Selasa, 20 Desember 2011

PERAN MUSLIMAH DALAM POLITIK ISLAM

             Politik sering diartikan negatif oleh sebagian orang, karena menganggap politik itu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, yaitu kekuasaan dan harta. Sehingga politik diselimuti oleh kedustaan, tipu daya dan penyesatan serta propaganda oleh para penguasa yang zhalim. Orang – orang yang berpandangan seperti ini membuat penguasa menjadi musuh bagi rakyat, bukan sebagai pemimpin yang mengurusi dan mengayomi rakyat. Ini merupakan cara pandang yang salah, orang – orang yang seperti ini tidak memahami dan mengerti politik yang sebenarnya. Bahkan menganggap politik itu adalah sesat karena banyak permainan kotor di dalamnya.
            Dalam buku Melusruskan Dikotomi Agama dan Politik karya Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan definisi politik dari beberapa ahli, diantaranya[1] :
1. Kata as siyasah (politik) berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata saasa, yasuusu, siyaasatan yang artinya mengatur atau memimpin.
2. Kata as siyasah bisa diartikan kiasan dalam kamus Tajul Arus, menyelesaikan persoalan dengan politik, disini diartikan melakukan sesuatu yang mendatangkan kebaikan.
3 . As siyasah merukan disiplin ilmu tentang organisasi sosial kemasyarakatan.
4. Politik berkenaan dengan kekuasaan dan administrasi dalam masyarakat sipil.
5. Politik adalah segala aktifitas manusia yang berkaitan dengan penyelesaian berbagai konflik dan menciptakan keamanan bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, politik tidak bisa dipisahkan dengan kekuatan atau usaha keras.
6. Kata as siyasah sebagai dasar ilmu yang membahas cara mengatur berbagai persoalan yang bersifat umum.

            Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa politik adalah suatu cabang ilmu yang mengatur dan memimpin urusan manusia untuk mencapai keamanan, mendatangkan kebaikan serta menyelesaikan berbagai konflik. Sedangkan hakikat politik itu ialah berprilaku politik serta budaya politik yang berdasarkan ajaran Islam, yang berawal dari keprihatinan moral serta keutuhan ummat. Tujuan dari politik Islam itu sendiri adalah membangun sistem kenegaraan yang berdasarkan dengan ajaran – ajaran Islam.
            Dalam politik Islam memiliki tiga asas, yaitu pertama adalah hakimmiyyah ilahiah.  Hakimiyyah ilahiah artinya meninggikan tauhid kepada Allah swt dan kekuasaan mutlak tertinggi hanya milik Allah swt. Kedua, risalah. Asas kedua ini dalam politik Islam harus berdasarkan wahyu yang diturunkan oleh Raulullas saw. Ketiga, khilafah. Maksud khilafah di sini bermakna perwakilan, memahami bahwa kedudukan manusia di muka bumi sebagai wakil. Ini berarti jabatan dalam politik merupakan amanah dari Allah swt yang harus dijalan dengan sebaik mungkin, profesional dan proposional. Sebagai khilafah harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Orang – orang yang bertanggung jawab; 2. Bukan dari orang – orang yang zhalim, jika dipegang oleh orang – orang zhalim maka akan berbuat seenaknya tanpa dibatasi oleh hukum – hukum Islam; 3. Memiliki ilmu, cerdas, intelektual dan bijaksana; 4. Harus dipegang oleh orang yang dapat dipercaya dalam memegang amanah tersebut.
            Selain ada asas politik Islam, ada pula prinsip – prinsip yang harus diperhatikan. Diantaranya adalah : 1. Musyawarah, ini berkenaan dengan pemilihan kepala negara beserta mentri – mentrinya. Tugas lain untuk menetapkan undang – undang kenegaraan dan pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan ajran Islam (Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw); 2. Keadilan. Prinsip keadilan ini menyangkut sistem sosial dalam masyarakat termasuk perekonomian, keadilan juga bermaksud untuk menjauhi perbuantan zhalim penguasa; 3. Kebebasan. Prinsip ketiga ini bukan berarti bebas sebebas – bebasnya tanpa batas, tapi yang dimaksud bebas di sini adalah bebas dalam beramar ma’ruf nahi munkar. Termasuk bebas menyatakan pendapat; 4. Persamaan. Prinsip persmaan ini adalah menyamakan hak dan kewajiban menurut kemampuan yang sudah ditetapkan oleh undang – undang kenegaraan; 5. Hak menghisab pemerintah. Prinsip kelima ini merupakan hak dalam tangan rakyat, ini dimaksudkan untuk menegakkan kebenaran. 

Berperannya Muslimah dalam Politik pada Masa Rasulullah
            Sejak masa Rasulullah saw, wanita sangat berperan dalam dakwah dan perpolitikan. Bedanya, ketika masa Rasulullah saw wanita tidak masuk dalam “parlemen” Rasulullah saw seperti para sahabat – sahabat beliau. Misalnya, Khadijah binti Khuwailid yang pertama kali menyatakan beriman kepada Allah dan Rasul – Nya. Jika dilihat dari sisi politiknya, Khadijah mempunyai kedudukan yang mulia, serta peduli akan wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Kepeduliannya itu menopang dan memahami secara cermat wahyu yang diturunkan, dan menunjukkan ketegaran, bukan grogi dengan turunnya wahyu tersebut. Saat Rasulullah saw pulang dari gua Hira dengan kondisi ketakutan Khadijah malah memberi penguatan, bukan ikut menjadi takut. Ini membuktikan, bahwa wanita dalam hal ini muslimah, juga perlu mempelajari hal – hal disekelilingnya, agar dapat menentukan pilihan yang terbaik bagi hidupnya[2]. Selain itu, dari segi ekonomi Khadijah adalah wanita kaya, hartanya itulah yang akan mendukung dan membiayai kiprah dakwah Rasulullah.
            Ketika hijrah ke Madinah merupakan awal berdirinya sebuah daulah untuk melindungi Islam, karena selama tiga belas tahun Islam tidak mempunyai daulah dan negara[3]. Hijrah ke Madinah secara bergelombang. Rasulullah saw yang saat itu pergi bersama Abu Bakar bin Abu Quhafah, dan yang menyiapkan perbekalah mereka adalah Asma’ binti Abu Bakar. Sempat ditampar oleh Abu Jahal saat ditanya keberadaan Rasulullah, padahal kondisinya sedang hamil. Di sini keberanian Asma’ menyembunyikan keberadaan Rasulullah saw. Begitu juga dengan para shahabiyah yang ikut hijarah ke Madinah. Mereka mengalami kesulitan – kesulitan untuk menuju Madinah, mereka harus meninggalkan tanah kelahiran tanpa harta benda. Ada pula yang dipisahkan oleh anak dan suaminya, seperti yang dialami oleh Ummu Salamah selama satu tahun.
            Pada masa peperangan, para muslimah juga ikut berkontrbusi, namun pada perang Badar para wanita tidak ikut. Bukan karena kesengajaan, tetapi karena memang kepergian pasukan Muslimin secara mendadak. Perang Uhud, para wanita ditempatkan di benteng Hassan[4]. Tugas para muslimah dalam perang tersebut menyiapkan air untuk para pasukan Muslimin. Pada perang Khandaq, keberanian Shafiyyah binti Abdul Muthalib membunuh mata – mata dari pihak musuh yang masuk benteng yang ada wanita dan anak – anak. Kalau tidak di bunuh, mata – mata itu akan melapor pada komandan pasukan musuh dan anak – anak dan wanita yang ada di situ bisa habis terbunuh. Dalam peperangan lain para wanita ditempatkan dibarisan belakang, ini untuk memberi dukungan kaum Muslimin dan berjaga – jaga jika ada Muslimin yang lari dari peperangan.

Peran Muslimah dalam Perpolitikan Saat Ini
            “Dan orang – orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mengerjakan, mencegah dari perbuatan yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah sdan Rasul – Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha bijaksana[5]
            “Orang – orang munafik lelaki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf[6]
            Ayat di atas membuktikan bahwa laki – laki dan perempuan itu sama.  Jika orang – orang  munafik, baik laki – laki dan perempuan seperti ayat ke dua, mampu menyuruh kepada yang munkar dan melarang yang ma’ruf akan menghancurkan masyarakat, maka laki – laki dan perempuan yang beriman harus mampu membangun masyarakat dengan amar ma’ruf nahi munkar. Bedanya, dalam hak waris memang laki – laki mendapat bagian yang lebih besar daripada perempuan, karena laki – laki mempunyai tanggung jawab finansial yang lebih besar daripada perempuan. Kemudian dalam hal kesaksian, kesaksian dua orang perempuan setara dengan kesaksian satu orang laki – laki.
            Berdasarkan ayat pertama di atas, dalam hal ini tidak mengapa jika Muslimah masuk dalam parlemen. Ada sebagian orang masih melarang wanita untuk duduk dalam parlemen negara, dengan alasan posisi parlemen hanya untuk laki – laki saja. Dua hal penting di sini[7] : 1. Jumlah wanita yang dicalonkan untuk duduk diparlemen sangat terbatas, karena jabatan untuk duduk di kursi parlemen masih didominasi oleh laki – laki. Laki – laki masih berkuasa untuk memutuskan, menetapkan dan membatalkan kesepakatan; 2. Al Qur’an surat An Nisa ayat 34 menjelaskan bahwa laki – laki adalah pemimpin kaum wanita, tetapi itu dalam rumah tangga dan bertanggung jawab atasnya. Istri dan anak – anak amanah dari Allah swt, maka laki – laki harus bertanggung jawab atas amanah itu, sebab laki – laki memiliki tingkat kelebihan di atas perempuan yang diberikan oleh Allah swt. Kecuali kalau wanita menjadi pemimpin negara itu yang dilarang, tetapi kepemimpinan atas sebagian masalah tidak ada halangan bagi wanita.
            Ada hadits yang intinya agama itu nasihat, bagi Allah, Rasul, kitab dan bagi para pemimpin kaum muslimin. Berlaku bagi laki – laki dan perempuan, tidak dikhususkan pada laki – laki saja. Pada masa Khalifah Umar bin Khathab pernah membatasi besar mahar bagi wanita, sebab pada saat itu mahar yang diberikan perempuan jumlahnya sangat besar. Datanglah seorang wanita yang memprotes kebijakan Umar, bahwa mahar wanita adalah hak perempuan dan Umar menerimanya. Peristiwa perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw bermusyawarah dengan Ummu Salamah dan Ummu Salamah pun memberi solusi ketika para sahabat tidak mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah saw, kemudian beliau langsung menjalankannya diikuti oleh para sahabatnya. Ini membuktikan bahwa perempuan juga berhak memberikan pendapat untuk beramar ma’ruf nahi munkar. Begitu juga ketika wanita duduk di parlemen dalam membuat undang – undang kenegaraan, wanita dalam hal ini adalah Muslimah, berhak untuk mengemukakan pendapatnya.
            Perlu dicatat, walaupun Muslimah itu boleh masuk dalam parlemen ada yang harus diperhatikan. Diantaranya sebagai berikut :
a.       Tidak semua wanita bisa duduk diparlemen, jika ia masih mempunyai tanggungan dalam keluarganya, maka tidak boleh mencalonkan diri menjadi anggota parlemen. Wanita yang tidak mempunyai anak, tidak diganggung oleh kesibukan – kesibukan rumah tanggan, mempunyai intelektual, kecerdasan dan ilmu dalam kenegaraan atau pemerintahan, yang usianya sekitar lima puluh tahun diperbolehkan untuk menduduki kursi di parlemen[8].
b.      Tidak boleh menyerupai laki – laki. Dari Ibnu Abbas r.a : “Rasulullah saw mengutuk wanita yang menyerupai laki – laki, dan laki – laki menyerupai perempuan[9]
c.       Tetap berbusana sesuai dengan syari’at Islam dan syarat – syaratnya. “Katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan jangan menampakkan perhiasannya (auratnya).....[10]
d.      Tidak bertabaruj.
e.       Tidak boleh bertingkah laku seperti orang – orang jahiliyah[11].
            Jadi, Muslimah boleh berpolitik (parlemen), karena berpolitik salah satu untuk menyeru amar ma’ruf nahi munkar, Muslimah juga merupakan pembantu bagi laki – laki yang Muslim. Politik  sendiri adalah mengurus urusan masyarkat baik sipil mau pun administrasi negara, untuk mencapai sistem kenegaraan yang sesuai dengan ajaran – ajaran Islam, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw serta menjaga keutuhan ummat. Dengan catatan, harus menjaga batasan – batasan dan syarat – syaratnya untuk menjadi anggota parlemen. Wallahu’alam bishawab.


[1] Yusuf Qardhawi. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik. (Al Kautsar : Jakarta, 2008). Hlm. 19 – 20.
[2] Asma’ Muhammad Ziyadah. Peran Politik Wanita dalam Sejarah Islam. (Al Kautsar : Jakarta, September, 2000). Hal. 6
[3] Ibid. Hlm.51.
[4] Ibid. Hlm.136.
[5] Q.S. At Taubah : 71
[6] Q.S. At Taubah : 67.
[7] Yusuf Qardhawi. Fiqih Negara. (Rabbani Press : Jakarta, 1999). Hlm.212.
[8] Ibid. Hlm.223.
[9] HR. Bukhari, Abu Daud Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Hibban
[10] Q.S. An Nur : 31
[11] Lihat Q.S. Al Ahzab : 33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar