Di tengah kesibukanku bekerja, tiba – tiba handphoneku berbunyi tanda pesan singkat masuk. Setelah kubuka, ternyata dari istriku, “Assalamu’alaikum... Abi, ana uhibukka fillah... :)”. Ya, hanya seperti itu pesan singkatnya, tapi aku tak menghiraukannya. Hampir setiap hari istriku mengirimi pesan singkat dengan bunyi seperti itu. “Haduuuuuuhhh, seperti tak bertemu saja. Nanti juga bertemu di rumah!!”, gumamku agak kesal. Huuuuufff, rasanya seperti setahun menunggu jam istirahat untuk rehat sejenak. Waktu menunjukkan pukul dua belas siang saatnya jam makan siang, tapi sebelum makan siang aku shalat zhuhur terlebih dahulu agar ketika makan siang nanti bisa bercengkrama lebih lama bersama teman – teman kantor.
Satu jam sudah berlalu selepas istirahat. Aku kembali menyelesaikan perkejaanku yang masih menumpuk. “Wah, sepertinya aku akan lembur hari ini. Bisa pulang malam nih...”, gumamku dalam hati. Menjelang isya pekerjaanku masih belum selesai kukerjakan, ternyata benar aku akan pulang malam hari ini. Ketika azan isya berkumandang, aku berhenti sejenak untuk shalat isya. Sedikit mereganggkan otot – otot badan yang lama – lama mulai pegal – pegal. Saking sibuknya aku, aku sampai lupa untuk memberi kabar pada istriku kalau aku hari ini lembur pulang malam.
“Alhamdulillah, selesai juga semua pekerjaanku...”, gumamku. Aku segera bereskan semua barang – barang yang berantakan di mejaku, setelah itu aku segera pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, aku segera menyalakan sepeda motorku menuju rumah. Mungkin karena sudah malam, jadi jalan raya yang paginya cukup padat oleh kendaraan sekarang agak lengang. Biasanya menempuh waktu satu setengah jam dari rumah ke kantor, kali ini cukup dengan waktu satu jam dari kantor menuju rumah.
Sesampainya di rumah, semua lampu rumah sudah dimatikan, berarti istriku sudah tidur. Pintu rumah juga sudah terkunci. Aku mengetuk pintu berkali – kali tapi tidak ada yang menjawab dari dalam rumah. “Masya Allah, ummi gimana sih, gak dibukakan pintu!”, gumamku. Segera aku menelpon istriku, semoga bisa segera membukakan pintu untukku. Aku menunggu istriku menerima teleponku beberapa detik, akhirnya diangkat juga, “Hallo Assalamu’alaikum...” jawab telponku. Tanpa menjawab salamnya aku segera membalas, “Ummi, buruan. Buka pintunya!”. Setelah itu aku tutup telponnya. Tak lama, istriku membukakan pintu untukku, namun yang keluar dari mulutku adalah cetusan untuk istriku.
“Lama sekali sih?! Dari tadi aku ketuk pintu. Memangnya kamu tidak dengar??”, kataku kepada istriku.
“Afwan bi, aku lelah. Banyak kerjaan di rumah...”, jawabnya lembut sambil mencium punggung tanganku. Mau minum apa bi?”, lanjutnya menawarkan. Masih dengan kata – kata yang lembut, tapi itu tidak membuatku luluh.
“Afwan bi, aku lelah. Banyak kerjaan di rumah...”, jawabnya lembut sambil mencium punggung tanganku. Mau minum apa bi?”, lanjutnya menawarkan. Masih dengan kata – kata yang lembut, tapi itu tidak membuatku luluh.
“Apa aja deh, terserah!”, jawabku masih ketus. Apakah mungkin karena aku yang terlalu lelah?? Mungkin hanya alasanku saja. Entahlah. Segera istriku pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman untukku. Sambil menunggu, aku menyalakan televisi. Semoga bisa menghilangkan sedikit lelah yang menggerogoti tubuh ini. Tak lama istriku datang dengan membawa satu mug teh manis hangat.
“Kalau mau makan, supnya sudah kuhangatkan”, kata istriku masih dengan tutur yang lembut.
“Iya!”, balasku singkat. Kemudian istriku tidur kembali. Aku masih asyik menonton televisi.
***
“Astagfirullahal’azhiim...!! Sudah pukul setengah enam pagi. Hampir saja aku terlewat shalat subuh. Sepertinya aku tertidur sampai pagi”, aku kaget ketika bangun tidur. Namun, saat aku bangun tidur aku diselimuti selimut yang biasa aku pakai ketika tidur bersama istrku. Segera aku bangun dan shalat subuh, kemudian mandi dan aku segera bersiap menuju kantor.
“Sudah mau berangkat bi? Gak sarapan dulu? Aku sudah belikan nasi uduk untuk abi”, tanya istriku sambil tersenyum manis sepulangnya belanja menu makanan yang akan dimasaknya hari ini.
“Gak usah. Abi kesiangan. Kenapa gak bangunin sih??”, tanyaku masih dengan nada yang belum berubah.
“Afwan jiddan, bi. Aku gak berani membangunkan abi. Soalnya abi terlihat lelah sekali. Sampai – sampai ketiduran di ruang tengah...”, jawabnya lembut. Istriku segera masuk ke dapur menaruh barang belanjaan. Saat aku baru menaiki kendaraan, istriku memanggil.
“Abi...!! Tunggu!! Ini buat sarapan abi di kantor...”, ucap istriku sambil menyodorkan kotak makan berwarna hijau padaku. Aku berpikir sejenak, tapi aku terima juga kotak makan itu.
Alhamdulillah, sampe juga di kantor. Tidak terasa. Padahal, lumayan juga macetnya. Maklum kota Jakarta identik dengan macet. Kalau tidak macet, namanya bukan Jakarta. Begitu kata temanku. Awal jam masuk kantor hari ini ternyata tidak begitu banyak, hanya beberapa dokumen saja menunggu untuk kukerjakan. Sebelum bekerja, lebih baik aku sarapan terlebih dahulu. Aku buka kotak makan berwarna hijau itu, ternyata nasi uduk yang tadi dibelikan istriku. Lumayan, mengisi perutku yang sudah keroncongan walau masih pagi.
Setelah sarapan, aku mulai bekerja kembali dan berkutat di depan dokumen – dokumen penting dan komputerku. Semoga aku tidak lembur lagi hari ini. Bismillahiraahmaanirrahiim.
***
Saat sedang asyik menonton televisi bersama istriku, handphone istriku berbunyi tanda pesan singkat.
“Dari siapa, Mi?”, tanyaku singkat. Bukan berarti aku curiga padanya.
“Ini, bi. Dari teman halaqah. Memberi tahu kalau besok ada book fair. Ke sana yuk, bi? Book fairnya cuma sepuluh hari”, ajak istriku sambil tersenyum.
“Insya Allah ya, Mi...”, jawabku datar.
“Diskonnya sampai delapan puluh persen. Selain itu ada talkshow dan bedah bukunya juga. Bedah buku dan talkshownya juga banyak, mulai pergerakan, pemikiran sampai tentang keluarga”. Hmmm... Sepertinya istriku sedang promosi atau membujukku agar ke sana??
“Insya Allah. Kalau ada rizki dan waktu. Nanti abi kabari lagi ya, Mi. Lagi pula abi juga mau cari buku untuk keperluan mengisi halaqah yang abi pegang”, balasku.
Keesokan harinya, sepulang kerja ba’da maghrib aku dan istriku pergi ke book fair. Sepintas, jadi teringat masa kuliah dulu. Kalau ada even seperti ini tidak cukup sekali ke sini. Hampir setiap hari aku datang ke book fair untuk membeli buku murah atau sekedar mengikuti talkshow dan bedah bukunya, walau uang tak ada di katong tapi ilmunya aku harus dapat. Pembicara pada talkshow dan bedah bukunya adalah para penulisnya langsung, bahkan beberapa ada yang dari pejabat negara.
Lama aku dan istriku berkeliling tempat book fair, akhirnya aku melihat buku yang aku idam – idamkan selama ini, Tafsir Ibnu Katsir. Aku bertanya pada penjaga stand mengenai harga buku tersebut, ternyata masih mahal. Harganya lebih dari setengah juta. Akhirnya, aku tidak jadi membelinya. Lama aku stand itu dan hanya sekedar membaca – baca buku tafsir itu. istriku pun ikut membacanya juga sambil sesekali melirikku.
Aku mengak istriku untuk beranjak dari stand itu untuk ke stand lain. Akhirnya, aku hanya membeli buku – buku pemikiran Sayyid Quthb. Setelah itu, aku dan istriku pulang berhubung waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.
“Pulang yuk, Mi”, ajakku.
“Nanti dulu lah, bi”, balasnya singkat.
“Ini sudah malam, Mi”,
“Kita shalat isya’ di sini dulu ya, bi”. Baiklah, aku turuti perkataan istriku. Selesai shalat isya, kami makan malam di restoran dekat event terebut. Ya, tak biasanya. Malam ini aku dan istriku sangat romantis.
***
Subhanallah, pagi – pagi begini sudah diberi setumpuk pekerjaan lagi. Alamat lembur lagi nih. Sejenak, aku lihat kalender di mejaku. Hari ini... Ya, hari ini. Aku mencoba mengingat – ingat sesuatu, ah tapi sudahlah. Lupakan saja! Barangkali ingatanku mulai lupa atau memang sudah pikin. Aku tidak ingin berpikir panjang mengenai hari ini, sepertinya memang ada sesuatu pada hari ini. Lebih baik aku menyelesaikan pekerjaanku secepatnya, agar tidak pulang terlalu malam.
Memang, dalam kurun satu bulan ini aku benar – benar sibuk dengan pekerjaan di kantorku. Hanya satu kali aku bersama istriku pergi ke book fair satu pekan yang lalu dan hari ini aku bertekad tidak ingin pulang terlalu malam seperti yang sebelumnya. Tiba – tiba, aku jadi teringat istriku di rumah. Aku berhenti sejenak dari pekerjaanku untuk mengiriminya pesan singkat.
Memang sudah takdir dari Allah swt, baru saja aku memegang handphoneku. Aku sudah menerima pesan singkat dari istriku dengan bunyi yang sama dari yang sebelumnya, “Assalamu’alaikum... Abi, ana uhibbuka fillah :)”. Kali ini akan aku balas, “Uhibbuki fillah istriku :)”. Entah, seperti ada sesuatu yang berbeda padaku hari ini. Sudahlah, aku harus segera selesaikan pekerjaanku hari ini.
Alhamdulillah, selesai juga. Aku melihat arloji yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukkan pukul delapan malam. Segera aku shalat isya di kantor dan segera pulang, tanpa basa – basi. Sepanjang jalan aku masih berpikir ada apa dengan hari ini. Aku merasa begitu berbeda dari biasanya. Kali ini aku tidak merasa lelah, padahal tadi memang banyak kerjaan. Tak terasa sampai juga di rumah. Lampu ruang tamu mati, berarti istriku sudah tidur. Ku ketuk pintu tapi tidak ada yang menjawab, ingin rasanya aku marah lagi.
Akhirnya, aku mencoba membuka engsel pintunya. Tak terkunci. Apa istriku lupa mengunci pintunya?? Aku berjalan menuju ruang tengah, aku nyalakan lampunya. Surprize!! Ada bungkusan kado besar terikat pita berwarna biru muda tergeletak di ruang tengah. Ruangan begitu harum dan tertata rapi. Aku segera membuka kado itu. Ya, benar – benar mengejutkanku. Ternyata isinya adalah buku yang selama ini kuinginkan, Tafsir Ibnu Katsir. Tak tanggung – tanggung, istriku memberi hadiah ini satu paket. Dari jilid satu sampai jilid terakhir. Di dalam kado itu terselip sepucuk surat dari istriku.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...
Untuk suamiku tersayang, Faiz Al Fath...
Selamat hari lahri ya, bi. Semoga di sisa usianya berkah, dimudah rizkinya dan menjadi suami yang baik dan ayah yang baik untuk anak kita yang akan lahir delapan bulan lagi. Afwan ya, bi. Baru ummi kasih tahu, soalnya ummi gak mau mengganggu kesibukan abi.
O iya, bi. Ummi minta maaf kalau hadiah yang ummi kasih, abi gak suka. Sebenarnya, ummi sudah mengumpulkan uang dari awal kita menikah buat membeli hadiah ini untuk abi.
Maaf yang sebesar – besarnya jika selama ini aku belum bisa menjadi istri yang baik untuk abi. Apa lagi sebentar lagi akan menjadi ibu. Doakan dan bantu ummi semoga bisa menjadi ibu yang baik.
Sekian dulu ya bi... Sekali lagi ummi mohon maaf apabila ada salah kata dan sikap yang tidak berkenan di hati abi.
Ana uhibbuka fillah abi...
Dari istrimu,
Hasna Atiyah
Setelah membaca surat itu aku langsung membuka pintu kamar, istriku sudah tertidur lelap sekali setelah seharin berjibaku dengan pekerjaan rumah. Aku segera menghampiri dan menatapnya dalam – dalam dan berkata lirih. Aku tidak tahu, apakah istriku mendengar perkataanku atau tidak.
“Ummi, maafkan aku apabila berkata kasar padamu. Walau begitu, kau tetap tenang menghadapi sikapku yang seperti itu. Maafkan aku apabila kesibukanku membuat tak enak sampai – sampai kau baru memberi tahu akan ada jundi yang menghiasi rumah kita nanti. Justru aku yang meminta maaf padamu jika aku belum bisa menjadi suami terbaik untukmu. Bahkan kau rela menyisihkan rupiah demi rupiah hanya untuk membeli satu pake tafsir ini yang harganya cukup mahal”. Ku kecup kenignya, dan ku naikkan selimutnya agar seluruh badannya terselimuti. “Selamat tidur istriku, semoga mimpi indah... Semoga esok pagi menyambutku ceria dengan senyumanmu”.
=Selesai=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar