“Duuuuh...!! Markas LDK pindah segala! Masih banyak barang-barang
inventaris yang belum diangkut”, keluhku sambil membawa beberapa kardus.
Tumpukan kardus sampai menutupi pandanganku. Samar-samar kulihat ada cowok berbadan gemuk, mata sipit,
berkulit putih, tinggi, dan berkacamata. Dia jalan terburu-buru dari arah
berlawanan sambil membaca sesuatu dari ponselnya, sesekali mengetik. Dia sama
sekali tidak melihat apa yang ada di depannya. Tiba-tiba dia menabrakku yang
sedang kerepotan membawa tumpukan kardus. Braakk...!!
“Astaghfirullah...!!,” spontan saja beristighfar. Aku terjatuh.
Barang-barang yang ku bawa beratakan. Ada yang isinya berhamburan
“Kamu nggak papa? Maaf ya, saya nggak
sengaja. Saya buru-buru mau ke kelas. Ada jam kuliah,” dia minta maaf sambil membantuku
merapikan barang-barang yang berantakan.
“Makanya, hati-hati dong! Jangan
handphone terus! Mata udah empat juga!,” balasku dengan nada kesal.
“Iya, maaf ya. Sekali lagi saya
mohon maaf,” dia mencoba menghiba maaf dariku.
“Iya! Saya maafin! Lain kali
hati-hati!,” aku masih kesal.
Sesampainya di sekretariat yang
baru, aku mengecek kembali barang-barangnya. Khawatir ada yang kurang. Dan
ternyata benar, ada satu map yang tertinggal. Tapi aku tidak tahu, arsip apa
yang tertinggal.
***
Sore pun tiba. Matahari sudah di
ujung peraduan. Langit biru mulai berubah menjadi jingga. Azan akan
berkumandang dalam hitungan menit, yang akan membelah suasana hiruk-pikuk kota
Jakarta. Aku masih di sekretariat LDK yang baru, yang letaknya tidak jauh dari
kampus. Kondisi tempat ini masih berantakan, karena baru proses pemindahan
barang. Besok pasti akan ada kerja bakti untuk merapikan tempat ini.
Sepertinya tidak ada waktu untuk
menunaikan shalat di rumah, terpaksa shalat maghrib di masjid yang kudapati di
inggir jalan. Setelah shalat maghrib, aku langsung pulang. Sepanjang
perjalanan, aku mengendarai motorku dengan perlahan. Efek lelah. Saat tiba di
rumah, aku mandi dan wudhu untuk bersiap shalat isya.
“Masya Allah... Lelah sekali hari
ini. Ditambah pinggangku sakit karena terjatuh tadi,” gumamku.
Malam seperti berlari, tanpa terasa
subuh menjelang. Aku hampir tidak terdengar azan dari masjid depan rumah.
Bisanya, suara sedikit saja dari masjid aku langsung terbangun. Tapi kali ini
berbeda. Mungkin syaithon yang terkutuk telah menutup telingaku, karena
kelelahan kemarin sore. Oh, tidak.
“Lisa! Bangun, Lisa! Sudah setengah
enam pagi. Kamu tidak berangkat ke kampus hari ini?” ayahku membangunkanku. Aku
kaget. Bukan kaget karena dibangunkan, namun karena terlewat subuh.
“Astaghfirullah! Bablas deh
subuhnya! Kenapa Ayah tidak membangunkankunwaktu subuh?!” pastilah aku merasa
kesal, sekaligus menyesal bangun kesiangan.
“Ayah nggak tega bangunin
kamu.sepertinya kamu kelelahan kemarin sore,” balas ayahku.
“Ah, Ayah!,” singkat. Dengan nada
kesal. Tanpa basa-basi aku langsung mengambil handuk dan mandi.
Setelah rapi, langsung berangkat ke
kampus. Kali ini agak terburu-buru untuk mengejar jam kuliah pagi, agar tidak
terlambat masuk kelas. Dosennya agak killer. Telat tiga menit saja langsung
tidak boleh masuk kelas, mengikuti kuliahnya. Harus di luar ruangan sampai
jamkuliahnya selesai. Itulah dosen mata kuliah Linguistik.
***
Inilah mata kuliah yang aku tidak
suka, Statistik. Yang aku tidak suka karena mata kuliah ini penuh dengan
hitung-hitungan. Itulah mengapa aku memilih Bahasa dan Satra Indonesia. Untuk
menghindarai hitung-hitungan. Aku juga bertanya-tanya, kenapa harus bertemu
Statistik? Aku sama sekali tidak mengerti mata kuliahnya. Hampir setiap tugas
jmata kuliah ini, aku sampai bertanya pada temanku di program studi Matematika.
Kalau tidak, tamatlah riwayat nilai mata kuliah ini. Aku tidak ingin mengulang
mata kuliah ini satu semester.
Dua SKS, terasa lama. Waktu berjalan
seperti siput. Ingin rasanya segera berakhir. Percuma dosennya menerangkan
secara rinci, tapi aku sama sekali tidak mengerti. Berpikir keras untuk
memahami, bisa-bisa otakku sariawan.
Setelah selesai kuliah ini, aku
segera berkumpul dengan teman-teman LDK untuk kerja bakti merapikan sekretariat
yang baru. Sekretariat kami kali ini agak besar, bahkan ada skat tembok yang
berfungsi sebagai hijab antara laki-laki dan perempuan jika sedang ada rapat.
Di tengah kami membereskan kantor, ada seseorang yang datang mengembalikan
barang milik LDK. Aku mengintip orang itu, ternyata orang yang pernah
menabrakku waktu memindahkan barang-barang.
“Assalamu’alaikum...,” orang itu
mengucap salam.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah...,”
jawab seorang ikhwan yang sedang merapikan bagian depan.
“Maaf, apa betul ini sekretariat LDK
yang baru?,” tanya orang itu.
“Betul, Mas. Ada apa ya?”,
“Saya ingin mengembalikan ini”,
orang itu menyodorkan sebuah plastik folder untuk arsip penting. Aku kaget,
pantas saja kemarin ada yang kurang. Ternyata benar, ada yang tertinggal waktu
aku terjatuh karena tertabrak olehnya. “Saya menemukan ini di lorong lantai
dua. Sepertinya ini milik LDK yang terjatuh”, lanjutnya.
“Oh, begitu. Terima kasih ya. Maaf,
Mas dengan siapa?” tanya ikhwan itu.
“Saya Abdullah. Kalau begitu, saya
permisi dulu,” orang itu pamit.
“Apa tidak masuk dulu. Sekedar minum
teh,” ikhwan itu menawarkan untuk bertamu dulu pada orang itu.
“Nggak, Mas. Saya buru-buru. Ada
urusan. Permisi. Assalamu’alaikum,” orang itu langsung pergi meninggal tempat.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah...,”
kami menjawab salamnya
“Oo... Namanya Abdullah...,” gumamku
dalam hati.
“Dor! Ngelamun aja! Lihat apa sih?
Jangan-jangan kamu suka yaaa sama orang yang tadi?”, Nisa mengagetkaku.
Membuyarkan lamunan tentang orang tadi.
“Ish! Apaan sih! Kenal junga nggak
sama orang tadi,” ketusku.
“Ah, masa’. Jangan gitu, nanti
lama-lama kamu bisa suka lhooo...,” Nisa tambah meledekku ditambah mencubit
pipi. Suasana hening sejenak
“Asal kamu tahu aja ya, Lis. Orang
yang tadi itu atlet panahan lho. Jago panahan, andalan kampus kalo ada
kompetisi. Pasti masuk tiga besar. Denger-denger mau dimasukkan ke tim
nasional,” celetuk Lastri yang memecah keheningan.
“Dari program studi apa, Las?,”
tanya Nisa.
“Ya dari Pendidikan Olahraga lah,
Nis! Kalo dari FISIP nggak mungkin. Apalagi Teknik,” jawab Lastri.
“Eh... Tapi kalo diperhatiin, orang
tadi tuh mukanya lucu. Kayak muka masih bocah. Chubby banget,” kata Nisa sambil
menahan tawa.
“Woy! Istighfar!,” nadaku agak
sedikit dinaikkan karena obrolan mereka.
Selesai kerja bakti hari ini. Aku
segera pulang dan istirahat sore.
***
Hari ini aku membawa beberapa
makalah. Ada satu makalah yang baru aku selesaikan semalam sampai dini hari.
Paginya, ngantuk tidak dapat dihindari. Selama diperjalanan aku terus menguap,
dan hampir saja terjatuh karena tida bisa menghindar kendaraan yang lewat.
Untuk menghindari bahaya, aku berhenti sejenak di mini market untuk membeli
beberapa camilan, minuman ringan, dan kopi kemasan botol agar mengantukku
hilang. Tanpa sengaja, aku bertemua orang yang pernah menabrakku saat mengantre
di kasir. Dia berbalik setelah transaksi. Dia mentapku tanpa sepatah kata dari
mulutnya. Barangkali dia segan untuk menyapa dengan wanita yang berkerudung
panjang sepertiku. Aku hanya menunduk untuk menghindari tatapannya.
Selesai keperluanku di mini market.
Kulanjutkan perjalanan, agak dipercepat. Semoga saja tidak terlambat masuk
kelas. Di perempatan agak macet, karena lampu merahnya mati. Syukurlah, ada
polantas yang mengatur agar kemacetan terurai.
***
Tiba-tiba ketua LDK mengadakan rapat
dadakan. Semua anggota pasti bertanya-tanya ada apa gerangan? Kami pikir akan
ada sesuatu yang penting untuk disampaikan dan didiskusikan. Tapi ternyata cuma
menyampaikan rencana baru di luar program kerja yang sudah di buat sebelumnya.
“Bagaimana, sudah berkumpul semua?
Baiklah, kalau begitu kita mulai saja. Assalamu’alaikum warahmatullahi wa
barakaatuh,” ketua kami, Umar, membuka
forum rapat. Kami menjawab salam dilanjutkan mendengarkan tilawah dari salah
satu anggota ikhwan.
“Ane mohon maaf sebelumnya, karena
mengumpulkan antum mendadak seperti ini. Ada hal yang mau ane samaikan pada
antum bahwa ada teman kita dari Pendidikan Olahraga menawarkan untuk membuat
klub panahan kampus. Sebelumnya beliau sudah menawarkan ke BEM fakultas dan BEM
universitas, tapi tidak ada respon dari kedua lembaga tersebut. Nah, akhirnya
beliau menemui waktu di masjid setelah zhuhur berjama’ah untuk menawarkan ini.
Bagaimana menurut antum? Diterima atau tidak tawaran ini? Seperti yang sudah
antum ketahui, bahwa memanah adalah olahraga sunnah. Mungkin karena hal itu,
teman kita dari Pendidikan Olahraga ingin memulai klub panahan kampus dari
Lembaga Dakwah Kampus atau LDK. Bagaimana pendapat antum? Diterima atau tidak?”
Umar menjelaskan panjang lebar.
“Ane setuju banget klub panahan
diawali dari LDK. Malah menurut ane sebuah kehormatan bagi LDK. Tapi sebelumnya
ane mau tanya nih, nanti pas latihan dikhususkan untuk ikhwan atau akhwat juga
boleh berpartisipasi? Ane yakin akhwatnya banyak yang minat dengan olahraga
sunnah ini”, respon Nisa.
“Oke, ane tanyakan sekarang lewat
telepon. Ane load speaker ya, biat antum juga dengar,” Umar menekan tuts
keyboard ponselnya untuk menghubungi orang yang bersangkutan.
Tuuut...Tuuut...Tuuut... Telepon
terhubung. Kami hening sesaat untuk mendengarkan penjelasan orang itu.
“Halo, assalamu’alaikum,” jawab
orang itu di telepon.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah.
Abdullah, saya Umar, dari LDK. Saya sudah bicarakan dengan teman-teman LDK.
Mereka setuju banget. Tapi untuk latihan nanti, apa hanya laki-lakinya atau
yang perempuan boleh berpartisipasi? Karena perempuannya banyak yang minat juga
nih,” tanya Umar.
“Alhamdulillah kalau perempuannya
ada yang mau ikut. Tidak papa. Nanti latihannya kita atur. Kapan, jam berapa,
dan tempatnya dimana. Karena panahan butuh tempat yang safety atau steril dari
orang lalu-lalang. Kalo nggak safety, berbahaya,” jelasnya.
“O iya, nanti yang perempuannya
gimana Abdullah melathnya? Karena yang perempuan nggak bakal sentuhan tangan
untuk memperbaiki jika ada yang salah,” Umar berhati-hati menjelaskan agar
tidak tersinggung.
“Kalo itu insya Allah saya paham.
Kapan, jam berapa, dan dimananya saya tunggu info selanjutnya ya.
Assalamu’alaikum,” orang itu mengakhirim pembicaraan telepon.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah...,”
jawab kami.
Aku mencoba berpikir hal lain.
Mungkin inilah jalan dakwah yang lain selain mengadakan kajian rutin dan
seminar. Jarang sekali ada klub panahan. Di sekitar rumahku tidak ada klub
panahan. Teman-temanku juga berpikir sama sepertiku. Mungkin saja.
***
Hari ini, hari pertama latihan.
Tentunya tidak langsung shoot. Ada perkenalan tentang panahan dan pelatih.
Pertemuan pertama ini banyak penjelasan tentang panahan. Mulai dari alat,
prosedur keselamatan olahraga panahan yang wajib ditaati, sampai sejarah
panahan. Tapi malah perkenalan pelatih belakangan, dilanjutkan dengan
tanyajawab atau diskusi.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakaatuh. Hari ini adalah hari pertama kita bertemu untuk berlatih panahan.
Sebelum kita shoot dengan busur dan arrow atau anak panah, saya ingin
memperkenalkan perlatan yang akan kita pakai nanti, dan prosedur keselamatan
olahraga panahan. Olahraga yang disunnahkan oleh Rasulullah saw. Perlu teman-teman
ketahui, olahraga panahan adalah olahraga yang berbahaya, karena arrownya
termasuk senjata tajam,” Abdullah menjelaskan panjang lebar.
Dia membawa perlatan pribadinya yang
sudah terpasang lengkap. Harganya cukup fantastis menurutku. Nggak hanya barang
pribadinya, dia juga membawa busur yang pegangannya dari kayu, dan mejelaskan
bahwa busur seperti itu yang akan kita pakai nanti latihan. Saking asyiknya
menjelaskan, dia lupa mempeprkenalkan diri.
“O iya, saya sampai lupa
memperkenalkan diri. Nama saya Abdullah Kim Hyun. Teman-teman boleh memanggil
saya Abdullah atau Kim. Tapi sekarang saya lebih suka dipanggil Abdullah. Saya
lahir di Korea Selaran, tepatnya di Seoul sampai saya SMP. SMA saya pindah ke
Jakarta beserta ayah, ibu, dan saudara kandung, karena ayah saya
dipindahtugaskan ke Jakarta. Ahmadulillah, saya masuk Islam setelah pindah ke
Jakarta. Orang tua dan saudara kandung juga alhamdulillah sudah masuk Islam
juga. Saya menekuni panahan dari sekolah dasar, SMP mulai mengikuti kompetisi
nasional di Korea. Nah, karena sudah lima tahun lebih saya sudah menjadi warga
negara Indonesia dan sudah lancar bahasa Indonesia dalam kurun waktu enam bulan
kurang lebih semenjak datang ke Jakarta. Sampai di sini ada yang ingin
ditanyakan? Silahkan. Tentang atau tentang saya juga boleh,” perkenalan panjang
lebar dan orang mendengar pasti juga kagum padanya.
“Eh, Lisa. Kayaknya Abdullah sering
melihatmu deh,” bisik Lastri padaku.
“ Ah, nggak! Perasaanmu saja kali,”
balasku.
“Beneran! Aku perhatikan dia seperti
itu,” bisiknya lagi padaku. Hingga akhirnya Abdullah menegur kami.
“Bagaimana Mbak yang di sana? Jelas?
Ada pertanyaan?” tegurnya.
“Ng...Nggak. Sudah cukup jelas,”
balasku.
“Baiklah, kita bertemu lagi pekan
depan. Tentunya di lapangan. Langsung kita terapkan tekniknya dengan busur dan
arrow. Jika ada kata-kata yang salah mohon dimaafkan, ambil yang bermanfaat apa
yang sudah saya sampaikan tadi. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,”
Abdullah menutup pertemuan awal ini.
Ketika sudah keluar ruangan, Lastri
mengingatkanku tentang virus merah jambu, dan aku bertekad itu tidak akan
terjadi. Insya Allah aku bisa jaga hati.
***
Ting...!!
Ponselku berbunyi. Ternyata aku dimasuki grup WA yang baru. Grup
panahan kampus. Adminnya jelas saja Pak Ketua LDK, dan Abdullah.
“Maaf teman-teman. Saya meminta Umar
untuk membuat grup. Agar nanti mudah koordinasi, dan berbagi ilmu tentang
panahan,” Abdullah menulis pesan pertama di grup.
“Siap, Pak Pelatih!” balas Umar
diakhiri gambar jempol.
Panjang lebar obrolan di grup baru
tersebut. Obrolan panahan tentunya. Kami masih pemula, jadi banyak pertanyaan
dari teman-teman. Berbagai video dan artikel tentang panahan dikirim Abdullah
untuk lebih memantapkan teknik memanah. Sesekali Abdullah menyemangati kami dengan
dalil-dalil tentang keutamaan memanah.
***
Latihan pertama teman-teman LDK
bersama Abdullah. Semuanya antusias. Bagi kami, ini pertama kali memegang
busur. Sebelum shoot, kami pemanasan untuk mengurangi cidera. Walau tarikan
busur ber-Lbs ringan, bisa cidera kalau tidak pemanasan. Selesai pemanasan, dia
memperagakan teknik yang benar. Mulai dari posisi berdiri, sampai melepas
arrow. Dia memang pemanah yang hebat. Saat memperagakan memanah, arrownya
langsung menancap di area kuning bantalan target. Kami memberi aplause. Selain
itu, dia juga mengingatkan kembali prosedur keselamatan serta peraturan
olahraga panahan.
Sebagai awalan, kami belajar jarak
dekat, 5 meter. Katanya, sebagai pemula diawali jarak dekat terlebih dahulu.
Jika shoot kami sudah bagus, dan berkumpul di area kuning bantalan target, kami
boleh mundur atau menambah jarak shoot. Ketika pulit dibunyikan dua kali, kami
harus sudah siap dengan posisi berdiri dan arrow yang terpasang pada busur.
Pluit satu kali berbunyi, kami harus shoot. Hasilnya berantakan semua. Dia pun
memaklumi. Kami pemanah pemula. Wajar kalau berantakan. Ada yang menancap di
luar area target, ada yang ke atas melewati target, ada pula yang melwati kanan
dan kiri target. Dia memberi kami semangat agar tidak putus asa, ini baru
awalan. Rajin berlatih akan memperbaiki teknik, dan skor akan mengikuti.
Jumlah busur yang digunakan
terbatas. Kami harus bergantian. Kini giliranku. Gugup tak bisa hindari. Jantung
berdegup kencang. Tangan seperti menggenggam es. Diluar dugaanku. Kukira
ringan, ternyata saat kutarik terasa berat. Posisi badan mulai tak beraturan
karena menahan berat tarikan busurnya. Dia meminta Lastri untuk membatunya
memperbaiki posisi badanku. Dilihat langsung olehnya. Tepat didepan mataku.
Rasanya aku ingin lari dari tempat ini. Aku diminta untuk melepas arrownya, dan
meleset. Melesetnya melewati bantalan target. Semuanya. Tidak ada yang menusuk
pada target, membuatku tambah malu. Dia tersenyum padaku, “Nggak papa. Namanya
juga belajar. Terlebih masih pemula. Pertama kali menembak dengan busur”, kata
dia. Aku tertunduk malu.
Lastri memperingatkan lagi setelah
latihan, “Hati-hati lho, Lis. Jaga hatimu. Sepertinya Abdullah memang suka
padamu. Mata tidak bisa dibohongi. Aku perhatikan bola matanya berbinar saat
menatapmu, Lis. Ingat! Selesaikan kuliahmu dulu, dan dakwah kampus ini. Kau
sendiri yang memilih untuk bergabung dengan lembaga dakwah kampus ini”.
“Baiklha, Lastri. Aku akan ingat
kata-katamu. Aku akan berusaha semampuku untuk menjaga hati”, balasku. Hanya
bisa terdiam, tertunduk dalam-dalam memikirkan ucapan Lastri.
Abdullah tiba-tiba datang ke arahku,
mengagetkan lamunanku, “Kamu kenapa? Yang tadi tidak usah dipikirkan. Saya
maklum. Yang penting jangan putus asa hanya karena anak panah tidak menancap
pada bantalan target”
“I...iya, Coach”, jawabku singkat.
***
Aku sedang mengetik tugas makalah
Sastra Banding. Bunyi ponselku mengharuskanku jariku yang menari di atas tuts
keyboard untuk berhenti. Ting!! Ting!! Setelah kulihat, nomor tak dikenal
mengirim pesan whatsapp (WA). Kubuka dan kubaca. Betapa terkejutnya aku.
Ternyata dari Abdullah.
“Assalamu’alaikum wr wb. Lisa, kamu
jangan putus asa ya. Tetap semangat. Waktu awal belajar memanah juga sama.
Berantakan. Latihan berikutnya diharapkan kehadirannya ya. Untuk memperbaiki
teknik,” seperti itu bunyi Wanya.
“Wa’alaikumsalam wr wb. Maaf, kamu
tahu nomorku darimana? Dan darimana pula kamu tahu namaku Lisa? Insya Allah aku
tetap semangat untuk berlatih,” balasku
“Nomormu dan namamutercantum di grup
panahan kampus,” dia membalas lagi.
Keesokan harinya, aku memberi tahu
Lastri tentang pesan WA Abdullah padaku. Mungkin benar apa yang dikatakan
Lastri tempo hari. Aku bingung harus berbuat apa. Lasti kembali mengingatkanku
lagi. Harus menjaga hati agar tidak terjangkit virus cinta yang bisa
mengacaukan ibadah dan akademikku. Bagaimana dengan latihan memanahnya?
Pastinya aku bertemu dengan Abdullah. Apa aku harus berhenti? Atau aku harus
mencari tempat latihan yang baru agar aku tidak lagi bertemu Abdullah?
Pertanya-pertanyaan itu melintas dipikran di tengah kebibungunganku.
***
“Haduuuhhh...!! Kenapa aku kepikiran
Abdullah sih? Aku jadi tidak fokus belajar nih! Mana besok UAS! Huuufff...,”
gumamku sambil garuk-garuk kepala.
Ting!Ting! ponselku berbunyi. Ada
pesan WA yang masuk. Astaghfirullah! Dari Abdullah lagi. “Assalamu’alaikum wr
wb. Semoga sukses untuk UASnya ya,” begitu bunyi pesannya. Aku tidak membalas
pesan WA darinya.
Esok harinya, hari pertama UAS. Aku
harus fokus ujian, karena UAS ini yang akan membawaku menuju semester akhir.
Sebenarnya aku ingin segera menyelesaikan kuliah. Aku melewati langkah-langkah
untuk menyelesaiakn kuliah terasa lamban seperti kura-kura.
Jam istirahat, aku duduk di kursi
depan kelas sambil membaca dan mengulang mata kuliah yang akan diujikan
berikutnya. Diam-diam seperti ada yang memperhatikanku dari kejauhan. Aku
sepertinya tahu siapa dia. Ah, aku tidak peduli. Kuteruskan belajar sampai
masuk kelas kembali. Dia pergi, aku melihatnya sudah berbalik dan menjauh.
Tidak salah lagi, pasti itu dia, Abdullah.
Malamnya dia mengirimkan pesan WA
lagi. Dia bertanya kenapa aku tidak datang lagi untuk berlatih panahan berama
teman-teman LDK dan bersamanya.
“Lisa. Maaf. Saya ingin bertanya
padamu. Kenapa kamu jarang latihan lagi? Bahkan sudah dua bulan ini kamu tidak
latihan,” pesan Abdullah to the poin, tanpa salam.
“Assalamu’alaikum, Abdullah. Saya
mohon maaf, saya sedang banyak keperluan dan fokus UAS. Sekali lagi saya mohon
maaf, Abdullah,” balasku. Di akhir kalimat kusisipkan gambar tangan yang
dirapatkan tanda memohon maaf.
“Wa’alaikumsalam. Maaf, lupa salam.
Oh, baiklah kalau begitu. Maaf, jika
menganggumu,” balasnya dingkat, aku tidak membalasnya lagi.
***
“Lisa. Kalau kamu sudah punya pacar,
kenalkan pada ayah dan ibumu,” ayah tiba-tiba berkata seperti itu ketika sedang
makan malam bersama keluarga.
“Uhuk...uhuk...! Ayah ngomong apa
sih?” aku tersedak mendengar perkataan ayah seperti itu.
“Ya nggak papa kan, lagi pula
sebentar lagi kuliahmu selesai. Apa kamu tidak ingin menikah?” sambung ibuku.
“Aku heran deh, kenapa tiba-tiba
Ayah berkata seperti itu? Ibu juga, nyambung-nyambung aja! Lagi pula kuliahku
masih lama. Aku juga belum terpikir untuk segera menikah. Yah, aku tidak mau
pacaran. Semakin lama pacaran, semakin banyak dosa. Memangnya Ayah dan Ibu mau
aku berzina dengan pacarku? Pasti tidak mau kan. Berzina bukan hanya
berhubungan badan dengan lawan jenis yang belum halal. Pegang-pegangan tangan
juga termasuk zina. Telepon-teleponan hanya berdua juga dosa, berkhalwat. Zina
telinga mendengar kata-kata mesra, belum lagi zina mulut,” aku menjelaskan
dengan panjang lebar. Semoga ayah dan ibuku mengerti.
“Oke...oke! ayah dan ibu mengerti.
Kalau begitu, jika ada laki-laki shalih datang ke ayah dan ibu untuk melamarmu,
kamu tidak boleh tolak ya,” kata ayah sambil senyum-senyum meledek.
“Iya! Tenang saja!,” responku
singkat. Aku menuju ke kamar setelah menghabiskan makan malam.
Aku belajar untuk mata kuliah yang
akan diujikan esok, Sastra Islam. Fokus. Ponsel kumatikan agar tidak menganggu.
Aku tindak ingin mengulang satu semester. Mata kuliah ini agak sulit, karena
harus mengingat sejarah.
***
Latihan panahan kali ini aku hadir.
Ketika shoot, belum ada perkembangan pada diriku. Karena aku jarang sekali
datang latihan karena ingin menghindari Abdullah yang jatuh hati padaku.
Perlahan mulai kusadari. Aku tahu, gejala virus cinta ini karena sering
melihatnya. Saat berpapasan di lobi, dan dia juga sering diam-diam
memperhatikanku dari kejauhan. Aku juga beberapa kali mengintip dia sedang
berlatih sendirian di lapangan kampus, di luar jadwal latihan di klubnya.
Dia pekerja keras. Menjelang
kompetisi besar, dia bisa latihan berminggu-minggu. Seringnya latihan sampai
ada bekas di dagunya dan lehernya. Wajar saja jika dia menjadi kebanggaan
kampus, mungkin juga di keluarganya. Akhir-akhir ini terdengar kabar bahwa dia
akan dimasukan ke dalam tim nasional dalam kompetisi internasional panahan di
Bali setelah wisuda.
Malamnya aku ingin menjelaskan
semuanya padanya agar jangan menganggu kehidupanku lagi. Aku yakin, jika
berjodoh akan dimudahkan jalannya dan dipertemukan di jalan yang halal.
“Assalamu’alaikum wr wb. Abdullah,
saya mohon maaf telah menganggumu malam-malam begini. Saya ingin berpesan
padamu. Ini soal hati yang telah terjangkit virus merah jambu. Jika karena saya
hatimu ternodai, saya mohon maaf. Maka dari itu, jangan mengganggu kehidupan
saya lagi. Jika ada hal penting yang ingin disampaikan padaku, kamu bisa
menyampaikannya melalui temanku, Lastrii. Atau temanku sesama anggota LDK. Saya
mengucapkan terima kasih karena telah mengajari teman-teman LDK lahraga
panahan. Khususnya saya. Saya senang mempelajari panahan. Tentang perasaanmu
dan aku, berharaplah hanya pada Allah swt. Apabila kita berjodoh akan
dimudahkan jalannya, dipertemukan dalam ikatan yang halal. Apabila kita tidak
berjodoh, mungkin aku bukanlah wanita terbaik untukmu. Mohon respon pesan ini.
Setelah itu aku akan menghapus pesanmu dan keluar dari grup panahan kampus,”
isi pesanku yang panjang pada Abdullah.
Aku mengetik pesan ini dengan deraian air mata. Aku sebenarnya senang
semua tentangnya. Bahkan pesan WA darinya membuat hatiku berbunga-bunga. Aku
mengetik pesan itu dengan perasaan sakit di hati. Aku mulai merasa nyaman
selama ini. Ada perhatian dari orang di luar keluargaku. Akan tetapi, itu
salah. Aku tidak ingin mengacaukan ibadahku, akademikku, dan malah menambah
dosa.
“Wa’alaikumsalam wr wb. Baiklah kalau begitu. Saya mengerti. Saya juga
minta maaf karena telah hadir dalam hidupmu, dan membuatmu gelisah, saya juga
merasa seperti itu. Terlebih dalam hal ibadah.” Balasnya.
***
Aku lewat lapangan tempat biasa
latihan Abdullah di kampus. Dia sedang berlatih rupanya. Tiba-tiba ada seorang
wanita berhijab, modis, dan cantik menghampiri Abdullah. Tapi dia tetap
berlatih. Sepertinya wanita itu juga menyukai Abdullah. Wajar saja jika banyak
wanita yang menyukai Abdullah, karena Abdullah memiliki paras yang menarik
walau tidak memiliki badan atletis. Apalagi Abdullah pun bersikap baik pada
semua orang, terlebih dia sebagai mualaf.
Langkahku terhenti. Melihat mereka
berdua dari kejauhan. Sayup-sayup terdengar suara mereka, karena kondisinya
agak sepi. Wanita itu berkenalan dan menyodorkan tangannya untuk berjabat
tangan. Abdullah tidak mau, dia merapatkan kedua telapak tangannya. Aku terkejut,
sekaligus kagu. Dia mulai menjadi muslim yang sebenarnya. Namun, ada rasa
cemburu yang menyulut hatiku.
Wainta itu mendatangi Abdullah
karena ingin diajari olahraga memanah, namun Abdullah belum bersedia
mengajarinya. Dengan alasan tidak membawa peralatan panahan untuk pemula.
Wanita itu beriskeras ingin menggunakan busur yang biasa dipakai Abdullah
berlatih dan bertanding. Abdullah sudah memberi tahu wanita itu kalau tidak
bisa memakainya, karena tidak sesuai dengan kemampuan menarik beban untuk pemula.
Wanita itu juga membuat janji untuk latihan hanya berdua dengan Abdullah.
Pastinya Abdullah tidak bersedia, dan menyarankan untuk bergabung latihan
memanah dengan anggota LDK. Wanita itu mengiyakah.
Tanpa sadar, mataku berkaca-kaca.
Tertunduk. Tiba-tiba tanganku ditarik Lastri untuk pergi dari tempat itu.
Abdullah melihatku hingga harus menghentikan sejenak tembakannya. Aku
menatapnya sambil berlari. Tak terasa jatuh juga titik air mataku ke bumi.
Wanita itu masih di samping Abdullah ikut menatapku yang berlari. Kualihkan
pandanganku agar tidak dilihat wanita itu.
“Lisa! Apa yang kau lakukan tadi?”
Lastri bertanya padaku dengan nada kesal dan mengguncang kedua pundakku.
“Maaf, Lastri. Aku sebenarnya tidak
sengaja. Aku ada keperluan dengan teman kelas dan harus melewati lapangan
tempat Abdullah latihan. Dan kebetulan ada dia di sana sedang serius berlatih.
Tiba-tiba ada wanita yang datang menghampirnya,” jelasku sambil menahan tangis.
“Terus, kenapa kamu tidak cuekin
dia, malah menghentikan langkahmu untuk melihatnya? Dan aku tahu, kamu cemburu
kan?” nada bicara Lastri seperti masih marah padaku. Tangisku pun pecah di
pelukan Lastri.
“Lisa....” seseorang memanggilku,
tepat dibelakangku. Dia adalah Abdullah. Aku langsung pergi tanpa menatapnya.
Lastri dengan wajah marah memandang Abdullah dan menyusulku. Aku tahu bros
swarowski biru yang tersemat di jilbabku terjatuh, dan Abdullah mengambilnya.
***
“Assalamu’alaikum wr wb. Abdullah,
saya hanya ingin bilang padamu. Jikau kau seirus dengan perasaanmu pada Lisa,
bukan hanya suka-sukaan lantas meninggalkannya, halalkan dia. Datangi ayah dan
ibunya! Kalau kau hanya sekedar suka-sukaan, lebih baik tinggal dia. Jangan
sakiti dia dengan harapan palsu. _Lastri_” Lastri mengirim pesan WA pada
Abdullah.
“Wa’alaikumsalam wr wb. Ya nggak
mungkin hanya sekedar suka-sukaan! Saya serius dengan perasaan saya. Saya juga
tidak tega menyakiti hati wanita yang begitu suci seperti Lisa. Kalau begitu,
saya minta alamat lengkap rumah Lisa,” balas Abdullah.
Esok harinya, Lastri menceritakan
bahwa semalam dia mengisim pesan WA pada Abdullah. Aku langsung tidak enak hari
pada Abdullah.
“Lisa, dengarkan aku. Laki-laki
kalau tidak ditegaskan, bisa menyakiti kaum hawa dengan harapan palsu. Itu sebagai
bukti dia serius atau nggak dengan perasaannya. Kalau tidak serius, dia tidak
akan mendatangi rumahmu untuk bertemu orang tuamu,” perkataan Lastri itu ada
benarnya. Aku terdiam, memikirkan perkataan Lastri.
“Kamu belum pernah disakiti dengan masalah seperti ini kan? Aku pernah,
Lis. Rasanya sakit. Seperti disayat sembilu. Kalau tidak ada iman dalam hatiku,
aku mungkin sudah gila gara-gara cinta. Dulu, ada laki-laki mapan, shalih,
bahkan menurutku semuanya sudah dimiliki. Dia jatuh hati padaku, dan aku pernah
bertanya bahwa dia serius denganku dan akan menikahiku. Aku pun bilang pada
orang tuaku, dan orang tuaku menyuruhnya untuk datang ke rumah. Beberapa hari
kemudian, dia mengirim pesan bahwa orang tuanya tidak setuju karena aku masih
ke kanak-kanakan. Padahal fotoku pernah dikirim ke ponsel ibunya. Ibunya pun
tak masalah. Maka dari itu, Lis. Aku tidak ingin kau seperti aku. Kau tidak
pantas di sakiti, Lis. Karena kau terlalu lembut, dan baik,” sambung lastri
dengan mata yang berkaca-kaca. Ujung matanya tidak bisa menahannya dan terpaksa
harus mengalir di pipinya.
“Aku mengerti. Aku juga bisa
merasakan apa yang barusan kau cerita tadi. Sudahlah, Lastri! Tidak usah
membuka luka lama. Karena itu hanya akan menyakitimu, Las,” aku coba
menghiburnya. “O iya, kamu lapar nggak? Ke kantin yuk, aku lapar. Setelah itu
kita ke markas yah. Aku mau istirahat sejenak di sana”, lanjutku untuk
mengalihkan pembicaraan dan tidak ingin Lastri tambah sedih.
***
Sore itu, pulang kuliah. Sesampainya
di rumah, ada yang yang membuatku bingung. Sebuah mobil sedan mewah terparkir
depan rumah. Aku langsung bertanya-tanya, “Apa Ayah punya kenalan orang penting
ya? Biasanya hanya orang tertentu yang memiliki mobil mewah seperti ini.
Saat masuk rumah dan mengucap salam,
aku terkejut dengan apa yang aku lihat. Tamu itu adalah Abdullah dan dua pria.
Tapi satu diantaranya orang shalih, seperti ustadz. Terlihat dari zhahirnya.
Mereka membalas salamku, dan mencium tangan kedua orang tuaku. Untuk tamu, aku
hanya merapatkan kedua telapak tangan dan menundukkan kepala sebagai tanda
hormat. Tanpa kata-kata, aku langsung masuk kamar dan menutup pintu. Aku
langsung lunglai duduk di lantai kamar. Sayup-sayup terdengar percakapan
mereka. Mereka pamit ingin pulang.
“Lho, kok buru-buru. Lisa baru saja
pulang. Apa saya panggilkan Lisanya?” kata ayahku.
“Nggak usah, Pak. Saya ada urusan
lain. Terima kasih atas jamuannya. Saya pamit, assalamu’alaikum,” Abdullah
pamit dan menyalami ayahku.
Mereka pergi. Ayah dan ibu langsung
memanggilku untuk bicara. Menyampaikan apa yang dibicarakan tadi. Perasaanku
campur aduk. Bingung, senang, cemas, berkumpul jadi satu dalam ruang hati.
Tetiba jadi teringat ucapan Lastri. Jika Abdullah ke rumah dan mencatangi orang
tuaku, berarti dia serius dengan perasaannya. Bukan sekekdar suka kemudian
ditinggalkan. Suasana jadi hening, ayah ibuku saling bertatapan.
“Ehem...ehem...! Sepertinya yang
datang ke sini tadi pemuda yang shalih, walau jadi muslim terbilang belum lama.
Atlet pula,” ibuku mulai menyindir. Aku hanya tertunduk dan diam.
“Iya, Lis. Jangan ditolak. Tidak
baik. Ayah sudah tahu semuanya. Pemuda tadi yang menceritakan sendiri
kehidupannya. Orang yang luarrr biasah,” sambung ayahku dengan sindiran
sekaligus bercanda.
“Ehem...!! Sudah berapa lama mereka
di sini?” tanyaku mengalihkan topik bahasan.
“Setelah zhuhur mereka ke mari.
Sampai-sampai ayahmu pulang kerja lebih awal demi menyambut tamu agung. Bukan
begitu, Yah?” jawabnya senyum-senyum.
“Haaaa...,” aku terkejut.
“Pemuda tadi bersama ayah dan
ustadznya yang telah mengislam keluarganya,” lanjut ayahku.
“Setelah kompetisi internasional
yang diadakan setelah wisuda, dia akan melamarmu. Bagaimana?” tanya ibuku.
“Aku istikharah dulu, Bu,” jawabku.
“Jangan lama-lama. Dia menunggu
jawabanmu satu minggu lagi,” sambung ayahku.
“Baiklah, ayah dan ibu. Aku permisi
dulu. Mau mandi dan istirahat,” aku beranjak dari ruang tamu untuk mandi.
***
Seminggu sudah berlalu, hari ini Abdullah akan datang lagi ke rumah untuk
meminta jawabanku. Aku merapikan rumah, dan merapikan diri nanti. Tak perlu
cantik, yang penting sopan dan pantas dengan suasanya. Kata orang tuaku nanti
Abdullah akan membawa keluarganya untuk berkenalan denganku. Sepanjang
membereskan rumah, aku sedang memikirkan apa yang akan jawab nanti. Sesekali
menarik napas panjang, bukan karena gugup tapi bingung apa yang ingin kuucapkan
nanti.
Isya telah lewat, sebentar lagi keluarga Abdullah datang. Tetiba
perasaan gugup menghampiri jiwa yang sedang ling-lung ini. “Kok tiba-tiba aku
grogi ya. Perasaan tadi nggak, biasa saja,” gumamku dalam hati. Aku berusaha
menghibur diri untuk menghilangkan gugup dengan mendengarkan nasyid yang
membuatku bermuhasabah.
Tin...tin! Abdullah dan keluarganya sudah tiba, aku menyiapkan
jamuannya. Saat aku membawakan makanaan dan teh, aku segera masuk kamar. Aku
tidak akan keluar kalau tidak dipanggil. Perasaan yang tidak menentu.
Tok..tok... Ayah mengetuk pintu.
“Lisa. Keluar. Orang tuanya ingin berkenalan denganmu. Ingin tau seperti
apa calon menantunya,” ayahku meledek lagi. Tanganku sudah mengepal karena
kesal dengan ledekan ayah.
“Iya, Ayah, sebentar,” jawabku.
“Dandan yang cantik ya,” ayahku meledek lagi.
Aku keluar kamarku dengan wajah tertunduk karena malu. Aku tidak berani
menatap Abdullah dan keluarganya. Rasanya ingin segera pergi. Mungkin kalau
dilihat mukaku memerah karena malu.
“Papa dan Mama, perkenalkan. Ini Lisa,” Abdullah memperkenalku pada
kedua orangtuanya.
“Sa...saya, Lisa. Saya satu kampus dengan Abdullah, ha...hanya beda
program studi. Saya dari Pendidikan Bahasa Indonesia,” aku memperkenalkan diri
dengan gugup. Tanpa diduga, ayah Abdullah bertanya bagaimana bisa aku kenal
dengan Abdullah.
“Awalnya dari mana kamu kenal dengan Kim?” tanya ayahnya. Jantungku
berdetak kencang. Tiba-tiba aku menatap Abdullah, dan dia mengangguk padaku
“Waktu itu, sa...saya merapikan kantor Lembaga Dakwah Kampus atau LDK.
Waktu itu kantor LDK pindah dari lantai dua ke lantai dasar. Tiba-tiba ada
Abdullah dari arah yang belawanan tidak sengaja menabrak saya yang sedang
membawa tumpukan kardus. Tak lama setelah itu, Abdullah menawarkan olahraga
panahan ke teman-teman LDK. Begitulah awalnya saya kenal dengan Abdullah,”
lagi-lagi gugup tak bisa dihindari.
Obrolan menjadi panjang lebar. Tetiba ayah ibuku menjadi akrab, seperti
teman lama yang baru ini bertemu. Aku cuma diam dan tersenyum. Abdullah terus
menatapku. Aku banyak-banyak mengucap istighfar dan mengingatkan diri bahwa
pemuda yang di depanku belum jadi suamiku. Dan terus berdoa pada Allah swt
untuk tetap menjaga hati ini. Setelah puas memereka mengobrol pengalaman
masing-masing, suasana heing sejenak. Kemudian Abdullah angkat bicara.
“Lisa, jadi bagaimana jawabanmu?” Abdullah to the poin.
“Sebelum saya menjawab, saya ingin bertanya padamu, Abdullah. Apa yang
membuatmu jatuh hati padaku? Bukankah kau pernah didatangi wanita yang lebih
cantik waktu kau sedang berlatih sendirian di lapangan kampus? Dan sepertinya
banyak gadis di kampus yang suka padamu, tapi kenapa kau memilihku” tanyaku.
Abdullah menghela napas panjang.
“Lisa, memang banyak wanita yang suka padaku, tapi mereka tidak
sepertimu yang selalu menjaga kehormatan. Bersalaman atau berjabat tangan saja
kau tidak mau dengan lawan. Itu yang membuatku jatuh hati padamu. Para gadis di
kampus mendekatiku ada maunya. Mereka tahu bahwa saya berkecukupan, sedangkan
kau berbeda pandangan dengan mereka. Dan kau shalihah, Lisa,” jawabnya. Aku
jadi tambah malu dengan pujian itu. “Jadi, bagaimana jawabanya? Sesuai
kesepakatan seminggu yang lalu,” sambungnya. Sepertinya Abdullah tidak sabar
dengan jawabanku.
Suasana hening. Mereka juga menunggu jawabanku. Aku masih tentunduk.
Dalam hatiku sudah teriak-teriak untuk menerimanya.
“Bismillahirrohmaanirrahim. Insya Allah, Abdullah. Nanti setelah kau
mengikuti kompetisi, kau boleh melamarku,” jawabku dengan rasa yang tak
menentu. Mendengar jawabanku itu, Abdullah tersenyum lebar.
“Alhamdulillah,” mereka kompak mengucap hamdalah.
Semenjak peristiwa itu, heboh
se-LDK, bahkan teman-teman kelas pun juga ikutan heboh. Semua orang meledek dan
menyindirku. Berasa sempit tempat ini. Membuatku tidak fokus menulis skripsi
untuk mengakhiri masa kuliah.
***
Selama pengerjaan skripsi, aku
jarang mengaktifkan ponsel agar tidak menganggu. Terlebih dengan perasaan. Masa
menunggu membuat hati terasa teriris sembilu. Aku belum jadi miliknya. Betapa
sulitnya menjaga hati agar tidak ternodai. Sesekali harus meneteskan air mata
dan banyak istighfar. Serasa bersalah. Terkadang ada perasaan menyesal karena
telah bertemu dengannya.
Tidak jarang ada teman yang masih
menanyakan tentangku dan Abdullah, tapi aku tidak menanggapi. Setiap ada yang
bertanya tentang itu, rasa sakit di hati mulai muncul. Istikharah, shalat hajat
selalu kutunaikan. Jika Abdullah yang terbaik untukku, pasti akan dimudahkan
jalannya.
Selama tiga bulan aku menyelesaikan
skripsi dan siap sidang. Namun, ada saja halangannya. Yang harus melengkapi
administrasi mahasiswa semester akhir, mengembalikan buku perpustakaan yang
banyak kupinjam, harus tanda tangan dosen yang bersangkutan dan lain-lain.
Lelah. Frustasi. Ingin rasanya berteriak karena jalannya tidak dimudahkan. Dan
baru bisa daftar sidang sehari sebelum sidang, bahkan paginya aku masih
mengurus pendaftaran. Alhamdulillah bisa sidang hari itu juga.
Persidangan berjalan sangat lama.
Seperti diinterogasi oleh pihak kepolisian. Pertanyaannya sangat rinci. Bahkan
sesekali penguji meninggikan suara yang membuatku buyar ingin menjawab apa.
Lidahku menjadi kelu. Peluh mulai mengalir. Penguji menggebrak meja, membuat
aku tak bisa berkata apa-apa. Aku jawab semampuku. Alhamdulillah pengujinya
mengerti dan menyudahi persidangan itu. Skripsiku dikembalikan, ditandatangan
penguji sebagai tanda aku sudah disidang.
Para penguji mengadakan rapat untuk
menentukan kelulusan para mahasiswa. Beberapa teman bahkan ada yang ditahan
skripsinya oleh penguji, mereka menangis karena heran tidak dikembalikan. Aku
dan teman-teman yang skripsi dikembalikan oleh penguji berprasangka bahwa
skripsi mereka bermasalah.
Inilah yang paling menentukan.
Seperti penentuan hidup dan mati. Pengumuman kelulusan. Kami dikumpulkan di
salah satu kelas. Penguji memegang amplop yang isinya adalah hasil ujian
sidang. Sebelum memberikan amplop itu, penguji memberi sedikit nasihat dan
semangat untuk kami. Jantung kami berdegup kencang. Tak sabar untuk mengetahui
hasilnya, dinyatakan lulus atau tidak.
Penguji memberikan amplop sesuai
dengan nama yang tercantum pada amplop. Sebelum aku membuka, aku berdoa kepada
Allah swt dan sudah pasrah, ikhlas, apapun hasilnya. Setelah kubuka, haru tak
terbendung. Aku resmi menjadi sarjana. Aku dinyatakan lulus dengan nilai
sempurna. Sujud sukur. Berpelukan dengan teman-teman seperjuangan. Pelukan ini
seperti pelukan terakhir. Haru gembira dan sedih bercampur jadi satu. Gembira
karena dinyatakan lulus, sedih karena harus berpisah dengan teman-teman kelas.
Pulang sidang, sesampainya di rumah,
aku dikirimi sebuah buket bunga kecil sebagai tanda selamat. Ternyata dari
Abdullah. Lagi-lagi harus meneteskan air mata karena membuka luka hati. Hanya
bisa beristighfar. Mengambil wudhu dan shalat dua rakaat. Semua curahan hati
tumpah pada untaian doa. Hanya berharap yang terbaik dari Allah swt. Hidupku
berada dalam genggamannya.
***
Setelah wisuda, aku dapat panggilan
dari sekolah tempat praktik pengajaran lapangan dulu. Sebagai formalitas, aku
diminta untuk membuat surat lamaran guru di sekolah tersebut. Esoknya aku bisa
langsung mengajar. Di sinilah aku belajar bagaimana caranya menjadi guru yang
baik. Aku juga belajar dari beberapa guru yang sudah lama mengajar dan punya
banyak pengalaman, serta mempelajari berbagai macam metode belajar.
Dua bulan sudah kumengajar di
sekolah. Ketika sedang mengajar, bapak OB memanggil saya ada kurir yang
mengirimkan sebuah amplop. Aku berhenti sejenak beraktivitas di kelas dan
menerima amplop dan membukanya. Aku kaget. Amplop itu berisi beberapa tiket
pesawat menuju Bali serta undangan acara penutupan kompetisi internasional
untukku dan keluargaku. “Untuk apa tiket ini?”, gumamku. Selain tiket pesawat,
ada sepucuk surat yang menyertainya.
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakaatuh,
Lisa, saya harap kamu dan keluarga
bisa menghadiri acara tersebut.
Penginapan, dan tiket pergi-pulang
sudah saya tanggung.
Keluargaku juga sudah di sini.
Nanti akan saya jemput di bandara.
Sampai bertemu lagi
Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa
barakaatuh.
Abdullah Kim Hyun
Aku bingung. Rasa tak menentu muncul
lagi dalam ruang hati. Perasaanku mengatakan dia akan menepati janjinya.
Menepatinya bukan di rumahku, tapi di sana. Di tempat yang telah dia
ditentukan. Berita ini membuyarkan konsentrasiku mengajar. Aku hanya memberi tugas
pada para siswaku. Daripada aku mengajarnya jadi kacau karena perasaanku tak
menentu seperti ini. Dan darimana dia tahu alamat tempatku mengajar?
Setelah selesai semua jam mengajar,
aku langsung pulang. Memberi tahu ayah dan ibu tentang kiriman amplop itu.
“Ayah, Ibu. Aku ingin bicara. Apa
Ayah dan Ibu yang memberi tahu Abdullah alamat tempatku mengajar?” tanyaku.
“Iya, kenapa?” jawab ayahku.
“Ini... Abdullah mengirimkan ini ke
tempatku mengajar,” kataku sambil menyodorkan amplop itu.
“Wah, pertanda bagus ini, Lis!
Sepertinya dia mau memberimu kejutan. Jangan ditolak, Lis!” sambut ayahku
dengan gembira.
“Iya, Lis. Betul kata ayahmu.
Apalagi kita akan jalan-jalan,” sambung ibuku yang turut bergembira.
“Ehem...!! Ehem...!!!” tegurku
ditengah kegembiraan mereka. “Jadi, Ayah dan Ibu menerima Abdullah karena ada
maunya?” lanjutku.
“Ya nggak lah, Lis. Abdullah itu
laki-laki yang baik. Kalau bukan laki-laki yang baik, dia tidak mungkin berani
mendatangi ayah dan ibu,” kata ayahku.
“Luruskan niat, ayah dan ibu. Aku
mau menerima jika niat ayah dan ibu lurus, untuk mencegahku berzina, bukan
karena harta yang dimiliki Abdullah,” balasku. Tanpa basa-basi aku langsung ke
kamar.
***
Sampailah dibandara Ngurahrai, Bali. Abdullah sudah
menunggu. Sendirian. Dia mengantar kami ke hotet, tempat menginap dia juga. Dia
juga memesan dua kamar, satu untukku dan satu kamar untuk keluargaku. Ternyata
kamarku berhadapan dengan kamarnya. Kamar keluargaku bersebelahan dengan kamar
orang tuanya Abdullah. Aku baru membuka pintu kamar, namun sejenak berhenti
karena Abdullah memanggilku.
“Lisa, tunggu. Acaranya besok malam.
Kau istirahatlah dulu. Dan besok malam, kau pakailah ini,” kata Abdullah sambil
menyerahkan sebuah kotak. Saat dia bicara padaku, aku hanya menunduk. Tak
berani menatapnya.
Segera kumasuk kamar, dan membuka
isi kotak yang diberi Abdullah. Gamis yang cantik. Aku memegangnya. Aku
bertanya-tanya dalam hati, “Ya Allah... apa carakaku untuk menjemput jodohku
benar? Apakah hatiku telah berzina?”. Tanpa terasa, air mata harus menetes
lagi. Aku berucap sendiri, “Ya Allah, Maafkan dosa-dosaku. Maafkan aku sebagai
hambamu yang hina ini. Maafkan hambamu jika cara ini salah...”
Besok malamnya kami naik mobil yang
dikendarai Abdullah, dan keluarga Abdullah menaiki mobil yang lain. Tiba di
tempat, panitia memeriksa undangan kami. Tanpa undangan kami tidak bisa masuk.
Kami menempati tempat yang telah tertera di undangan.
Acara pun dimulai. Berbagai hiburan
ditampilan. Terutama tampilan tarian tradisional dari Indonesia, diselingin
penganugrahan pemanah terbaik. Terakhir, pembawa acara menyebut nama Abdullah
Kim Hyun sebagai salah satu pemanah terbaik. Ini pertama kali Abdullah
berkompetisi di ajang internasional dan langsung mendapat medali emas. Dia pun
memberi sambutan. Dan dalam sambutannya ada yang membuat kutertegun dan malu.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wa
barakaatuh. Maaf, saya bicara dengan bahasa Indonesia. Karena saya sudah jatuh
cinta pada Indonesia. Puji syukur kepada Allah swt yang masih memberi keimanan
dan kesehatan sehingga saya dapat mengikuti kompetisi bergengsi ini, dan saya
berterima kasih kepada keluarga saya yang selalu mendukung untuk tidak berhenti
dengan olahraga sunnah ini. Dan juga pelatih saya yang selalu sabar melatih
saya. Dan malam ini adalah malam spesial buat saya, karena saya akan meminang
seorang wanita yang baik agama dan akhlaknya. Saya minta tolong mama saya untuk
membawa Lisa ke sini,” ucapAbdullah yang membuat suasana jadi ramai. Aku malah
malu. Dia mengucap itu di depan orang banyak.
Ibunya Abdullah menuntunku menuju
Abdullah. Aku malu, karena di depan banyak orang. Aku tak bisa berkata apa-apa
lagi. Aku hanya terdiam seibu bahasa. Sampailah aku di hadapannya dan di
hadapan seribu pasang mata. Aku cuma menunduk, menahan malu. Mungkin Abdullah
juga malu, tapi sepertinya memiliki muka tembok.
“Langsung saja. Wanita ini namanya
Lisa. Kami sebelumnya satu kampus, fakultasnya sama, hanya beda program studi.
Saya jatuh hati padanya karena agama dan akhlaknya. Maka dari itu, maukah kamu
menerima saya sebagai calon suamimu? Jika kamu menerima, pilih kotak hijau.
Isinya adalah medali yang kudapatkan dari kompetisi ini. Jika kau tidak
menerima, kau pilih kotak merah. Isinya brosmu yang terjatuh. Dan jarumnya
sudah patah,” kata Abdullah. Sungguh, lidahku kelu. Tak bisa bergerak untuk
bisa mengucapkan sesuatu. Tak bisa berkata apa-apa. Ditambah harus menahan
malu. Suasana hening disertai tegang karena undangan yang hadir menunggu
jawabanku.
Tanganku perlahan menuju salah satu
kotak itu. Kupilih kotak warna hijau. Aku melirik Abdullah, matanya berkaca.
Mungkin haru karena gembira. Langsung saja medali emas itu dikalungkan Abdullah
padaku tanpa sentuhan sama sekali. Dan Abdullah pun lanjut berbicara,
“Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah swt. Insya Allah, bulan depan kami
akan menikah”. Kalima terakhir Abdullah menutup acara sambutannya. Aku pun
kembali ke tempat dudukku dan pelukan erat dari ayah, ibuku, dan Ibunya
Abdullah.
SELESAI