
            Dua SKS, terasa lama. Waktu berjalan seperti siput. Ingin rasanya segera berakhir. Percuma dosennya menerangkan secara rinci, tapi aku sama sekali tidak mengerti. Berpikir keras untuk memahami, bisa-bisa otakku sariawan.
            Setelah selesai kuliah ini, aku segera berkumpul dengan teman-teman LDK untuk kerja bakti merapikan sekretariat yang baru. Sekretariat kami kali ini agak besar, bahkan ada skat tembok yang berfungsi sebagai hijab antara laki-laki dan perempuan jika sedang ada rapat. Di tengah kami membereskan kantor, ada seseorang yang datang mengembalikan barang milik LDK. Aku mengintip orang itu, ternyata orang yang pernah menabrakku waktu memindahkan barang-barang.
            “Assalamu’alaikum...,” orang itu mengucap salam.
            “Wa’alaikumsalam warahmatullah...,” jawab seorang ikhwan yang sedang merapikan bagian depan.
            “Maaf, apa betul ini sekretariat LDK yang baru?,” tanya orang itu.
            “Betul, Mas. Ada apa ya?”,
            “Saya ingin mengembalikan ini”, orang itu menyodorkan sebuah plastik folder untuk arsip penting. Aku kaget, pantas saja kemarin ada yang kurang. Ternyata benar, ada yang tertinggal waktu aku terjatuh karena tertabrak olehnya. “Saya menemukan ini di lorong lantai dua. Sepertinya ini milik LDK yang terjatuh”, lanjutnya.
            “Oh, begitu. Terima kasih ya. Maaf, Mas dengan siapa?” tanya ikhwan itu.
            “Saya Abdullah. Kalau begitu, saya permisi dulu,” orang itu pamit.
            “Apa tidak masuk dulu. Sekedar minum teh,” ikhwan itu menawarkan untuk bertamu dulu pada orang itu.
            “Nggak, Mas. Saya buru-buru. Ada urusan. Permisi. Assalamu’alaikum,” orang itu langsung pergi meninggal tempat.
            “Wa’alaikumsalam warahmatullah...,” kami menjawab salamnya
            “Oo... Namanya Abdullah...,” gumamku dalam hati.
            “Dor! Ngelamun aja! Lihat apa sih? Jangan-jangan kamu suka yaaa sama orang yang tadi?”, Nisa mengagetkaku. Membuyarkan lamunan tentang orang tadi.
            “Ish! Apaan sih! Kenal junga nggak sama orang tadi,” ketusku.
            “Ah, masa’. Jangan gitu, nanti lama-lama kamu bisa suka lhooo...,” Nisa tambah meledekku ditambah mencubit pipi. Suasana hening sejenak
            “Asal kamu tahu aja ya, Lis. Orang yang tadi itu atlet panahan lho. Jago panahan, andalan kampus kalo ada kompetisi. Pasti masuk tiga besar. Denger-denger mau dimasukkan ke tim nasional,” celetuk Lastri yang memecah keheningan.
            “Dari program studi apa, Las?,” tanya Nisa.
            “Ya dari Pendidikan Olahraga lah, Nis! Kalo dari FISIP nggak mungkin. Apalagi Teknik,” jawab Lastri.
            “Eh... Tapi kalo diperhatiin, orang tadi tuh mukanya lucu. Kayak muka masih bocah. Chubby banget,” kata Nisa sambil menahan tawa.
            “Woy! Istighfar!,” nadaku agak sedikit dinaikkan karena obrolan mereka.
            Selesai kerja bakti hari ini. Aku segera pulang dan istirahat sore.

***
            Hari ini aku membawa beberapa makalah. Ada satu makalah yang baru aku selesaikan semalam sampai dini hari. Paginya, ngantuk tidak dapat dihindari. Selama diperjalanan aku terus menguap, dan hampir saja terjatuh karena tida bisa menghindar kendaraan yang lewat. Untuk menghindari bahaya, aku berhenti sejenak di mini market untuk membeli beberapa camilan, minuman ringan, dan kopi kemasan botol agar mengantukku hilang. Tanpa sengaja, aku bertemua orang yang pernah menabrakku saat mengantre di kasir. Dia berbalik setelah transaksi. Dia mentapku tanpa sepatah kata dari mulutnya. Barangkali dia segan untuk menyapa dengan wanita yang berkerudung panjang sepertiku. Aku hanya menunduk untuk menghindari tatapannya.
            Selesai keperluanku di mini market. Kulanjutkan perjalanan, agak dipercepat. Semoga saja tidak terlambat masuk kelas. Di perempatan agak macet, karena lampu merahnya mati. Syukurlah, ada polantas yang mengatur agar kemacetan terurai.

***
            Tiba-tiba ketua LDK mengadakan rapat dadakan. Semua anggota pasti bertanya-tanya ada apa gerangan? Kami pikir akan ada sesuatu yang penting untuk disampaikan dan didiskusikan. Tapi ternyata cuma menyampaikan rencana baru di luar program kerja yang sudah di buat sebelumnya.
            “Bagaimana, sudah berkumpul semua? Baiklah, kalau begitu kita mulai saja. Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,”  ketua kami, Umar, membuka forum rapat. Kami menjawab salam dilanjutkan mendengarkan tilawah dari salah satu anggota ikhwan.
            “Ane mohon maaf sebelumnya, karena mengumpulkan antum mendadak seperti ini. Ada hal yang mau ane samaikan pada antum bahwa ada teman kita dari Pendidikan Olahraga menawarkan untuk membuat klub panahan kampus. Sebelumnya beliau sudah menawarkan ke BEM fakultas dan BEM universitas, tapi tidak ada respon dari kedua lembaga tersebut. Nah, akhirnya beliau menemui waktu di masjid setelah zhuhur berjama’ah untuk menawarkan ini. Bagaimana menurut antum? Diterima atau tidak tawaran ini? Seperti yang sudah antum ketahui, bahwa memanah adalah olahraga sunnah. Mungkin karena hal itu, teman kita dari Pendidikan Olahraga ingin memulai klub panahan kampus dari Lembaga Dakwah Kampus atau LDK. Bagaimana pendapat antum? Diterima atau tidak?” Umar menjelaskan panjang lebar.
            “Ane setuju banget klub panahan diawali dari LDK. Malah menurut ane sebuah kehormatan bagi LDK. Tapi sebelumnya ane mau tanya nih, nanti pas latihan dikhususkan untuk ikhwan atau akhwat juga boleh berpartisipasi? Ane yakin akhwatnya banyak yang minat dengan olahraga sunnah ini”, respon Nisa.
            “Oke, ane tanyakan sekarang lewat telepon. Ane load speaker ya, biat antum juga dengar,” Umar menekan tuts keyboard ponselnya untuk menghubungi orang yang bersangkutan.
            Tuuut...Tuuut...Tuuut... Telepon terhubung. Kami hening sesaat untuk mendengarkan penjelasan orang itu.
            “Halo, assalamu’alaikum,” jawab orang itu di telepon.
            “Wa’alaikumsalam warahmatullah. Abdullah, saya Umar, dari LDK. Saya sudah bicarakan dengan teman-teman LDK. Mereka setuju banget. Tapi untuk latihan nanti, apa hanya laki-lakinya atau yang perempuan boleh berpartisipasi? Karena perempuannya banyak yang minat juga nih,” tanya Umar.
            “Alhamdulillah kalau perempuannya ada yang mau ikut. Tidak papa. Nanti latihannya kita atur. Kapan, jam berapa, dan tempatnya dimana. Karena panahan butuh tempat yang safety atau steril dari orang lalu-lalang. Kalo nggak safety, berbahaya,” jelasnya.
            “O iya, nanti yang perempuannya gimana Abdullah melathnya? Karena yang perempuan nggak bakal sentuhan tangan untuk memperbaiki jika ada yang salah,” Umar berhati-hati menjelaskan agar tidak tersinggung.
            “Kalo itu insya Allah saya paham. Kapan, jam berapa, dan dimananya saya tunggu info selanjutnya ya. Assalamu’alaikum,” orang itu mengakhirim pembicaraan telepon.
            “Wa’alaikumsalam warahmatullah...,” jawab kami.
            Aku mencoba berpikir hal lain. Mungkin inilah jalan dakwah yang lain selain mengadakan kajian rutin dan seminar. Jarang sekali ada klub panahan. Di sekitar rumahku tidak ada klub panahan. Teman-temanku juga berpikir sama sepertiku. Mungkin saja.

***
            Hari ini, hari pertama latihan. Tentunya tidak langsung shoot. Ada perkenalan tentang panahan dan pelatih. Pertemuan pertama ini banyak penjelasan tentang panahan. Mulai dari alat, prosedur keselamatan olahraga panahan yang wajib ditaati, sampai sejarah panahan. Tapi malah perkenalan pelatih belakangan, dilanjutkan dengan tanyajawab atau diskusi.
            “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Hari ini adalah hari pertama kita bertemu untuk berlatih panahan. Sebelum kita shoot dengan busur dan arrow atau anak panah, saya ingin memperkenalkan perlatan yang akan kita pakai nanti, dan prosedur keselamatan olahraga panahan. Olahraga yang disunnahkan oleh Rasulullah saw. Perlu teman-teman ketahui, olahraga panahan adalah olahraga yang berbahaya, karena arrownya termasuk senjata tajam,” Abdullah menjelaskan panjang lebar.
            Dia membawa perlatan pribadinya yang sudah terpasang lengkap. Harganya cukup fantastis menurutku. Nggak hanya barang pribadinya, dia juga membawa busur yang pegangannya dari kayu, dan mejelaskan bahwa busur seperti itu yang akan kita pakai nanti latihan. Saking asyiknya menjelaskan, dia lupa mempeprkenalkan diri.
            “O iya, saya sampai lupa memperkenalkan diri. Nama saya Abdullah Kim Hyun. Teman-teman boleh memanggil saya Abdullah atau Kim. Tapi sekarang saya lebih suka dipanggil Abdullah. Saya lahir di Korea Selaran, tepatnya di Seoul sampai saya SMP. SMA saya pindah ke Jakarta beserta ayah, ibu, dan saudara kandung, karena ayah saya dipindahtugaskan ke Jakarta. Ahmadulillah, saya masuk Islam setelah pindah ke Jakarta. Orang tua dan saudara kandung juga alhamdulillah sudah masuk Islam juga. Saya menekuni panahan dari sekolah dasar, SMP mulai mengikuti kompetisi nasional di Korea. Nah, karena sudah lima tahun lebih saya sudah menjadi warga negara Indonesia dan sudah lancar bahasa Indonesia dalam kurun waktu enam bulan kurang lebih semenjak datang ke Jakarta. Sampai di sini ada yang ingin ditanyakan? Silahkan. Tentang atau tentang saya juga boleh,” perkenalan panjang lebar dan orang mendengar pasti juga kagum padanya.
            “Eh, Lisa. Kayaknya Abdullah sering melihatmu deh,” bisik Lastri padaku.
            “ Ah, nggak! Perasaanmu saja kali,” balasku.
            “Beneran! Aku perhatikan dia seperti itu,” bisiknya lagi padaku. Hingga akhirnya Abdullah menegur kami.
            “Bagaimana Mbak yang di sana? Jelas? Ada pertanyaan?” tegurnya.
            “Ng...Nggak. Sudah cukup jelas,” balasku.
            “Baiklah, kita bertemu lagi pekan depan. Tentunya di lapangan. Langsung kita terapkan tekniknya dengan busur dan arrow. Jika ada kata-kata yang salah mohon dimaafkan, ambil yang bermanfaat apa yang sudah saya sampaikan tadi. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,” Abdullah menutup pertemuan awal ini.
            Ketika sudah keluar ruangan, Lastri mengingatkanku tentang virus merah jambu, dan aku bertekad itu tidak akan terjadi. Insya Allah aku bisa jaga hati.

***
Ting...!!
Ponselku berbunyi. Ternyata aku dimasuki grup WA yang baru. Grup panahan kampus. Adminnya jelas saja Pak Ketua LDK, dan Abdullah.
            “Maaf teman-teman. Saya meminta Umar untuk membuat grup. Agar nanti mudah koordinasi, dan berbagi ilmu tentang panahan,” Abdullah menulis pesan pertama di grup.
            “Siap, Pak Pelatih!” balas Umar diakhiri gambar jempol.
            Panjang lebar obrolan di grup baru tersebut. Obrolan panahan tentunya. Kami masih pemula, jadi banyak pertanyaan dari teman-teman. Berbagai video dan artikel tentang panahan dikirim Abdullah untuk lebih memantapkan teknik memanah. Sesekali Abdullah menyemangati kami dengan dalil-dalil tentang keutamaan memanah.

***

            Latihan pertama teman-teman LDK bersama Abdullah. Semuanya antusias. Bagi kami, ini pertama kali memegang busur. Sebelum shoot, kami pemanasan untuk mengurangi cidera. Walau tarikan busur ber-Lbs ringan, bisa cidera kalau tidak pemanasan. Selesai pemanasan, dia memperagakan teknik yang benar. Mulai dari posisi berdiri, sampai melepas arrow. Dia memang pemanah yang hebat. Saat memperagakan memanah, arrownya langsung menancap di area kuning bantalan target. Kami memberi aplause. Selain itu, dia juga mengingatkan kembali prosedur keselamatan serta peraturan olahraga panahan.
            Sebagai awalan, kami belajar jarak dekat, 5 meter. Katanya, sebagai pemula diawali jarak dekat terlebih dahulu. Jika shoot kami sudah bagus, dan berkumpul di area kuning bantalan target, kami boleh mundur atau menambah jarak shoot. Ketika pulit dibunyikan dua kali, kami harus sudah siap dengan posisi berdiri dan arrow yang terpasang pada busur. Pluit satu kali berbunyi, kami harus shoot. Hasilnya berantakan semua. Dia pun memaklumi. Kami pemanah pemula. Wajar kalau berantakan. Ada yang menancap di luar area target, ada yang ke atas melewati target, ada pula yang melwati kanan dan kiri target. Dia memberi kami semangat agar tidak putus asa, ini baru awalan. Rajin berlatih akan memperbaiki teknik, dan skor akan mengikuti.
            Jumlah busur yang digunakan terbatas. Kami harus bergantian. Kini giliranku. Gugup tak bisa hindari. Jantung berdegup kencang. Tangan seperti menggenggam es. Diluar dugaanku. Kukira ringan, ternyata saat kutarik terasa berat. Posisi badan mulai tak beraturan karena menahan berat tarikan busurnya. Dia meminta Lastri untuk membatunya memperbaiki posisi badanku. Dilihat langsung olehnya. Tepat didepan mataku. Rasanya aku ingin lari dari tempat ini. Aku diminta untuk melepas arrownya, dan meleset. Melesetnya melewati bantalan target. Semuanya. Tidak ada yang menusuk pada target, membuatku tambah malu. Dia tersenyum padaku, “Nggak papa. Namanya juga belajar. Terlebih masih pemula. Pertama kali menembak dengan busur”, kata dia. Aku tertunduk malu.
            Lastri memperingatkan lagi setelah latihan, “Hati-hati lho, Lis. Jaga hatimu. Sepertinya Abdullah memang suka padamu. Mata tidak bisa dibohongi. Aku perhatikan bola matanya berbinar saat menatapmu, Lis. Ingat! Selesaikan kuliahmu dulu, dan dakwah kampus ini. Kau sendiri yang memilih untuk bergabung dengan lembaga dakwah kampus ini”.
            “Baiklha, Lastri. Aku akan ingat kata-katamu. Aku akan berusaha semampuku untuk menjaga hati”, balasku. Hanya bisa terdiam, tertunduk dalam-dalam memikirkan ucapan Lastri.
            Abdullah tiba-tiba datang ke arahku, mengagetkan lamunanku, “Kamu kenapa? Yang tadi tidak usah dipikirkan. Saya maklum. Yang penting jangan putus asa hanya karena anak panah tidak menancap pada bantalan target”
            “I...iya, Coach”, jawabku singkat.

***

            Aku sedang mengetik tugas makalah Sastra Banding. Bunyi ponselku mengharuskanku jariku yang menari di atas tuts keyboard untuk berhenti. Ting!! Ting!! Setelah kulihat, nomor tak dikenal mengirim pesan whatsapp (WA). Kubuka dan kubaca. Betapa terkejutnya aku. Ternyata dari Abdullah.
            “Assalamu’alaikum wr wb. Lisa, kamu jangan putus asa ya. Tetap semangat. Waktu awal belajar memanah juga sama. Berantakan. Latihan berikutnya diharapkan kehadirannya ya. Untuk memperbaiki teknik,” seperti itu bunyi Wanya.
            “Wa’alaikumsalam wr wb. Maaf, kamu tahu nomorku darimana? Dan darimana pula kamu tahu namaku Lisa? Insya Allah aku tetap semangat untuk berlatih,” balasku
            “Nomormu dan namamutercantum di grup panahan kampus,” dia membalas lagi.
            Keesokan harinya, aku memberi tahu Lastri tentang pesan WA Abdullah padaku. Mungkin benar apa yang dikatakan Lastri tempo hari. Aku bingung harus berbuat apa. Lasti kembali mengingatkanku lagi. Harus menjaga hati agar tidak terjangkit virus cinta yang bisa mengacaukan ibadah dan akademikku. Bagaimana dengan latihan memanahnya? Pastinya aku bertemu dengan Abdullah. Apa aku harus berhenti? Atau aku harus mencari tempat latihan yang baru agar aku tidak lagi bertemu Abdullah? Pertanya-pertanyaan itu melintas dipikran di tengah kebibungunganku.

***

            “Haduuuhhh...!! Kenapa aku kepikiran Abdullah sih? Aku jadi tidak fokus belajar nih! Mana besok UAS! Huuufff...,” gumamku sambil garuk-garuk kepala.
            Ting!Ting! ponselku berbunyi. Ada pesan WA yang masuk. Astaghfirullah! Dari Abdullah lagi. “Assalamu’alaikum wr wb. Semoga sukses untuk UASnya ya,” begitu bunyi pesannya. Aku tidak membalas pesan WA darinya.
            Esok harinya, hari pertama UAS. Aku harus fokus ujian, karena UAS ini yang akan membawaku menuju semester akhir. Sebenarnya aku ingin segera menyelesaikan kuliah. Aku melewati langkah-langkah untuk menyelesaiakn kuliah terasa lamban seperti kura-kura.
            Jam istirahat, aku duduk di kursi depan kelas sambil membaca dan mengulang mata kuliah yang akan diujikan berikutnya. Diam-diam seperti ada yang memperhatikanku dari kejauhan. Aku sepertinya tahu siapa dia. Ah, aku tidak peduli. Kuteruskan belajar sampai masuk kelas kembali. Dia pergi, aku melihatnya sudah berbalik dan menjauh. Tidak salah lagi, pasti itu dia, Abdullah.
            Malamnya dia mengirimkan pesan WA lagi. Dia bertanya kenapa aku tidak datang lagi untuk berlatih panahan berama teman-teman LDK dan bersamanya.
            “Lisa. Maaf. Saya ingin bertanya padamu. Kenapa kamu jarang latihan lagi? Bahkan sudah dua bulan ini kamu tidak latihan,” pesan Abdullah to the poin, tanpa salam.
            “Assalamu’alaikum, Abdullah. Saya mohon maaf, saya sedang banyak keperluan dan fokus UAS. Sekali lagi saya mohon maaf, Abdullah,” balasku. Di akhir kalimat kusisipkan gambar tangan yang dirapatkan tanda memohon maaf.
            “Wa’alaikumsalam. Maaf, lupa salam. Oh, baiklah kalau begitu. Maaf, jika  menganggumu,” balasnya dingkat, aku tidak membalasnya lagi.

***

            “Lisa. Kalau kamu sudah punya pacar, kenalkan pada ayah dan ibumu,” ayah tiba-tiba berkata seperti itu ketika sedang makan malam bersama keluarga.
            “Uhuk...uhuk...! Ayah ngomong apa sih?” aku tersedak mendengar perkataan ayah seperti itu.
            “Ya nggak papa kan, lagi pula sebentar lagi kuliahmu selesai. Apa kamu tidak ingin menikah?” sambung ibuku.
            “Aku heran deh, kenapa tiba-tiba Ayah berkata seperti itu? Ibu juga, nyambung-nyambung aja! Lagi pula kuliahku masih lama. Aku juga belum terpikir untuk segera menikah. Yah, aku tidak mau pacaran. Semakin lama pacaran, semakin banyak dosa. Memangnya Ayah dan Ibu mau aku berzina dengan pacarku? Pasti tidak mau kan. Berzina bukan hanya berhubungan badan dengan lawan jenis yang belum halal. Pegang-pegangan tangan juga termasuk zina. Telepon-teleponan hanya berdua juga dosa, berkhalwat. Zina telinga mendengar kata-kata mesra, belum lagi zina mulut,” aku menjelaskan dengan panjang lebar. Semoga ayah dan ibuku mengerti.
            “Oke...oke! ayah dan ibu mengerti. Kalau begitu, jika ada laki-laki shalih datang ke ayah dan ibu untuk melamarmu, kamu tidak boleh tolak ya,” kata ayah sambil senyum-senyum meledek.
            “Iya! Tenang saja!,” responku singkat. Aku menuju ke kamar setelah menghabiskan makan malam.
            Aku belajar untuk mata kuliah yang akan diujikan esok, Sastra Islam. Fokus. Ponsel kumatikan agar tidak menganggu. Aku tindak ingin mengulang satu semester. Mata kuliah ini agak sulit, karena harus mengingat sejarah.

***

            Latihan panahan kali ini aku hadir. Ketika shoot, belum ada perkembangan pada diriku. Karena aku jarang sekali datang latihan karena ingin menghindari Abdullah yang jatuh hati padaku. Perlahan mulai kusadari. Aku tahu, gejala virus cinta ini karena sering melihatnya. Saat berpapasan di lobi, dan dia juga sering diam-diam memperhatikanku dari kejauhan. Aku juga beberapa kali mengintip dia sedang berlatih sendirian di lapangan kampus, di luar jadwal latihan di klubnya.
            Dia pekerja keras. Menjelang kompetisi besar, dia bisa latihan berminggu-minggu. Seringnya latihan sampai ada bekas di dagunya dan lehernya. Wajar saja jika dia menjadi kebanggaan kampus, mungkin juga di keluarganya. Akhir-akhir ini terdengar kabar bahwa dia akan dimasukan ke dalam tim nasional dalam kompetisi internasional panahan di Bali setelah wisuda.
            Malamnya aku ingin menjelaskan semuanya padanya agar jangan menganggu kehidupanku lagi. Aku yakin, jika berjodoh akan dimudahkan jalannya dan dipertemukan di jalan yang halal.
            “Assalamu’alaikum wr wb. Abdullah, saya mohon maaf telah menganggumu malam-malam begini. Saya ingin berpesan padamu. Ini soal hati yang telah terjangkit virus merah jambu. Jika karena saya hatimu ternodai, saya mohon maaf. Maka dari itu, jangan mengganggu kehidupan saya lagi. Jika ada hal penting yang ingin disampaikan padaku, kamu bisa menyampaikannya melalui temanku, Lastrii. Atau temanku sesama anggota LDK. Saya mengucapkan terima kasih karena telah mengajari teman-teman LDK lahraga panahan. Khususnya saya. Saya senang mempelajari panahan. Tentang perasaanmu dan aku, berharaplah hanya pada Allah swt. Apabila kita berjodoh akan dimudahkan jalannya, dipertemukan dalam ikatan yang halal. Apabila kita tidak berjodoh, mungkin aku bukanlah wanita terbaik untukmu. Mohon respon pesan ini. Setelah itu aku akan menghapus pesanmu dan keluar dari grup panahan kampus,” isi pesanku yang panjang pada Abdullah.
Aku mengetik pesan ini dengan deraian air mata. Aku sebenarnya senang semua tentangnya. Bahkan pesan WA darinya membuat hatiku berbunga-bunga. Aku mengetik pesan itu dengan perasaan sakit di hati. Aku mulai merasa nyaman selama ini. Ada perhatian dari orang di luar keluargaku. Akan tetapi, itu salah. Aku tidak ingin mengacaukan ibadahku, akademikku, dan malah menambah dosa.
“Wa’alaikumsalam wr wb. Baiklah kalau begitu. Saya mengerti. Saya juga minta maaf karena telah hadir dalam hidupmu, dan membuatmu gelisah, saya juga merasa seperti itu. Terlebih dalam hal ibadah.” Balasnya.

***

            Aku lewat lapangan tempat biasa latihan Abdullah di kampus. Dia sedang berlatih rupanya. Tiba-tiba ada seorang wanita berhijab, modis, dan cantik menghampiri Abdullah. Tapi dia tetap berlatih. Sepertinya wanita itu juga menyukai Abdullah. Wajar saja jika banyak wanita yang menyukai Abdullah, karena Abdullah memiliki paras yang menarik walau tidak memiliki badan atletis. Apalagi Abdullah pun bersikap baik pada semua orang, terlebih dia sebagai mualaf.
            Langkahku terhenti. Melihat mereka berdua dari kejauhan. Sayup-sayup terdengar suara mereka, karena kondisinya agak sepi. Wanita itu berkenalan dan menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan. Abdullah tidak mau, dia merapatkan kedua telapak tangannya. Aku terkejut, sekaligus kagu. Dia mulai menjadi muslim yang sebenarnya. Namun, ada rasa cemburu yang menyulut hatiku.
            Wainta itu mendatangi Abdullah karena ingin diajari olahraga memanah, namun Abdullah belum bersedia mengajarinya. Dengan alasan tidak membawa peralatan panahan untuk pemula. Wanita itu beriskeras ingin menggunakan busur yang biasa dipakai Abdullah berlatih dan bertanding. Abdullah sudah memberi tahu wanita itu kalau tidak bisa memakainya, karena tidak sesuai dengan kemampuan menarik beban untuk pemula. Wanita itu juga membuat janji untuk latihan hanya berdua dengan Abdullah. Pastinya Abdullah tidak bersedia, dan menyarankan untuk bergabung latihan memanah dengan anggota LDK. Wanita itu mengiyakah.
            Tanpa sadar, mataku berkaca-kaca. Tertunduk. Tiba-tiba tanganku ditarik Lastri untuk pergi dari tempat itu. Abdullah melihatku hingga harus menghentikan sejenak tembakannya. Aku menatapnya sambil berlari. Tak terasa jatuh juga titik air mataku ke bumi. Wanita itu masih di samping Abdullah ikut menatapku yang berlari. Kualihkan pandanganku agar tidak dilihat wanita itu.
            “Lisa! Apa yang kau lakukan tadi?” Lastri bertanya padaku dengan nada kesal dan mengguncang kedua pundakku.
            “Maaf, Lastri. Aku sebenarnya tidak sengaja. Aku ada keperluan dengan teman kelas dan harus melewati lapangan tempat Abdullah latihan. Dan kebetulan ada dia di sana sedang serius berlatih. Tiba-tiba ada wanita yang datang menghampirnya,” jelasku sambil menahan tangis.
            “Terus, kenapa kamu tidak cuekin dia, malah menghentikan langkahmu untuk melihatnya? Dan aku tahu, kamu cemburu kan?” nada bicara Lastri seperti masih marah padaku. Tangisku pun pecah di pelukan Lastri.
            “Lisa....” seseorang memanggilku, tepat dibelakangku. Dia adalah Abdullah. Aku langsung pergi tanpa menatapnya. Lastri dengan wajah marah memandang Abdullah dan menyusulku. Aku tahu bros swarowski biru yang tersemat di jilbabku terjatuh, dan Abdullah mengambilnya.


***

            “Assalamu’alaikum wr wb. Abdullah, saya hanya ingin bilang padamu. Jikau kau seirus dengan perasaanmu pada Lisa, bukan hanya suka-sukaan lantas meninggalkannya, halalkan dia. Datangi ayah dan ibunya! Kalau kau hanya sekedar suka-sukaan, lebih baik tinggal dia. Jangan sakiti dia dengan harapan palsu. _Lastri_” Lastri mengirim pesan WA pada Abdullah.
            “Wa’alaikumsalam wr wb. Ya nggak mungkin hanya sekedar suka-sukaan! Saya serius dengan perasaan saya. Saya juga tidak tega menyakiti hati wanita yang begitu suci seperti Lisa. Kalau begitu, saya minta alamat lengkap rumah Lisa,” balas Abdullah.
            Esok harinya, Lastri menceritakan bahwa semalam dia mengisim pesan WA pada Abdullah. Aku langsung tidak enak hari pada Abdullah.
            “Lisa, dengarkan aku. Laki-laki kalau tidak ditegaskan, bisa menyakiti kaum hawa dengan harapan palsu. Itu sebagai bukti dia serius atau nggak dengan perasaannya. Kalau tidak serius, dia tidak akan mendatangi rumahmu untuk bertemu orang tuamu,” perkataan Lastri itu ada benarnya. Aku terdiam, memikirkan perkataan Lastri.
            “Kamu belum pernah disakiti  dengan masalah seperti ini kan? Aku pernah, Lis. Rasanya sakit. Seperti disayat sembilu. Kalau tidak ada iman dalam hatiku, aku mungkin sudah gila gara-gara cinta. Dulu, ada laki-laki mapan, shalih, bahkan menurutku semuanya sudah dimiliki. Dia jatuh hati padaku, dan aku pernah bertanya bahwa dia serius denganku dan akan menikahiku. Aku pun bilang pada orang tuaku, dan orang tuaku menyuruhnya untuk datang ke rumah. Beberapa hari kemudian, dia mengirim pesan bahwa orang tuanya tidak setuju karena aku masih ke kanak-kanakan. Padahal fotoku pernah dikirim ke ponsel ibunya. Ibunya pun tak masalah. Maka dari itu, Lis. Aku tidak ingin kau seperti aku. Kau tidak pantas di sakiti, Lis. Karena kau terlalu lembut, dan baik,” sambung lastri dengan mata yang berkaca-kaca. Ujung matanya tidak bisa menahannya dan terpaksa harus mengalir di pipinya.
            “Aku mengerti. Aku juga bisa merasakan apa yang barusan kau cerita tadi. Sudahlah, Lastri! Tidak usah membuka luka lama. Karena itu hanya akan menyakitimu, Las,” aku coba menghiburnya. “O iya, kamu lapar nggak? Ke kantin yuk, aku lapar. Setelah itu kita ke markas yah. Aku mau istirahat sejenak di sana”, lanjutku untuk mengalihkan pembicaraan dan tidak ingin Lastri tambah sedih.

***

            Sore itu, pulang kuliah. Sesampainya di rumah, ada yang yang membuatku bingung. Sebuah mobil sedan mewah terparkir depan rumah. Aku langsung bertanya-tanya, “Apa Ayah punya kenalan orang penting ya? Biasanya hanya orang tertentu yang memiliki mobil mewah seperti ini.
            Saat masuk rumah dan mengucap salam, aku terkejut dengan apa yang aku lihat. Tamu itu adalah Abdullah dan dua pria. Tapi satu diantaranya orang shalih, seperti ustadz. Terlihat dari zhahirnya. Mereka membalas salamku, dan mencium tangan kedua orang tuaku. Untuk tamu, aku hanya merapatkan kedua telapak tangan dan menundukkan kepala sebagai tanda hormat. Tanpa kata-kata, aku langsung masuk kamar dan menutup pintu. Aku langsung lunglai duduk di lantai kamar. Sayup-sayup terdengar percakapan mereka. Mereka pamit ingin pulang.
            “Lho, kok buru-buru. Lisa baru saja pulang. Apa saya panggilkan Lisanya?” kata ayahku.
            “Nggak usah, Pak. Saya ada urusan lain. Terima kasih atas jamuannya. Saya pamit, assalamu’alaikum,” Abdullah pamit dan menyalami ayahku.
            Mereka pergi. Ayah dan ibu langsung memanggilku untuk bicara. Menyampaikan apa yang dibicarakan tadi. Perasaanku campur aduk. Bingung, senang, cemas, berkumpul jadi satu dalam ruang hati. Tetiba jadi teringat ucapan Lastri. Jika Abdullah ke rumah dan mencatangi orang tuaku, berarti dia serius dengan perasaannya. Bukan sekekdar suka kemudian ditinggalkan. Suasana jadi hening, ayah ibuku saling bertatapan.
            “Ehem...ehem...! Sepertinya yang datang ke sini tadi pemuda yang shalih, walau jadi muslim terbilang belum lama. Atlet pula,” ibuku mulai menyindir. Aku hanya tertunduk dan diam.
            “Iya, Lis. Jangan ditolak. Tidak baik. Ayah sudah tahu semuanya. Pemuda tadi yang menceritakan sendiri kehidupannya. Orang yang luarrr biasah,” sambung ayahku dengan sindiran sekaligus bercanda.
            “Ehem...!! Sudah berapa lama mereka di sini?” tanyaku mengalihkan topik bahasan.
            “Setelah zhuhur mereka ke mari. Sampai-sampai ayahmu pulang kerja lebih awal demi menyambut tamu agung. Bukan begitu, Yah?” jawabnya senyum-senyum.
            “Haaaa...,” aku terkejut.
            “Pemuda tadi bersama ayah dan ustadznya yang telah mengislam keluarganya,” lanjut ayahku.
            “Setelah kompetisi internasional yang diadakan setelah wisuda, dia akan melamarmu. Bagaimana?” tanya ibuku.
            “Aku istikharah dulu, Bu,” jawabku.
            “Jangan lama-lama. Dia menunggu jawabanmu satu minggu lagi,” sambung ayahku.
            “Baiklah, ayah dan ibu. Aku permisi dulu. Mau mandi dan istirahat,” aku beranjak dari ruang tamu untuk mandi.

***
           
Seminggu sudah berlalu, hari ini Abdullah akan datang lagi ke rumah untuk meminta jawabanku. Aku merapikan rumah, dan merapikan diri nanti. Tak perlu cantik, yang penting sopan dan pantas dengan suasanya. Kata orang tuaku nanti Abdullah akan membawa keluarganya untuk berkenalan denganku. Sepanjang membereskan rumah, aku sedang memikirkan apa yang akan jawab nanti. Sesekali menarik napas panjang, bukan karena gugup tapi bingung apa yang ingin kuucapkan nanti.
Isya telah lewat, sebentar lagi keluarga Abdullah datang. Tetiba perasaan gugup menghampiri jiwa yang sedang ling-lung ini. “Kok tiba-tiba aku grogi ya. Perasaan tadi nggak, biasa saja,” gumamku dalam hati. Aku berusaha menghibur diri untuk menghilangkan gugup dengan mendengarkan nasyid yang membuatku bermuhasabah.
Tin...tin! Abdullah dan keluarganya sudah tiba, aku menyiapkan jamuannya. Saat aku membawakan makanaan dan teh, aku segera masuk kamar. Aku tidak akan keluar kalau tidak dipanggil. Perasaan yang tidak menentu.
Tok..tok... Ayah mengetuk pintu.
“Lisa. Keluar. Orang tuanya ingin berkenalan denganmu. Ingin tau seperti apa calon menantunya,” ayahku meledek lagi. Tanganku sudah mengepal karena kesal dengan ledekan ayah.
“Iya, Ayah, sebentar,” jawabku.
“Dandan yang cantik ya,” ayahku meledek lagi.
Aku keluar kamarku dengan wajah tertunduk karena malu. Aku tidak berani menatap Abdullah dan keluarganya. Rasanya ingin segera pergi. Mungkin kalau dilihat mukaku memerah karena malu.
“Papa dan Mama, perkenalkan. Ini Lisa,” Abdullah memperkenalku pada kedua orangtuanya.
“Sa...saya, Lisa. Saya satu kampus dengan Abdullah, ha...hanya beda program studi. Saya dari Pendidikan Bahasa Indonesia,” aku memperkenalkan diri dengan gugup. Tanpa diduga, ayah Abdullah bertanya bagaimana bisa aku kenal dengan Abdullah.
“Awalnya dari mana kamu kenal dengan Kim?” tanya ayahnya. Jantungku berdetak kencang. Tiba-tiba aku menatap Abdullah, dan dia mengangguk padaku
“Waktu itu, sa...saya merapikan kantor Lembaga Dakwah Kampus atau LDK. Waktu itu kantor LDK pindah dari lantai dua ke lantai dasar. Tiba-tiba ada Abdullah dari arah yang belawanan tidak sengaja menabrak saya yang sedang membawa tumpukan kardus. Tak lama setelah itu, Abdullah menawarkan olahraga panahan ke teman-teman LDK. Begitulah awalnya saya kenal dengan Abdullah,” lagi-lagi gugup tak bisa dihindari.
Obrolan menjadi panjang lebar. Tetiba ayah ibuku menjadi akrab, seperti teman lama yang baru ini bertemu. Aku cuma diam dan tersenyum. Abdullah terus menatapku. Aku banyak-banyak mengucap istighfar dan mengingatkan diri bahwa pemuda yang di depanku belum jadi suamiku. Dan terus berdoa pada Allah swt untuk tetap menjaga hati ini. Setelah puas memereka mengobrol pengalaman masing-masing, suasana heing sejenak. Kemudian Abdullah angkat bicara.
“Lisa, jadi bagaimana jawabanmu?” Abdullah to the poin.
“Sebelum saya menjawab, saya ingin bertanya padamu, Abdullah. Apa yang membuatmu jatuh hati padaku? Bukankah kau pernah didatangi wanita yang lebih cantik waktu kau sedang berlatih sendirian di lapangan kampus? Dan sepertinya banyak gadis di kampus yang suka padamu, tapi kenapa kau memilihku” tanyaku. Abdullah menghela napas panjang.
“Lisa, memang banyak wanita yang suka padaku, tapi mereka tidak sepertimu yang selalu menjaga kehormatan. Bersalaman atau berjabat tangan saja kau tidak mau dengan lawan. Itu yang membuatku jatuh hati padamu. Para gadis di kampus mendekatiku ada maunya. Mereka tahu bahwa saya berkecukupan, sedangkan kau berbeda pandangan dengan mereka. Dan kau shalihah, Lisa,” jawabnya. Aku jadi tambah malu dengan pujian itu. “Jadi, bagaimana jawabanya? Sesuai kesepakatan seminggu yang lalu,” sambungnya. Sepertinya Abdullah tidak sabar dengan jawabanku.
Suasana hening. Mereka juga menunggu jawabanku. Aku masih tentunduk. Dalam hatiku sudah teriak-teriak untuk menerimanya.
“Bismillahirrohmaanirrahim. Insya Allah, Abdullah. Nanti setelah kau mengikuti kompetisi, kau boleh melamarku,” jawabku dengan rasa yang tak menentu. Mendengar jawabanku itu, Abdullah tersenyum lebar.
“Alhamdulillah,” mereka kompak mengucap hamdalah.
            Semenjak peristiwa itu, heboh se-LDK, bahkan teman-teman kelas pun juga ikutan heboh. Semua orang meledek dan menyindirku. Berasa sempit tempat ini. Membuatku tidak fokus menulis skripsi untuk mengakhiri masa kuliah.

***

            Selama pengerjaan skripsi, aku jarang mengaktifkan ponsel agar tidak menganggu. Terlebih dengan perasaan. Masa menunggu membuat hati terasa teriris sembilu. Aku belum jadi miliknya. Betapa sulitnya menjaga hati agar tidak ternodai. Sesekali harus meneteskan air mata dan banyak istighfar. Serasa bersalah. Terkadang ada perasaan menyesal karena telah bertemu dengannya.
            Tidak jarang ada teman yang masih menanyakan tentangku dan Abdullah, tapi aku tidak menanggapi. Setiap ada yang bertanya tentang itu, rasa sakit di hati mulai muncul. Istikharah, shalat hajat selalu kutunaikan. Jika Abdullah yang terbaik untukku, pasti akan dimudahkan jalannya.
            Selama tiga bulan aku menyelesaikan skripsi dan siap sidang. Namun, ada saja halangannya. Yang harus melengkapi administrasi mahasiswa semester akhir, mengembalikan buku perpustakaan yang banyak kupinjam, harus tanda tangan dosen yang bersangkutan dan lain-lain. Lelah. Frustasi. Ingin rasanya berteriak karena jalannya tidak dimudahkan. Dan baru bisa daftar sidang sehari sebelum sidang, bahkan paginya aku masih mengurus pendaftaran. Alhamdulillah bisa sidang hari itu juga.
            Persidangan berjalan sangat lama. Seperti diinterogasi oleh pihak kepolisian. Pertanyaannya sangat rinci. Bahkan sesekali penguji meninggikan suara yang membuatku buyar ingin menjawab apa. Lidahku menjadi kelu. Peluh mulai mengalir. Penguji menggebrak meja, membuat aku tak bisa berkata apa-apa. Aku jawab semampuku. Alhamdulillah pengujinya mengerti dan menyudahi persidangan itu. Skripsiku dikembalikan, ditandatangan penguji sebagai tanda aku sudah disidang.
            Para penguji mengadakan rapat untuk menentukan kelulusan para mahasiswa. Beberapa teman bahkan ada yang ditahan skripsinya oleh penguji, mereka menangis karena heran tidak dikembalikan. Aku dan teman-teman yang skripsi dikembalikan oleh penguji berprasangka bahwa skripsi mereka bermasalah.
            Inilah yang paling menentukan. Seperti penentuan hidup dan mati. Pengumuman kelulusan. Kami dikumpulkan di salah satu kelas. Penguji memegang amplop yang isinya adalah hasil ujian sidang. Sebelum memberikan amplop itu, penguji memberi sedikit nasihat dan semangat untuk kami. Jantung kami berdegup kencang. Tak sabar untuk mengetahui hasilnya, dinyatakan lulus atau tidak.
            Penguji memberikan amplop sesuai dengan nama yang tercantum pada amplop. Sebelum aku membuka, aku berdoa kepada Allah swt dan sudah pasrah, ikhlas, apapun hasilnya. Setelah kubuka, haru tak terbendung. Aku resmi menjadi sarjana. Aku dinyatakan lulus dengan nilai sempurna. Sujud sukur. Berpelukan dengan teman-teman seperjuangan. Pelukan ini seperti pelukan terakhir. Haru gembira dan sedih bercampur jadi satu. Gembira karena dinyatakan lulus, sedih karena harus berpisah dengan teman-teman kelas.
            Pulang sidang, sesampainya di rumah, aku dikirimi sebuah buket bunga kecil sebagai tanda selamat. Ternyata dari Abdullah. Lagi-lagi harus meneteskan air mata karena membuka luka hati. Hanya bisa beristighfar. Mengambil wudhu dan shalat dua rakaat. Semua curahan hati tumpah pada untaian doa. Hanya berharap yang terbaik dari Allah swt. Hidupku berada dalam genggamannya.

***

            Setelah wisuda, aku dapat panggilan dari sekolah tempat praktik pengajaran lapangan dulu. Sebagai formalitas, aku diminta untuk membuat surat lamaran guru di sekolah tersebut. Esoknya aku bisa langsung mengajar. Di sinilah aku belajar bagaimana caranya menjadi guru yang baik. Aku juga belajar dari beberapa guru yang sudah lama mengajar dan punya banyak pengalaman, serta mempelajari berbagai macam metode belajar.
            Dua bulan sudah kumengajar di sekolah. Ketika sedang mengajar, bapak OB memanggil saya ada kurir yang mengirimkan sebuah amplop. Aku berhenti sejenak beraktivitas di kelas dan menerima amplop dan membukanya. Aku kaget. Amplop itu berisi beberapa tiket pesawat menuju Bali serta undangan acara penutupan kompetisi internasional untukku dan keluargaku. “Untuk apa tiket ini?”, gumamku. Selain tiket pesawat, ada sepucuk surat yang menyertainya.
            Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,

            Lisa, saya harap kamu dan keluarga bisa menghadiri acara tersebut.
            Penginapan, dan tiket pergi-pulang sudah saya tanggung.
            Keluargaku juga sudah di sini.
            Nanti akan saya jemput di bandara.
            Sampai bertemu lagi
            Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh.

           
           


            Abdullah Kim Hyun

            Aku bingung. Rasa tak menentu muncul lagi dalam ruang hati. Perasaanku mengatakan dia akan menepati janjinya. Menepatinya bukan di rumahku, tapi di sana. Di tempat yang telah dia ditentukan. Berita ini membuyarkan konsentrasiku mengajar. Aku hanya memberi tugas pada para siswaku. Daripada aku mengajarnya jadi kacau karena perasaanku tak menentu seperti ini. Dan darimana dia tahu alamat tempatku mengajar?
            Setelah selesai semua jam mengajar, aku langsung pulang. Memberi tahu ayah dan ibu tentang kiriman amplop itu.
            “Ayah, Ibu. Aku ingin bicara. Apa Ayah dan Ibu yang memberi tahu Abdullah alamat tempatku mengajar?” tanyaku.
            “Iya, kenapa?” jawab ayahku.
            “Ini... Abdullah mengirimkan ini ke tempatku mengajar,” kataku sambil menyodorkan amplop itu.
            “Wah, pertanda bagus ini, Lis! Sepertinya dia mau memberimu kejutan. Jangan ditolak, Lis!” sambut ayahku dengan gembira.
            “Iya, Lis. Betul kata ayahmu. Apalagi kita akan jalan-jalan,” sambung ibuku yang turut bergembira.
            “Ehem...!! Ehem...!!!” tegurku ditengah kegembiraan mereka. “Jadi, Ayah dan Ibu menerima Abdullah karena ada maunya?” lanjutku.
            “Ya nggak lah, Lis. Abdullah itu laki-laki yang baik. Kalau bukan laki-laki yang baik, dia tidak mungkin berani mendatangi ayah dan ibu,” kata ayahku.
            “Luruskan niat, ayah dan ibu. Aku mau menerima jika niat ayah dan ibu lurus, untuk mencegahku berzina, bukan karena harta yang dimiliki Abdullah,” balasku. Tanpa basa-basi aku langsung ke kamar.

***

            Sampailah  dibandara Ngurahrai, Bali. Abdullah sudah menunggu. Sendirian. Dia mengantar kami ke hotet, tempat menginap dia juga. Dia juga memesan dua kamar, satu untukku dan satu kamar untuk keluargaku. Ternyata kamarku berhadapan dengan kamarnya. Kamar keluargaku bersebelahan dengan kamar orang tuanya Abdullah. Aku baru membuka pintu kamar, namun sejenak berhenti karena Abdullah memanggilku.
            “Lisa, tunggu. Acaranya besok malam. Kau istirahatlah dulu. Dan besok malam, kau pakailah ini,” kata Abdullah sambil menyerahkan sebuah kotak. Saat dia bicara padaku, aku hanya menunduk. Tak berani menatapnya.
            Segera kumasuk kamar, dan membuka isi kotak yang diberi Abdullah. Gamis yang cantik. Aku memegangnya. Aku bertanya-tanya dalam hati, “Ya Allah... apa carakaku untuk menjemput jodohku benar? Apakah hatiku telah berzina?”. Tanpa terasa, air mata harus menetes lagi. Aku berucap sendiri, “Ya Allah, Maafkan dosa-dosaku. Maafkan aku sebagai hambamu yang hina ini. Maafkan hambamu jika cara ini salah...”
            Besok malamnya kami naik mobil yang dikendarai Abdullah, dan keluarga Abdullah menaiki mobil yang lain. Tiba di tempat, panitia memeriksa undangan kami. Tanpa undangan kami tidak bisa masuk. Kami menempati tempat yang telah tertera di undangan.
            Acara pun dimulai. Berbagai hiburan ditampilan. Terutama tampilan tarian tradisional dari Indonesia, diselingin penganugrahan pemanah terbaik. Terakhir, pembawa acara menyebut nama Abdullah Kim Hyun sebagai salah satu pemanah terbaik. Ini pertama kali Abdullah berkompetisi di ajang internasional dan langsung mendapat medali emas. Dia pun memberi sambutan. Dan dalam sambutannya ada yang membuat kutertegun dan malu.
            “Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakaatuh. Maaf, saya bicara dengan bahasa Indonesia. Karena saya sudah jatuh cinta pada Indonesia. Puji syukur kepada Allah swt yang masih memberi keimanan dan kesehatan sehingga saya dapat mengikuti kompetisi bergengsi ini, dan saya berterima kasih kepada keluarga saya yang selalu mendukung untuk tidak berhenti dengan olahraga sunnah ini. Dan juga pelatih saya yang selalu sabar melatih saya. Dan malam ini adalah malam spesial buat saya, karena saya akan meminang seorang wanita yang baik agama dan akhlaknya. Saya minta tolong mama saya untuk membawa Lisa ke sini,” ucapAbdullah yang membuat suasana jadi ramai. Aku malah malu. Dia mengucap itu di depan orang banyak.
            Ibunya Abdullah menuntunku menuju Abdullah. Aku malu, karena di depan banyak orang. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku hanya terdiam seibu bahasa. Sampailah aku di hadapannya dan di hadapan seribu pasang mata. Aku cuma menunduk, menahan malu. Mungkin Abdullah juga malu, tapi sepertinya memiliki muka tembok.
            “Langsung saja. Wanita ini namanya Lisa. Kami sebelumnya satu kampus, fakultasnya sama, hanya beda program studi. Saya jatuh hati padanya karena agama dan akhlaknya. Maka dari itu, maukah kamu menerima saya sebagai calon suamimu? Jika kamu menerima, pilih kotak hijau. Isinya adalah medali yang kudapatkan dari kompetisi ini. Jika kau tidak menerima, kau pilih kotak merah. Isinya brosmu yang terjatuh. Dan jarumnya sudah patah,” kata Abdullah. Sungguh, lidahku kelu. Tak bisa bergerak untuk bisa mengucapkan sesuatu. Tak bisa berkata apa-apa. Ditambah harus menahan malu. Suasana hening disertai tegang karena undangan yang hadir menunggu jawabanku.
            Tanganku perlahan menuju salah satu kotak itu. Kupilih kotak warna hijau. Aku melirik Abdullah, matanya berkaca. Mungkin haru karena gembira. Langsung saja medali emas itu dikalungkan Abdullah padaku tanpa sentuhan sama sekali. Dan Abdullah pun lanjut berbicara, “Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah swt. Insya Allah, bulan depan kami akan menikah”. Kalima terakhir Abdullah menutup acara sambutannya. Aku pun kembali ke tempat dudukku dan pelukan erat dari ayah, ibuku, dan Ibunya Abdullah.


SELESAI