“Wahai Abu
Utsman,” kata perempuan itu, “Sungguh aku mencintaimu.”
Suasana
hening sejenak. “Aku memohon, atas nama Allah, agar sudilah kiranya engkau
menikahiku,” lanjutnya.
Lelaki yang
bernama lengkap Abu Utsman An Naisaburi itu diam. Ada keterkejutan dan
kegamangan dalam dirinya tatkala mendengar perkataan perempuan yang datang
kepadanya itu. Ia tidak mengenal perempuan ini dengan baik. Namun, tiba-tiba
saja perempuan ini datang menemuinya dan menyatakan rasa cintanya yang dalam
kepadanya. Bahkan saat itu pula, atas nama Allah, perempuan itu meminta pada
Abu Utsman untuk menikahinya. Seakan keterkejutan yang dirasakan Abu Utsman
bertumpuk-tumpuk di atmosfir hatinya.
Abu Utsman
diam. Memikirkan keputusan apa yang hendak diambilnya. Sebagai seorang pemuda,
ia dihadapkan pada sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Sebuah keputusan yang
mungkin akan dijalaninya selama lebih dari separuh usianya dan separuh imannya.
Selama ini keluarganya senantiasa mendorongnya untuk segera meminang salah
seorang perempuan shalihah di wilayah itu. Namun, ia selalu menolak dorongan
dari keluarganya itu hingga hari ini. Maka, sampai sekarang ia masih juga
membujang. Ia akan mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya, termasuk
segala konsekuensi yang menyertainya.
Imam Abul
Faraj Abdurahman ibnu Al Jauzi menuliskan dalam salah satu kitabnya, Shaidul
Khathir, bahwa Abu Utsman kemudian datang ke rumah si perempuan. Ia
mendapati orangtua si perempuan adalah orang yang miskin. Namun, keputusannya
tetaplah bulat untuk meminang si perempuan yang datang menyatakan cinta
kepadanya itu. Terlebih lagi karena perempuan itu memintanya untuk menikahinya.
Ia menyaksikan kebahagiaan yang berlimpah pada orangtua si perempuan mendengar
bahwa putrinya dipinang oleh Abu Utsman, lelaki yang berilmu, tampan, shalih,
penyabar, setia, jujur, tulus, dan terhormat.
Mereka pun
menikah. Hingga akhirnya sang istri itu meninggal dunia lima belas tahun
kemudian. Namun, sejak malam pengantin mereka ada kisah yang baru terungkap
setelah kematian sang istri. “Ketika perempuan itu datang menemuiku,” kisahnya,
“Barulah aku tahu kalau matanya juling dan wajahnya sangat jelek dan buruk.
Namun, ketulusan cintanya padaku telah mencegahku keluar dari kamar. Aku pun
terus duduk dan menyambutnya tanpa sedikit pun mengekspresikan rasa benci dan
marah. Semua demi menjaga perasaannya. Walaupun aku bagai berada di atas panggang
api kemarahan dan kebencian.”
Ah, kita
jangan marah pada Abu Utsman yang mengharapkan istri yang cantik dan sempurna,
tapi kemudian hanya mendapatkan istri juling dan buruk wajah. Itu merupakan
sisi manusiawi dari lelaki yang menginginkan kecantikan dan kesempurnaan dari
pendamping hidupnya. “Begitulah kulalui lima belas tahun dari hidupku
bersamanya hingga dia meninggal,” lanjutnya berkisah. “Maka, tiada amal yang
paling kuharapkan pahalanya di akhirat, selain masa-masa lima belas tahun dari
kesabaran dan kesetiaanku menjaga perasaannya dan ketulusan cintanya.”
Kesetiaan itu adalah bintang di langit kebesaran jiwa, kata Anis Matta.
Sungguh,
saya sangat kagum dengan sepasang suami istri ini. Meskipun cinta di antara
mereka tidak pernah benar-benar ada dalam masa-masa lima belas tahun perkawinan
itu, tapi perjuangan cinta si perempuan sangat luar biasa di mata saya.
Meskipun sang perempuan itu tahu bahwa ia bermata juling, meskipun ia tahu
bahwa ia hanya anak orang miskin, meskipun ia tahu bahwa ia bukan perempuan
berwajah cantik satin, tapi ia memperjuangkan cintanya untuk membersamai orang
yang dicintainya itu. Ia berhasil membersamainya dalam masa lima belas tahun
hingga maut datang menjemput. Ia memang tidak tahu bahwa selama masa itu sang
suami, Abu Utsman An Naisaburi, tidak pernah benar-benar mencintainya. Namun,
Abu Utsman membuktikan bahwa ia adalah lelaki yang setia, tulus, sabar, dan
senantiasa menjaga perasaan sang istri yang demikian tulus mencintainya. Bagi
saya, semua hal itu adalah bagian dari cintanya, hanya saja bentuknya yang
sedikit berbeda. Sungguh, saya sangat kagum dengan sepasang suami istri ini.
Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Ada pula
kisah lain dari shahabiyah Rasulullah. Namanya Khansa’ binti Khaddam Al
Anshariyah. Ia adalah salah seorang perempuan Madinah dari Bani Aus yang
berstatus janda. Khaddam, sang ayah Khansa’, mengawinkannya dengan seorang
lelaki yang juga berasal dari Bani Aus. Namun, ia tidak menyukai lelaki itu dan
sebenarnya ia telah menyukai lelaki lain. Maka, berangkatlah Khansa’ menemui
Rasulullah. Ia menceritakan kasus perselisihannya dengan sang ayah dan
mengutarakan hasrat hatinya bahwa ia mencintai lelaki lain itu. Rasulullah pun
memanggil sang ayah dan memerintahkan kepadanya untuk memberikan kebebasan
kepada putrinya dalam memilih calon suaminya sendiri.
“Sesungguhnya,”
tutur para imam hadits dalam kitab mereka, “Ayahnya menikahkan dia, sedangkan
dia seorang janda maka ia tidak suka pernikahan itu, kemudian datang kepada
Rasulullah. Maka Rasulullah menolak pernikahannya.” Hanya Imam Muslim yang
tidak mencatat riwayat dari Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah ini.
Khansa’
binti Khaddam Al Anshariyah pun memilih. Ia memutuskan untuk meninggalkan
perkawinan paksaan sang ayah dan menginginkan dinikahi oleh orang yang
dicintainya. Dalam Shahifah Amru bin Syaibah, disebutkan bahwa lelaki
itu terlebih dahulu meminang Khansa’ dan sudah diterima Khansa’. Nama lelaki
itu adalah Abu Lubabah bin Abdil Mundzir. Ia adalah salah seorang sahabat utama
yang menghadiri Bai’atul Aqabah kedua, ia adalah wakil Rasulullah di Madinah
saat Perang Badar untuk menjaga keamanan dan ketertiban penduduk kota Madinah,
anak-anak, kaum perempuan, kebun buah-buahan. Ia juga ditugasi untuk memberi
makanan pada warga yang kelaparan dan memenuhi kebutuhan semua warga yang ada,
baik anak-anak maupun orang tua sampai pasukan yang berada di jalan Allah itu
kembali. Dengan lelaki mulia inilah Khansa’ menjatuhkan pilihannya, ia menikah
dengan lelaki yang dicintainya. Ia menikah dengan lelaki yang diperjuangkannya
hingga melibatkan keputusan Rasulullah atas pemaksaan sang ayah. Dari
pernikahan mereka itu lahirlah seorang perempuan bernama Lubabah.
Pada Khansa’
binti Khaddam Al Anshariyah pula kita berterimakasih atas pelajaran penting
tentang larangan pemaksaan menikah dari orang tua jika sang putri tidak
menyukai calon suaminya. Dari Khansa’ pula kita belajar tentang hak-hak
perempuan dalam syariat Islam dan menjalankan hidupnya sebagai bagian dari
sistem struktur masyarakat madani. Semua bermula tatkala si perempuan itu
menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Kisah hidup
perempuan paling mulia di zamannya pun melakoni episode perjuangan cinta ini.
“Sebenarnya
ia orang biasa,” kata perempuan mulia itu. Dr Thaha Husain menuliskan fragmen
ini dalam saduran kisahnya yang dinukil oleh Saefulloh Muhammad Satori dalam Romantika
Rumah Tangga Nabi. Perempuan mulia ini bernama Khadijah binti Khuwailid.
Sedangkan orang yang dibicarakannya adalah Muhammad bin Abdullah yang kala itu
berusia sekitar dua puluh lima tahun. “Saya kenal ibunya. Saya kenal ayahnya,
dan saya turut hadir pada waktu ia baru lahir,” terangnya.
Dalam pandangan
Khadijah, sosok Muhammad muda adalah sosok dengan kebaikan yang melimpah,
kewibawaan lelaki, kepercayaan amanah, dan pesona jiwa yang tak mampu
tersembunyikan oleh kerasnya hidup yang dilaluinya. Sebentuk empati pada
Muhammad muda menunas di hatinya. Segala kabar miring yang pernah didengarnya
dari orang-orang yang mengatakan bahwa kedudukan Muhammad hanyalah seorang
penggembala kambing penduduk Mekah tertepis dengan sendirinya menyaksikan
amanahnya pada lelaki itu terlaksana dengan gemilang.
Rasa empati
di dalam hati Khadijah bertransformasi, lembut, lambat dan menumbuh pelan,
pasti. Rasa empati itu semakin lama berbunga cinta. Ia merasakan perasaan
manusiawi terhadap lelaki mulia yang menjadi pekerjanya itu. Dan seperti bentuk
cinta jiwa lainnya, cinta yang dirasakannya menginginkan balasan dan
penghalalan di singgasana pernikahan. Namun, ia masih merasakan keraguan di
dalam dirinya untuk membersamai sang lelaki mulia itu. Sebelumnya, ia telah
menikah dengan Atiq bin Aid bin Abdullah Al Makhzumi dan Abu Halah Hindun bin
Zarrah At Tamimi. Bahkan ia telah memiliki putri yang sudah berada di usia
nikah dan seorang putra lagi. Saat itu Khadijah berusia sekitar empat puluh
tahun. Selisih usianya dengan Muhammad sekitar lima belas tahun.
Dalam
kebimbangan itu, datanglah kawan karibnya yang bernama Nafisah binti Munayyah.
Ia adalah kawan Khadijah dimana ia banyak mendengarkan keinginan-keinginan hati
Khadijah. Dan kali ini termasuk tentang rasa cintanya terhadap Muhammad dan
hasrat hatinya untuk menjadi istri dari lelaki yang dicintainya itu. Nafisah
pun mengerti. Ia menawarkan bantuannya untuk menjadi utusan rindu antara
Khadijah dan Muhammad.
Segera
ditemuinya Muhammad. Ditanyalah lelaki mulia ini alasan-alasan mengapa ia belum
juga menikah. Ia juga menjelaskan kepada Muhammad tentang keutamaan-keutamaan
bagi orang yang menikah yang didampingi seorang istri yang setia. Muhammad muda
termangu membayangkan idealisme yang dijabarkan nafisah dan realita yang
dihadapinya di masa lalu dan kini.
“Aku tidak
tahu dengan apa aku dapat beristri…?” jawab Muhammad dengan pertanyaan retoris.
“Jika ada
seorang perempuan cantik, hartawan, dan bangsawan yang menginginkan dirimu,
apakah engkau bersedia menerimanya?” tanya Nafisah balik.
Syaikh
Shafiyurahman Al Mubarakfuri dalam Rahiq Al Makhtum menyebutkan bahwa
Nafisah binti Munayyah bergegas menemui Muhammad muda dan membeberkan rahasia
Khadijah tersebut dan menganjurkannya untuk menikahi Khadijah. Muhammad pun
menyetujuinya dan merundingkan hal itu dengan paman-pamannya. Kemudian mereka
mendatangi paman Khadijah untuk melamarnya bagi Muhammad. Pernikahan pun segera
berlangsung dengan dihadiri oleh Bani Hasyim dan para pemimpin suku Mudhar.
Muhammad menyerahkan mahar sebanyak dua puluh ekor unta muda.
“Muhammad,”
kata Abu Thalib, sang paman, dalam Romantika Rumah Tangga Nabi, “Adalah
seorang pemuda yang mempunyai beberapa kelebihan dan tidak ada bandingannya di
kalangan kaum Quraisy. Ia melebihi semua pemuda dalam hal kehormatan,
kemuliaan, keutamaan, dan kecerdasan. Walaupun ia bukan termasuk orang kaya,
tapi kekayaan itu dapat lenyap. Sebab setiap titipan atau pinjaman pasti akan
diminta kembali. Sesungguhnya Muhammad mempunyai keinginan khusus terhadap
Khadijah binti Khuwailid, begitu pula sebaliknya…”
Tentu saja
kisah cinta Khadijah – Muhammad adalah kisah yang sarat dengan hikmah dan
berlimpah berkah. Dua orang mulia bertemu dalam singgasana pernikahan yang
sama. Bergemuruh oleh kerja-kerja cinta di antara keduanya. Saling melengkapi
di antara keduanya. Dan kematangan serta sikap keibuan Khadijah adalah energi
gerak dan penenang jiwa tatkala sang suami memikul amanah langit dan
menyampaikan dua kalimat keadilan. Penyiksaan psikis pun bisa dikikis oleh rasa
kasih dan sayang Khadijah pada Muhammad, Rasulullah.
Kita tidak
tahu apa yang akan terjadi seandainya Khadijah hanya berdiam diri menunggu
takdir cintanya kepada Muhammad. Bisa jadi Rasulullah tetap akan meminang
Khadijah. Namun, bisa jadi hal lain yang terjadi, yakni tidak terjadi apa-apa
di antara keduanya. Dan tentu ceritanya akan lain jika Khadijah tidak menikah
dengan Muhammad. Namun, sejarah cukup membuktikan bahwa takdir telah diciptakan
oleh Khadijah dengan mengutarakan rasa cintanya melalui kawan karibnya, dan
takdir ciptaannya itu pun berjodoh dengan takdir ilahi. Khadijah memang
perempuan mulia, dan kemuliaannya itu tidak mengurangi kekuatan dirinya untuk
memperjuangkan rasa cintanya. Dan cinta Khadijah – Muhammad pun mengabdi di
langit jiwa sejarah manusia. Semua bermula tatkala perempuan mulia itu
menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Kita
seringkali tidak memahami bahwa kehidupan berjalan dalam siklus pilihan,
keputusan, dan konsekuensi. Kisah-kisah hidup perempuan-perempuan ini memang
berakhir bahagia dalam perjuangan cintanya untuk membersamai lelaki yang dicintainya.
Namun, ada juga kisah yang tidak gemilang, bahkan berkesan coretan buram
menghitam dalam sejarah perjuangan cinta, jika boleh kita sebut cinta. Mari
kita simak kisahnya sebagaimana dituturkan Salim A Fillah dalam Jalan Cinta
dengan menukil dari Raudhatul Muhibbin dan Taujih Ruhiyah.
Ini kisah
tentang seorang gadis yang sebegitu cantiknya. Dialah sang bunga di sebuah kota
yang harumnya semerbak hingga negeri-negeri tetangga. Tak banyak yang pernah
melihat wajahnya, sedikit yang pernah mendengar suaranya, dan bisa dihitung
jari orang yang pernah berurusan dengannya. Dia seorang pemilik kecantikan yang
terjaga bagaikan bidadari di taman surga.
Sebagaimana
wajarnya, sang gadis juga memendam cinta. Cinta itu tumbuh, anehnya, kepada
seorang pemuda yang belum pernah dilihatnya, belum pernah dia dengar suaranya,
dan belum tergambar wujudnya dalam benak. Hanya karena kabar. Hanya karena
cerita yang beredar. Bahwa pemuda ini tampan bagai Nabi Yusuf zaman ini. Bahwa
akhlaqnya suci. Bahwa ilmunya tinggi. Bahwa keshalihannya membuat iri. Bahwa
ketaqwaannya telah berulang kali teruji. Namanya kerap muncul dalam pembicaraan
dan doa para ibu yang merindukan menantu.
Gadis pujaan
itu telah kasmaran sejak didengarnya sang bibi berkisah tentang pemuda idaman.
Tetapi begitulah, cinta itu terpisah oleh jarak, terkekang oleh waktu, tersekat
oleh rasa asing dan ragu. Hingga hari itu pun tiba. Sang pemuda berkunjung ke
kota si gadis untuk sebuah urusan. Dan cinta sang gadis tak lagi bisa menunggu.
Ia telah terbakar rindu pada sosok yang bayangannya mengisi ruang hati. Meski
tak pasti adakah benar yang ia bayangkan tentang matanya, tentang alisnya,
tentang lesung pipitnya, tentang ketegapannya, tentang semuanya. Meski tak
pasti apakah cintanya bersambut sama.
Maka
ditulisnyalah surat itu, memohon bertemu. Dan ia mendapat jawaban. ”Ya”,
katanya.
Akhirnya
mereka bertemu di satu tempat yang disepakati. Berdua saja. Awal-awal tak ada
kata. Tapi bayangan masing-masing telah merasuk jauh menembus mata,
menghadirkan rasa tak karuan dalam dada. Dan sang gadis yang mendapati bahwa
apa yang ia bayangkan tak seberapa dibanding aslinya; kesantunannya, kelembutan
suaranya, kegagahan sikapnya. Ia berkeringat dingin. Tapi diberanikannya
bicara, karena demikianlah kebiasaan yang ada pada keluarganya.
”Maha Suci
Allah”, kata si gadis sambil sekilas kembali memandang, ”Yang telah
menganugerahi engkau wajah yang begitu tampan.”
Sang pemuda
tersenyum. Ia menundukkan wajahnya. ”Andai saja kau lihat aku”, katanya,
”Sesudah tiga hari dikuburkan. Ketika cacing berpesta membusukkannya. Ketika
ulat-ulat bersarang di mata. Ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah.
Anugerah ini begitu sementara. Janganlah kau tertipu olehnya.”
”Betapa
inginnya aku”, kata si gadis, ”Meletakkan jemariku dalam genggaman tanganmu.”
Sang pemuda
berkeringat dingin mendengarnya. Ia menjawab sambil tetap menunduk memejamkan
mata. ”Tak kurang inginnya aku berbuat lebih dari itu. Tetapi coba bayangkan,
kulit kita adalah api neraka; yang satu bagi yang lainnya. Tak berhak saling
disentuhkan. Karena di akhirat kelak hanya akan menjadi rasa sakit dan
penyesalan yang tak berkesudahan.”
Si gadis
ikut tertunduk. ”Tapi tahukah engkau”, katanya melanjutkan, ”Telah lama aku
dilanda rindu, takut, dan sedih. Telah lama aku merindukan saat aku bisa
meletakkan kepalaku di dadamu yang berdegup. Agar berkurang beban-beban. Agar
Allah menghapus kesempitan dan kesusahan.”
”Jangan
lakukan itu kecuali dengan haknya”, kata si pemuda. ”Sungguh kawan-kawan akrab
pada hari kiamat satu sama lain akan menjadi seteru. Kecuali mereka yang
bertaqwa.”
Ah,
perjuangan cinta si perempuan itu tampak nyata tidak indah. Memang benar ia
orang yang romantis dan memiliki daya khayal yang tinggi serta kemampuan
merangkai kata yang indah. Namun, semuanya berbau aroma syaitan dan nafsu.
Kesucian cinta yang seharusnya ada di dalam hatinya dan mengejawantah di dalam
laku juangnya ternyata tergerus oleh badai hawa nafsu. Selain persoalan ikhtilath
yang terjadi di antara mereka, si perempuan itu tidak menunjukkan juang
cintanya dalam bentuk yang halal. Semuanya di luar bingkai pernikahan. Begitu
hitam dan memalukan yang mendengar kisahnya. Semua bermula tatkala si perempuan
mulia itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
“Di kota
Kufah,” tulis Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Mubibbin, “Ada seorang pemuda
yang tampan sekali wajahnya, rajin beribadah, dan berijtihad. Suatu hari dia
singgap di suatu kaum dari An Nakha’. Di sana pandangannya terpapas dengan
seorang gadis yang cantik jelita dari kaum itu, sehingga dia langsung jatuh
cinta kepadanya. Dia pun berpikir untuk menikahinya. Dia singgah di tempat yang
lebih dekat dengan rumah gadis itu, lalu mengirim utusan untuk menyampaikan
pinangan kepada ayah sang gadis. Namun, dia dikabari ayahnya, bahwa gadis itu
sudah dipinang oleh anak pamannya sendiri.”
Lelaki
shalih dan perempuan itu ternyata telah saling mencinta. Dan status si
perempuan yang telah dipinang membuat mereka tidak bisa bersatu. Gelora cinta
dan asmara begitu menggebu di antara keduanya. Tatkala si perempuan sudah
demikian merasa berat, maka ia mengirim utusan kepada lelaki itu.
“Aku sudah
mendengar tentang besarnya cintamu kepadaku. Aku pun sedih karenanya. Jika kamu
mau, aku bisa menemuimu. Atau jika kamu mau, maka aku bisa mengatur cara agar
kamu bisa masuk ke dalam rumahku,” kata utusan itu menirukan pesan si
perempuan.
Lagi-lagi,
pernyataan cinta dan perjuangan untuk dapat membersamai ini kembali dicoret
dengan warna buram menghitam. Keindahan cintanya di antara sepasang manusia itu
ternodai oleh niat yang tidak lempang. Terpesong dari jalan cinta rabbani.
Namun, ada yang indah dari kisah ini. Tatkala mendengar tawaran dari si
perempuan yang sedang mabuk kepayang oleh cinta itu, sang pemuda malah
menjawab, “Tidak adakah pilihan di antara dua hal yang dicintai ini? Sesungguhnya
aku takut azab hari yang besar jika aku mendurhakai Tuhanku. Sesungguhnya aku
takut api neraka yang baranya tidak pernah padam dan tidak surut jilatannya.”
Mendengar
jawaban dari lelaki yang dicintainya itu, si perempuan meluncur di titik balik.
Ia tersadar atas khilafnya dalam perjuangan cinta yang ia lakukan. Ia sadar dan
bertobat. Ia mengabdikan dirinya pada Allah dan hanya beribadah semata.
Memisahkan diri dari keluarganya. Namun begitu, ia tetap tidak mampu memadamkan
rasa cintanya dan kerinduannya kepada sang pemuda hingga meninggal dalam
keadaan seperti itu. Mereka memang akhirnya tidak pernah saling membersamai
dalam singgasana pernikahan, tapi masih terasa indah akhirnya. Kesucian diri
dari maksiat atas nama cinta. Kisah serupa juga dialami oleh Abdurahman bin Abu
Ammar yang dicintai oleh seorang perempuan Mekah yang menyatakan cintanya dan
mengajaknya berbuat mesum. Namun, cintanya pada Allah menuntunnya tetap menjaga
kesucian diri. Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan
cintanya.
Memperjuangkan
cinta bagi seorang perempuan adalah keputusan yang sulit. Di sana dibutuhkan
keberanian yang berlipat-lipat dibandingkan dengan perjuangan cinta seorang
lelaki. Ada adat, tradisi, dan karakter jiwa yang harus dilawan untuk mampu
mengambil keputusan besar itu: memperjuangkan cinta. Rasa malu yang dimiliki
perempuan dalam urusan cinta sangatlah mendalam. Oleh karena itu, Rasulullah
menjelaskan bahwa kemauan seorang perempuan akan pinangan seorang lelaki adalah
dengan diamnya, dalam arti tidak menolak, tanpa perlu mengiyakan dengan
rangkaian kata-kata. Namun, kekuatan cinta memang dahsyat dan menggerakkan.
Dalam Shahih-nya,
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ketika berada dalam sebuah majelis Rasulullah,
seorang perempuan berdiri dan berkata kepadanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau
mau kepadaku?” Dalam kesempatan lain, perempuan yang lain datang pada
Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah saya datang untuk menghibahkan diriku
kepadamu.”
Hadits
tentang perempuan yang pertama diriwayatkan oleh Tsabit Al Bunani dalam Bab Seorang
Perempuan Menawarkan Dirinya Kepada Lelaki Shalih. Sedangkan hadits tentang
perempuan kedua diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad. Meskipun kedua bentuk
penghibahan diri perempuan ini adalah hal yang khusus bagi Rasulullah
sebagaimana dicantumkan dalam Surat Al Ahzab ayat 50, tapi menawarkan diri
untuk dinikahi lelaki shalih adalah hukum umum yang berlaku untuk semua lelaki
shalih.
“Di antara
kehebatan Bukhari di sini,” kata Ibnu Al Munir, sebagaimana dinukil Ibnu Hajar
dalam Fathul Bari, “Adalah dia tahu bahwa kisah perempuan yang
menyerahkan dirinya ini bersifat khusus. Maka, dia beristinbath (menyimpulkan
hukum) dari hadits ini untuk kasus yang tidak bersifat khusus, yaitu
diperbolehkannya seorang perempuan menawarkan dirinya kepada lelaki yang shalih
karena menginginkan keshalihannya. Hal itu boleh dilakukan.”
“Hadits tadi
memuat dalil bolehnya seorang perempuan menawarkan dirinya kepada laki-laki
shalih. Perempuan itu juga boleh memberitahukan bahwa ia mencintai laki-laki
tersebut karena keshalihannya, keutamaan yang dimilikinya, keilmuannya, dan
kemuliannya. Sungguh ini bukan suatu perangai jelek. Bahkan, ini menunjukkan
keutamaan yang dimiliki perempuan itu,” kata Imam Al ‘Aini.
Masih dari Fathul
Bari, dalam Kitab Tafsir, diterangkan bahwa perempuan yang
menawarkan diri itu adalah Khaulah binti Hakim, dan ada yang mengatakan Ummu
Syarik atau Fathimah binti Syuraih. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa
perempuan itu adalah Laila binti Hathim, Zainab binti Khuzaimah, dan Maimunah
bintul Harits.
“Dari hadits
tentang seorang perempuan yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah ini,” kata
Ibnu Hajar, “Dapat disimpulkan bahwa barangsiapa dari kaum perempuan yang ingin
menikah dengan orang yang lebih tinggi darinya, tidak ada yang harus dirasakan
malu sama sekali. Apalagi kalau niatnya baik dan tujuannya benar. Katakanlah,
umpamanya karena lelaki yang ingin dia tawarkan itu mempunyai kelebihan dalam
soal agama, atau karena rasa cinta yang apabila didiamkan saja dikhawatirkan
dapat membuatnya terjerumus pada hal-hal yang dilarang.”
Bagi
kebanyakan kita, mungkin juga termasuk saya dan Anda, jika mendengar seorang
perempuan yang menawarkan diri untuk dinikahi oleh seorang lelaki shalih,
mungkin kita akan berkata seperti yang dikatakan oleh putri Anas yang kala itu
menyaksikan sebentuk perjuangan cinta itu, “Alangkah sedikit rasa malunya.
Sungguh memalukan! Sungguh memalukan!”
Namun, saya
lebih suka perkataan yang disampaikan oleh sang ayah, Anas, kepada putrinya
itu, “Dia lebih baik daripada kamu. Dia mencintai Rasulullah, lalu dia
menawarkan dirinya untuk beliau.”
kisah kisah yang luar biasa,,
BalasHapusterima kasih,,