Politik sering diartikan
negatif oleh sebagian orang, karena menganggap politik itu menghalalkan segala
cara untuk mencapai tujuan, yaitu kekuasaan dan harta. Sehingga politik
diselimuti oleh kedustaan, tipu daya dan penyesatan serta propaganda oleh para
penguasa yang zhalim. Orang – orang yang berpandangan seperti ini membuat
penguasa menjadi musuh bagi rakyat, bukan sebagai pemimpin yang mengurusi dan
mengayomi rakyat. Ini merupakan cara pandang yang salah, orang – orang yang seperti
ini tidak memahami dan mengerti politik yang sebenarnya. Bahkan menganggap
politik itu adalah sesat karena banyak permainan kotor di dalamnya.
Dalam buku Melusruskan
Dikotomi Agama dan Politik karya Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan definisi
politik dari beberapa ahli, diantaranya[1] :
1. Kata as siyasah (politik) berasal
dari bahasa Arab, yakni dari kata saasa,
yasuusu, siyaasatan yang artinya mengatur
atau memimpin.
2. Kata as siyasah bisa diartikan
kiasan dalam kamus Tajul Arus,
menyelesaikan persoalan dengan politik, disini diartikan melakukan sesuatu yang
mendatangkan kebaikan.
3 . As siyasah merukan disiplin ilmu tentang
organisasi sosial kemasyarakatan.
4. Politik berkenaan dengan kekuasaan dan administrasi dalam masyarakat sipil.
5. Politik adalah segala aktifitas manusia yang berkaitan dengan penyelesaian
berbagai konflik dan menciptakan keamanan bagi masyarakat. Untuk mencapai
tujuan tersebut, politik tidak bisa dipisahkan dengan kekuatan atau usaha
keras.
6. Kata as siyasah sebagai dasar
ilmu yang membahas cara mengatur berbagai persoalan yang bersifat umum.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
politik adalah suatu cabang ilmu yang mengatur dan memimpin urusan manusia
untuk mencapai keamanan, mendatangkan kebaikan serta menyelesaikan berbagai
konflik. Sedangkan hakikat politik itu ialah berprilaku politik serta budaya
politik yang berdasarkan ajaran Islam, yang berawal dari keprihatinan moral
serta keutuhan ummat. Tujuan dari politik Islam itu sendiri adalah membangun
sistem kenegaraan yang berdasarkan dengan ajaran – ajaran Islam.
Dalam politik Islam memiliki tiga asas, yaitu pertama
adalah hakimmiyyah ilahiah. Hakimiyyah ilahiah artinya meninggikan tauhid
kepada Allah swt dan kekuasaan mutlak tertinggi hanya milik Allah swt. Kedua, risalah. Asas kedua ini dalam politik Islam
harus berdasarkan wahyu yang diturunkan oleh Raulullas saw. Ketiga, khilafah. Maksud khilafah di sini
bermakna perwakilan, memahami bahwa kedudukan manusia di muka bumi sebagai
wakil. Ini berarti jabatan dalam politik merupakan amanah dari Allah swt yang
harus dijalan dengan sebaik mungkin, profesional dan proposional. Sebagai
khilafah harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Orang – orang yang
bertanggung jawab; 2. Bukan dari orang – orang yang zhalim, jika dipegang oleh
orang – orang zhalim maka akan berbuat seenaknya tanpa dibatasi oleh hukum –
hukum Islam; 3. Memiliki ilmu, cerdas, intelektual dan bijaksana; 4. Harus
dipegang oleh orang yang dapat dipercaya dalam memegang amanah tersebut.
Selain ada asas politik Islam, ada pula prinsip – prinsip
yang harus diperhatikan. Diantaranya adalah : 1. Musyawarah, ini berkenaan dengan pemilihan kepala negara beserta
mentri – mentrinya. Tugas lain untuk menetapkan undang – undang kenegaraan dan
pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan ajran Islam (Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah saw); 2. Keadilan. Prinsip
keadilan ini menyangkut sistem sosial dalam masyarakat termasuk perekonomian,
keadilan juga bermaksud untuk menjauhi perbuantan zhalim penguasa; 3. Kebebasan. Prinsip ketiga ini bukan
berarti bebas sebebas – bebasnya tanpa batas, tapi yang dimaksud bebas di sini
adalah bebas dalam beramar ma’ruf nahi munkar. Termasuk bebas menyatakan
pendapat; 4. Persamaan. Prinsip
persmaan ini adalah menyamakan hak dan kewajiban menurut kemampuan yang sudah
ditetapkan oleh undang – undang kenegaraan; 5. Hak menghisab pemerintah. Prinsip kelima ini merupakan hak dalam
tangan rakyat, ini dimaksudkan untuk menegakkan kebenaran.
Berperannya Muslimah dalam Politik pada Masa Rasulullah
Sejak masa Rasulullah saw, wanita sangat berperan dalam
dakwah dan perpolitikan. Bedanya, ketika masa Rasulullah saw wanita tidak masuk
dalam “parlemen” Rasulullah saw seperti para sahabat – sahabat beliau.
Misalnya, Khadijah binti Khuwailid yang pertama kali menyatakan beriman kepada
Allah dan Rasul – Nya. Jika dilihat dari sisi politiknya, Khadijah mempunyai
kedudukan yang mulia, serta peduli akan wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah
saw. Kepeduliannya itu menopang dan memahami secara cermat wahyu yang
diturunkan, dan menunjukkan ketegaran, bukan grogi dengan turunnya wahyu tersebut. Saat Rasulullah saw pulang
dari gua Hira dengan kondisi ketakutan Khadijah malah memberi penguatan, bukan
ikut menjadi takut. Ini membuktikan, bahwa wanita dalam hal ini muslimah, juga
perlu mempelajari hal – hal disekelilingnya, agar dapat menentukan pilihan yang
terbaik bagi hidupnya[2].
Selain itu, dari segi ekonomi Khadijah adalah wanita kaya, hartanya itulah yang
akan mendukung dan membiayai kiprah dakwah Rasulullah.
Ketika hijrah ke Madinah merupakan awal berdirinya sebuah
daulah untuk melindungi Islam, karena selama tiga belas tahun Islam tidak
mempunyai daulah dan negara[3].
Hijrah ke Madinah secara bergelombang. Rasulullah saw yang saat itu pergi
bersama Abu Bakar bin Abu Quhafah, dan yang menyiapkan perbekalah mereka adalah
Asma’ binti Abu Bakar. Sempat ditampar oleh Abu Jahal saat ditanya keberadaan
Rasulullah, padahal kondisinya sedang hamil. Di sini keberanian Asma’
menyembunyikan keberadaan Rasulullah saw. Begitu juga dengan para shahabiyah
yang ikut hijarah ke Madinah. Mereka mengalami kesulitan – kesulitan untuk
menuju Madinah, mereka harus meninggalkan tanah kelahiran tanpa harta benda.
Ada pula yang dipisahkan oleh anak dan suaminya, seperti yang dialami oleh Ummu
Salamah selama satu tahun.
Pada masa peperangan, para muslimah juga ikut
berkontrbusi, namun pada perang Badar para wanita tidak ikut. Bukan karena
kesengajaan, tetapi karena memang kepergian pasukan Muslimin secara mendadak.
Perang Uhud, para wanita ditempatkan di benteng Hassan[4].
Tugas para muslimah dalam perang tersebut menyiapkan air untuk para pasukan
Muslimin. Pada perang Khandaq, keberanian Shafiyyah binti Abdul Muthalib
membunuh mata – mata dari pihak musuh yang masuk benteng yang ada wanita dan
anak – anak. Kalau tidak di bunuh, mata – mata itu akan melapor pada komandan
pasukan musuh dan anak – anak dan wanita yang ada di situ bisa habis terbunuh. Dalam
peperangan lain para wanita ditempatkan dibarisan belakang, ini untuk memberi
dukungan kaum Muslimin dan berjaga – jaga jika ada Muslimin yang lari dari
peperangan.
Peran Muslimah dalam Perpolitikan Saat Ini
“Dan orang – orang
beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mengerjakan,
mencegah dari perbuatan yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan
mereka taat kepada Allah sdan Rasul – Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha bijaksana”[5]
“Orang – orang
munafik lelaki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama,
mereka menyuruh berbuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf”[6]
Ayat di atas membuktikan bahwa laki – laki dan perempuan
itu sama. Jika orang – orang munafik, baik laki – laki dan perempuan
seperti ayat ke dua, mampu menyuruh kepada yang munkar dan melarang yang ma’ruf
akan menghancurkan masyarakat, maka laki – laki dan perempuan yang beriman
harus mampu membangun masyarakat dengan amar ma’ruf nahi munkar. Bedanya, dalam
hak waris memang laki – laki mendapat bagian yang lebih besar daripada
perempuan, karena laki – laki mempunyai tanggung jawab finansial yang lebih
besar daripada perempuan. Kemudian dalam hal kesaksian, kesaksian dua orang
perempuan setara dengan kesaksian satu orang laki – laki.
Berdasarkan ayat pertama di atas, dalam hal ini tidak
mengapa jika Muslimah masuk dalam parlemen. Ada sebagian orang masih melarang
wanita untuk duduk dalam parlemen negara, dengan alasan posisi parlemen hanya
untuk laki – laki saja. Dua hal penting di sini[7] :
1. Jumlah wanita yang dicalonkan untuk duduk diparlemen sangat terbatas, karena
jabatan untuk duduk di kursi parlemen masih didominasi oleh laki – laki. Laki –
laki masih berkuasa untuk memutuskan, menetapkan dan membatalkan kesepakatan;
2. Al Qur’an surat An Nisa ayat 34 menjelaskan bahwa laki – laki adalah
pemimpin kaum wanita, tetapi itu dalam rumah tangga dan bertanggung jawab
atasnya. Istri dan anak – anak amanah dari Allah swt, maka laki – laki harus
bertanggung jawab atas amanah itu, sebab laki – laki memiliki tingkat kelebihan
di atas perempuan yang diberikan oleh Allah swt. Kecuali kalau wanita menjadi
pemimpin negara itu yang dilarang, tetapi kepemimpinan atas sebagian masalah
tidak ada halangan bagi wanita.
Ada hadits yang intinya agama itu nasihat, bagi Allah,
Rasul, kitab dan bagi para pemimpin kaum muslimin. Berlaku bagi laki – laki dan
perempuan, tidak dikhususkan pada laki – laki saja. Pada masa Khalifah Umar bin
Khathab pernah membatasi besar mahar bagi wanita, sebab pada saat itu mahar
yang diberikan perempuan jumlahnya sangat besar. Datanglah seorang wanita yang
memprotes kebijakan Umar, bahwa mahar wanita adalah hak perempuan dan Umar
menerimanya. Peristiwa perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw bermusyawarah
dengan Ummu Salamah dan Ummu Salamah pun memberi solusi ketika para sahabat
tidak mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah saw, kemudian beliau
langsung menjalankannya diikuti oleh para sahabatnya. Ini membuktikan bahwa
perempuan juga berhak memberikan pendapat untuk beramar ma’ruf nahi munkar.
Begitu juga ketika wanita duduk di parlemen dalam membuat undang – undang
kenegaraan, wanita dalam hal ini adalah Muslimah, berhak untuk mengemukakan
pendapatnya.
Perlu dicatat, walaupun Muslimah itu boleh masuk dalam
parlemen ada yang harus diperhatikan. Diantaranya sebagai berikut :
a.
Tidak semua wanita bisa duduk diparlemen, jika ia masih mempunyai
tanggungan dalam keluarganya, maka tidak boleh mencalonkan diri menjadi anggota
parlemen. Wanita yang tidak mempunyai anak, tidak diganggung oleh kesibukan –
kesibukan rumah tanggan, mempunyai intelektual, kecerdasan dan ilmu dalam
kenegaraan atau pemerintahan, yang usianya sekitar lima puluh tahun
diperbolehkan untuk menduduki kursi di parlemen[8].
b.
Tidak boleh menyerupai laki – laki. Dari Ibnu Abbas r.a : “Rasulullah saw mengutuk wanita yang
menyerupai laki – laki, dan laki – laki menyerupai perempuan”[9]
c.
Tetap berbusana sesuai dengan syari’at Islam dan syarat – syaratnya. “Katakanlah kepada para perempuan yang
beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang biasa terlihat. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan jangan menampakkan
perhiasannya (auratnya).....”[10]
d.
Tidak bertabaruj.
e.
Tidak boleh bertingkah laku seperti orang – orang jahiliyah[11].
Jadi, Muslimah boleh berpolitik (parlemen), karena
berpolitik salah satu untuk menyeru amar ma’ruf nahi munkar, Muslimah juga merupakan pembantu bagi laki – laki yang Muslim. Politik sendiri adalah mengurus urusan masyarkat baik
sipil mau pun administrasi negara, untuk mencapai sistem kenegaraan yang sesuai
dengan ajaran – ajaran Islam, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw serta
menjaga keutuhan ummat. Dengan catatan, harus menjaga batasan – batasan dan
syarat – syaratnya untuk menjadi anggota parlemen. Wallahu’alam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar